PENGALAMAN PJJ di ERA PANDEMI COVID-19
GURU “TEACH
MUST GO ON”
Oleh : SAIFUL JAMIL
Masih teringat dengan jelas,
18 Maret 2020 di Kabupaten kami yaitu Kabupaten Tanggamus diumumkan melalui whatsapp bahwa pembelajaran dialihkan di
rumah siswa masing-masing (PJJ), padahal siswa-siswi di SDN 1 Srimenganten
Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus sedang melaksanakan UTS (Ujian
tengah Semester) Tahun pelajaran 2019/2020. Pagi itu, sekira pukul 09.30 berita
itu beredar, berita yang biasanya didengar melalui televisi kini telah nyata
dirasakan di kampung yang jauh dari keramaian. Pembelajaran seperti ini memang
adalah sesuatu yang baru. Tidak hanya proses pembelajaran, administrasipun
berubah, seperti dari mulai pembuatan jadwal, hingga pelaporan proses belajar
mengajar. Hal ini dirasakan seluruh pengajar dan pelajar secara nasional bahkan
internasional. Bahkan menurut data yang
bersumber dari media lebih dari 90% populasi siswa di seluruh dunia (lebih dari
1,3 milyar) harus belajar dari rumah (UNESCO, 2020), 96.6% siswa belajar dari
rumah (Kemendikbud, 2020) dan tentunya data ini termasuk SDN 1 Srimenganten
Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.
Selama belasan tahun
mengajar, memang pernah merasakan dan melaksnaakan home visit atau mengunjungi rumah untuk melaksanakan pembelajaran, tapi
hanya dilakukan sesekali saja dalam rangka bimbingan konseling. Namun, home visit ini kini bertaambah fungsi
dengan melakukan PBM yang terbatas oleh ruang dan waktu. Kami guru, tentunya
tidak boleh pasif terhadap kebijakan yang tengah diberlakukan sambil berharap pandemi cepat
berlalu, dan kembali kepada aktifitas PBM seperti biasa. Satu bulan setelah PJJ
dilaksanakan, kekhawatiran muncul ketika Dinas Pendidikan Kabupaten Tanggamus
melalui KaSPLP Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus menyampaikan bahwa PJJ akibat pandemi ini
diprediksi akan terus berlanjut hingga tahun pelajaran baru yaitu
2020/2021. Untuk beberapa saat, mungkin
saya yang merasakan, bagaimana ini bisa terjadi pada pendidikan di desa yang
asri ini?. Apa yang harus saya perbuat
dalam menghadapi situasi yang tidak menentu ini?. Padahal sebagai wali kelas 6,
saya hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk menuntaskan materi dalam
menghadapi ujian sekolah yang nantinya harus saya antarkan menuju jenjang
pendidikan berikutnya.
Kebingungan terhadap
evaluasi ujian sekolah muncul, apa yang hendak ditulis pada ijazah jika ujian
sekolah tidak dilaksanakan, inisiasipun muncul bagaimana cara menegaskan kepada
siswa bahwa mereka akan memperoleh ijasah dengan evaluasi yang wajar dan
normal, bukan hanya mendapatkan sehelai kertas tanpa melalui ujian yang seperti
biasanya. Pembuatan aplikasi ujian
sekolah sederhana berbasis androidpun dilakukan dengan dukungan google form agar siswa merasa
mendapatkan ijasah tidak dengan acara yang kurang memuaskan peserta didik.
Dengan berjalannya waktu, pandemi
masih berlangsung, pada tahun pelajaran 2020/2021 berbagai kendala yang
dihadapi bermunculan terutama pada proses penyampaian pembelajaran. Baik dalam hal komunikasi yang minim dengan
peserta didik, hingga sarana dan prasarana dalam proses Pembelajaran Jarak Jauh
(PJJ). Bukan lagi rahasia umum, bahwa
sarana dalam PJJ tentunya tidak terlepas dari alat dan media yang membutuhkan
jaringan seperti halnya gadget dan
prasarana lainnya yaitu jaringan. Menurut Survei
Belajar dari Rumah, Puslitjak Kemendikbud 2020 sebanyak 86,6% siswa di
Indonesia baik daerah tertinggal maupun non-tertinggal lebih banyak belajar
dengan mengerjakan tugas dari guru, sedangkan pembelajaran interaktif hanya
38,8% (Kemendikbud, 2020). Di tempat
kami, yang noabene kini sudah mempunyai jaringan 4G, tak menjamin berjalannya
PJJ dengan mudah. Ternyata permasalahan
tidak hanya pada jaringan, keasadaran orang tua dan peserta didik dalam
menjalani proses PJJpun bervariasi.
Pendekatan-pendekatan baik dalam analisis non-kognisi dan kognisipun
dipetakan dalam rangka mempermudah menentukan asesmen yang baik dalam membangun
keberlangsungan PJJ. Menurut Survei
Suara Guru pada Masa Pandemi Covid-19, GTK 2020 Pengeluaran biaya paket internet dan pulsa guru selama masa
pandemk rata-rata Rp.190.065
(Kemendikbud 2020). Hal itupun sejalan
dengan asesmen non-koginisi dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada wali
murid dan hasilnya cenderung sama, yaitu ada gadget, tetapi susahnya menganggarkan untuk biaya paket, dan yang
lebih memprihatinkan adalah wali murid yang tidak mau membeli gadget dengan alasan ekonomi dan
beranggapan gadget adalah penghambat
aktifitas anak dan lebih kepada membuat anak bermalas-malasan. Tentunya dengan
beberapa asesmen dan penumbuhan keasadaran sisi baik dari gadget, akhirnya ada beberapa wali murid yang tak sungkan lagi
untuk menyediakan fasilitas gadget
untuk pembelajaran putra-putrinya dalam masa PJJ.
Pada masa ini, guru dituntut
untuk berusaha mencari solusi pembelajaran agar bisa keluar dari dilema PJJ. Dilema tersebut adalah ketika guru dihadapkan
pada pengambilan keputusan dalam memilih metode yang tepat dalam proses
pembelajaran jarak jauh. Karena tidak
dapat dipungkiri, kesulitan ini dihadapi semua guru yang terimbas karena
pandemi ini, hal ini sesuai survei yang telah dilakukan yaitu 53,55% guru kesulitan dalam manajemen kelas selama
pembelajaran jarak jauh dan yang dominan terjadi adalah 48,45% guru kesulitan
dalam menggunakan teknologi pembelajaran selama pembelajaran jarak jauh ( (GTK,
2020).
Dengan melakukan refleksi, maka penulis sedikit demi
sedikit mulai mencari celah agar bagaimana pembelajaran jarak jauh ini harus
tetap dilaksanakan. Adapun yang telah
dilakukan hingga saat ini adalah;
1)
Berusaha
menyederhanakan tuntutan kurikulum yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan
siswa sesuai dengan profilnya yang diperoleh dari hasil asesmen non-kognisi
dengan orang tua siswa dari berbagai aspek,
2)
Berusaha agar setiap arahan, petunjuk, pemberian tugas, dan
instruksi-instruksi lainnya mengandung pendidikan dan pembelajaran yang
bermakna, yang tidak hanya bersumber dari buku pelajaran, melainkan dari
kegiatan siswa sehari-hari agar lebih bermakna,
3)
Berusaha memanfaatkan teknologi dan jaringan internet yaitu melalui
pembelajaran yang menggunakan berbagai aplikasi seperti whatsapp, aplikasi google
classroom, dan google drive (google
form) dalam proses belajar dan evaluasi,
dengan setting pada google form tidak dibatasi satu
tanggapan, hanya saja jika berkali-kali melakukan login atau pengerjaan
evaluasi yang diambil adalah nilai minimal.
4)
Berusaha memberikan opsi lain, ketika siswa tidak memiliki akses internet
karena keterbatasan baiaya pembelian paket internet dengan memanfaatkan messenger group (free) dari media
sosial facebook dalam penyampaian
informasi terkait proses pembelajaran.
5)
Berusaha menjalin hubungan dengan alumni ataupun aparat setempat (di mana
terdapat siswa yang telah berkelompok/bertetangga) dalam rangka membantu
penyampaian tugas khusus kepada siswa yang tidak mempunyai gadget, dan agar dapat meminjamkan gadgetnya selama proses evaluasi yang hanya memerlukan waktu
sekitar 20 menit.
Usaha yang telah dilakukan
di atas, tentunya bukan semudah menuliskan uraiannya, konsep dan metode
terkadang sering tak sesuai dengan harapan, namun setidaknya mendekati kepada
tujuan. Munculnya kendala baru,
merupakan sebuah pembelajaran baru, dan mengatasi permasalahan yang baru
menjadikan sebuah ilmu baru dari sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Guru harus tetap melaksanakan tugasnya
sebagai guru. Wahai guru, “teach must go
on” dan pendidikan dari seorang guru tidak akan tergantikan oleh aplikasi
maya apapun. Lalu bagaimana pendidikan
ini dapat berdampingan dengan pembelajaran?.
Ini menjadi catatan kembali bagi seorang guru yang sebelum munculnya
pandemi, sudah banyak bermunculan aplikasi pembelajaran online yang seakan akan
menggerus eksistensi guru yang nyata dan bertatap muka. Pandemi seakan mendukung beberapa pembuat
aplikasi pembelajaran. Pengetahuan itu
penting, tapi mendapatkan pendidikan itu
juga sangat penting.
Dalam menjalankan sebuah
proses tentunya terdapat kekurangan dan kelebihan. Tak dapat dipungkiri, setiap
alat membawa kebaikan dan keburukan dan hal itu tergantung bagaimana cara kita
menggunakan dan memfungsikannya. Sebagai analogi, golok, jika kita gunakan
untuk memotong kayu, merapikan pagar hidup, menebang pohon dan sebagainya
tentunya mempunyai fungsi yang positif, tapi bila digunakan untuk melukai sesorang
maka fungsinya berubah menjadi negatif, sama halnya smartphone
sebagai alat, memanglah alat yang pintar, lalu apakah dengan kepintarannya ia
mampu mendidik? Tentu saja tidak!. Hal ini memunculkan celah kekurangan pada
alat tersebut.
Pada kenyataannya, orang tua
wali murid, banyak yang berkeluh kesah terhadap pembelajaran jarak jauh ini,
baik yang daring maupun dalam sistem luring.
Sehingga tak heran pemberitaan tentang PJJ daring dan luring sering kali
menghiasi media dengan berbagai variasinya.
Bagaimana bisa itu terjadi? ada kala dengan alasan tujuan mendidik
terkadang dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak mendidik, tingkat emosi
orang tua yang sebenarnya kurang memahami bagaimana pembelajaran pengetahuan
itu diberikan dan dengan metode apa pembelajaran itu disampaikan, membuat
sebagian orang tua kewalahan dan banyak menimbukan efek yang berbeda-beda. Semua
baru menyadari bahwa mendidik itu tidaklah mudah, mengajarpun tidaklah
gampang. Orang tua yang tidak begitu
memperhatikan putra-putrinya dalam belajar, tentu akan memberikan kebebasan
anak dalam menggunakan gadget selama
24 jam, dengan alasan alat sedang digunakan dalam belajar. Pemahaman orang tua tentang gadget dan fungsinyapun seharusnya
menjadi hal yang tidak kalah penting dalam memantau aplikasi atau browser apa saja yang telah digunakan
oleh anak-anaknya. Lagi-lagi, tugas guru dalam meluruskan dan memberikan
pengertian bahwa gadget adalah
sebagai alat pembelajaran yang sangat penting jika kita bijak dalam penggunaannya. Guru juga harus mampu meyakinkan siswa bahaya
dari negatifnya penggunaan gadget dengan
cara yang tidak bijak agar penggunaan oleh siswa dapat lebih efektif.
Dengan demikian, guru
sebagai garda terdepan dalam membentuk karakter siswa yang berbudi pekerti
luhur, yang harus mampu memberikan teladan yang baik dalam proses pembelajaran
PJJ. PJJ bukan berarti hanya mengajar,
tetapi sekaligus mendidik, “mengajar
dengan mendidik, dan mendidik dengan mengajar” PJJ jangan menjadi
penghalang berinovasi dalam pembelajaran dan pendidikan, justru harus mampu
menjadi pengembang pengetahuan baik secara pribadi khususnya dan umumnya
berimbas kepada rekan sejawat baik tingkat lokal maupun nasional.
Melalui tulisan ini, penulis
hanya mampu menyarankan kepada kita semua, agar dapat melaksanakan tugas
sebagaimana biasa, hanya mungkin situasinya yang berbeda. Tugas kita adalah
mendidik dan mengajar, sudah seyogyanya hal itu dilakukan dengan rasa ikhlas
dan tangung jawab yang tinggi, agar citra pendidikan tetap baik dan bahkan
meningkat lagi. Isu-isu negatif tehadap
pendidikan, sedikit demi sedikit kita kikis, dan kita tunjukkan bahwa guru itu
tak akan tergantikan oleh pranala manapun.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentarnya