Monday, October 19, 2020

Pendikan Inklusi

 

Konsep Pendidikan Inklusif

 

1.        Hakikat Pendidikan Inklusif

 

Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model “segregasi” yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata lain, di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem sekolah yang diselenggrakan secara reguler. Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB) mulai jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMPLB), sampai Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras

 

Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

 

Berbeda halnya dengan TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ataupun hambatan majemuk. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Akan tetapi, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi bisa jadi pada kondisi tertentu merugikan peserta didik.

 

Dengan model segregatif tersebut, Depdiknas (2007:1) menjelaskan bahwa tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus mengembangkan potensi secara optimal. Hal ini mengingat, kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Di samping itu, peserta didik tidak disiapkan untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal. Mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Dengan demikian, perkembangan emosional dan sosialisasi siswa kurang luas karena faktor lingkungan


menjadi terbatas.

 

Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan kesepian dan perasaan rendah diri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat pula mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku stereotip dan stimulasi diri. Ini menambah kondisi mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut.

 

Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, pertengahan abad 20 muncul model “mainstreaming”. Model mainstreaming ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkebeutuhan khusus. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya anak berkebutuhan khusus harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kemampuannya.

 

Para ahli berbagai disiplin ilmu, simpatisan, dan kelompok penyandang disablitias melakukan berbagai usaha perbaikan untuk menyebutkan secara spesifik orang penyandang disabilitas dan menekankan bahwa semua penyandang disabilitas–tanpa memandang tingkat keparahannya–memiliki hak atas pendidikan. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut memperoleh hasil, maka pada Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 memuat instrumen-instrumen hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan anak berebutuhan khusus lainnya.

 

Dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 tersebut telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia) suatu instrumen yang secara sah mengikat hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum. Bahkan Pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan dasar “wajib dan bebas biaya bagi semua”.

 

Perkembangan sejarah pendidikan inklusif di Indonesia mulai mengembangkan pendidikan inklusif tahun 2000. Pada awalnya pendidikan bagi anak berkebutuhan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan sebagaiman dikutip dari http://www.ditplb.or.id/2006, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis hambatan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Autis.


 

Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis hambatan anak, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis ataupun hambatan majemuk.

 

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak dengan hambatan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.

 

Perkembangan selanjutnya diawali dengan penyelenggaraan Konvensi Nasional pada 8 s.d. 14 Agustus 2004. Konferensi tersebut diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat PLB, Braillo Norway, dan UNESCO Jakarta yang melahirkan Deklarasi Bandung untuk menuju Indonesia pada pendidikan inklusif. Kelanjutan dari konvensi tersebut, tahun 2005 di Bukittinggi dilaksanakan Simposium Internasional. Tujuan dari simposium tersebut adalah upaya mengupayakan agar hak-hak anak yang mengalami hambatan belajar. Hasil rekomendasi Bukittinggi tersebut yaitu perlu terus ditumbuhkembangkan pendidikan inklusif untuk menjamin agar semua siswa memperoleh pendidikan yang layak serta berkualitas.

 

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

 

2.        Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif

 

Menurut Stubbs (Depdiknas, 2007:23) mendefinsikan bahwa ‘inklusif atau pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’. Definisi pendidikan inklusif yang


 

dirumuskan dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.

 

-          lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal.

 

-          mengakui bahwa semua anak dapat belajar.

 

-          memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.

 

-          mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, status HIV/AIDS dll.

 

-          merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.

 

-          merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.

 

Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) yang dimuat pula dalam http://bamperxii.blogspot.com menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya’. Perkembangan berikutnya pada bulan Maret tahun 1990 di Thailand dicetuskan Deklarasi Dunia Jomtien tentang Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. EFA melangkah lebih jauh dibandingkan dengan Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang ‘Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan’. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang disabilitas. Walaupun istilah inklusif tidak digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.

 

3.        Landasan Pendidikan Inklusif

 

Kebijakan implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas pada pertimbangan kemanusiaan semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan penyelenggaran pendidikan inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.


a.         Landasan Filosofis

 

Terkait dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.

 

Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

 

b.         Landasan Yuridis

 

Landasan yuridis tentang pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa


 

“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

 

Dalam konteks pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2): “Warga negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

 

Dalam hal aksesibilitas pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

 

c.         Landasan Empiris

 

Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah


 

penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman sebayanya.

 

Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1)        Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), tahun 1948;

 

2)        Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989;

 

3)        Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990;

 

4)        Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);

 

5)        Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education) Tahun 1994;

 

6)        Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun 2000;

 

7)        Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”;

 

8)        Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya dipandang sebagai:

 

-          Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;

 

-          Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan

 

-          Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.


 

Merujuk pada uraian di atas, jelaslah bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dukungan secara internasional maupun nasional sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang ditujukan untuk menjamin terlayaninya hak-hak pendidikan individu dengan memperhatikan kebutuhan khusus setiap peserta didik.

 

4.        Prinsip Pendidikan Inklusif

 

Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:

 

a.         Prinsip motivasi, guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

 

b.         Prinsip latar atau konteks, guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.

 

c.         Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran

 

d.         mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.

 

e.         Prinsip individualisasi, guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.

 

Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:

1)        Setiap anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.

 

2)        Hari sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.

 

3)         Guru bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.


 

Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).

 

Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

 

a.      Prinsip kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan. Dengan adanya perkembangan kearah UPE, Sekolah Dasar harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik itu dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam aturan perundang-undangan, organisasi dan pelaksanaannya serta perubahan filosofi kearah yang inklusif yang memandang bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk pendidikan dasar, dan setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.

 

b.         Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child-

 

Centered). Prinsip kedua: pada dasarnya mengungkapkan tentang inovasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Prinsip ini menghendaki adanya perubahan pendekatan dalam pendidikan dari pola tradisional menjadi pola pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered patern). Asumsinya bahwa setiap anak memiliki kapasitas dan kebutuhan yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, sehingga pola pendidikan tradisional (yang menggunakan pendekatan klasikal, berpusat pada guru, berdasarkan pada materi hapalan, dan tidak mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang peserta didik) dianggap tidak relevan dengan kondisi anak berkebuthan khusus.

 

c.          Prinsip ketiga: Penekanan pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. Agar pendidikan dasar lebih efektif dalam melayani peserta didik yang beragam, sekolah harus responsif terhadap kebutuhan para peserta didik serta kebutuhan guru dalam strategi mengajar, juga kemampuan untuk meningkatkan kurikulum sehingga dapat menyampaikan program pendidikan yang sesuai untuk semua anak. Lebih penting dari hal tersebut di atas adalah perlunya perubahan filosofis dari yang berorientasi


 

tradisional menuju pelaksanaan pendidikan berorientasi pada keberhasilan, fleksibilitas, dan akomodatif terhadap keragaman, yaitu paradigma yang menerima konsep dapat dididik (universal educability), dimana semua anak dapat belajar. Hal ini mengimplikasikan dua hal, pertama, mengatasi adanya fragmentasi anak dengan kebutuhannya, kedua, mengatasi gejala kegagalan di sekolah dengan etos keberhasilan.

 

d.         Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. Kepercayaan akan perlunya mengkaitkan antara sekolah reguler dengan sekolah khusus secara lebih erat lagi merupakan implikasi dari istilah The Reguler Education Initiative (REI). REI mengajak sistem pendidikan reguler untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan semua peserta didik dan juga memberikan saran bahwa pendidikan khusus hendaknya bertindak sebagai sumber daya bagi pendidikan reguler. REI mengimplikasikan adanya penerimaan terhadap universal educability dan penyebarluasan etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom kegagalan yang ada pada sebagian besar sekolah dasar.

 

e.         Prinsip kelima: Komitmen untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. Di bawah paradigma baru untuk pendidikan dasar, sekolah dipandang sebagai bagian integral dari lingkungan masyarakat. Guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat semuanya terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga tanggung jawab atas kemajuan anak menjadi tanggung jawab bersama. Kerjasama dan pengkoordinasian antara fasilitas pendidikan khusus, guru, dan sekolah reguler haruslah menjadi kegiatan yang bisa dilakukan sebab tidak ada satu sistem yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak.

 

f.           Prinsip keenam: Pengakuan oleh para profesional tentang keragaman yang lebih besar. Pembekalan kepada calon guru dengan memberikan bermacam-macam cara pembelajaran, bentuk-bentuk pendekatan yang fleksibel dan kooperatif sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran para profesional akan adanya keberagaman cara belajar yang dimiliki oleh peserta didik. Di India, guru diberikan dorongan untuk menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan membantu guru tersebut agar mampu bekerja secara kooperatif dengan guru lainnya. Di India juga telah digunakan konsep multy category resourch teacher, dimana seorang guru sebagai narasumber diberi tugas untuk membantu guru lain dalam berbagai kasus pada anak-anak berkebutuhan khusus.


 

g.         Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility. Tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan didasarkan pada asumsi bahwa:

 

1)       Ada banyak domain dalam kehidupan anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah.

 

2)       Ada banyak aspek dari perkembangan danak yang akan menentukan sejauh mana anak akan dapat mengambil manfaat dari pendidikan.

 

3)       Pengaruh cacat dan kondisi hidup yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini mungkin.

 

4)       Guru dan profesional yang lain sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.

 

5)     Guru bertanggung jawab terhadap semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja.

 

Dalam sistem sekolah yang mengaplikasikan prinsip-prinsip perkembangan yang holistik, layanan pendidikan memperhatikan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian pendidikan, termasuk kesehatan dan keadaan fisik, keadaan nutrisi, tuntutan kerja dan lain-lainnya.

 

Sekolah Ramah Anak (Pengelolaan Lingkungan Fisik)

 

Sekolah Ramah Anak (SAR) adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.

 

Mewujudkan sekolah ramah anak memerlukan pengembangan dalam hal berikut:

 

1.        Aksesibilitas di Lingkungan Sekolah


 

Kemudahan Aksesibilitas di lingkungan sekolah inklusif ramah anak merupakan salah satu indikator kualitas layanan publik, khususnya bagian dari lingkungan sekolah yang ramah anak. Penyediaan desain lingkungan yang inklusif ramah anak, termasuk kemudahan bagi ABK dan atau penyandang disabilitas pada umumnya bahkan telah dituangkan dalam konvensi internasional.

 

Konvensi PBB tentang Hak Disabilitas (Convention on The Rights of People with Disability) menyatakan bahwa disain universal adalah desain untuk produk, lingkungan, program, dan layanan yang dapat digunakan bagi semua orang semaksimal mungkin tanpa memerlukan desain tambahan atau desain khusus. “Desain universal” tidak bertujuan untuk meniadakan alat bantu bagi disabilitas tertentu jika memang mereka membutuhkan.

 

Tiga belas hal pertama yang sering kita temui pada bangunan umum adalah tangga yang harus dijajaki sebelum bisa masuk ke gedung. Tangga sering kali menjadi penghambat pertama bagi banyak anak dan orang dewasa dalam mengakses sekolah atau bangunan umum lainnya. Secara langsung hambatan tersebut juga menghalangi mereka untuk menikmati layanan-layanan yang ditawarkan oleh fasilitas ini. Terkadang tangga hanya memilki dua atau tiga anak tangga namun terdapat pula tangga yang memilki begitu banyak anak tangga. Beberapa tangga sudah memiliki pegangan rambat di kedua sisinya guna meringankan langkah pengguna, tapi kebanyakan belum memilikinya.

 

Dengan demikian semua bangunan umum harus menyediakan beberapa cara alternatif untuk masuk kedalamnya. Lantai yang landai (ramp) umumnya paling mudah dan relatif murah untuk dibangun (setidaknya pada bangunan 1 lantai) dan bermanfaat bagi banyak orang. Ramp seharusnya diadakan di semua bangunan sekolah dan bangunan umum lainnya. Ketika bangunan sekolah baru dirancang dan disain sedang dikembangkan, harus dipastikan bahwa semua bagian bangunan tersebut harus dapat diakses oleh semua orang. Ramp dan akses jalan lainya harus didesain sebagai satu kesatuan sehingga tidak menjadi akses terpisah bagi anak, guru, orang tua dengan disabilitas, wanita hamil, dan manula. Sebaliknya strategi desain seperti ini akan menghadirkan akses jalan dengan berbagai alternatif yang menarik bagi semua penggunanya. Ruang, pencahayaan, bahan dan warna yang digunakan mempengaruhi pengalaman pembelajaran yang kita dapatkan. Sekolah dapat menggunakan dengan baik elemen-elemen ini dalam menciptakan bangunan dan lingkungan yang mencerminkan kebutuhan dan keinginan para siswa dan stafnya. Sayangnya, sekolah sering dirancang dan dibangun tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat penggunanya (Ian Kaplan, 2007).


 

Karena itu, desain universal tidak “hanya” terkait dengan pengadaan akses, tetapi juga dengan pengembangan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan ramah di sekolah. Sekolah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip desain universal akan lebih efektif dalam memberikan layanan pembelajaran karena sekolah ini memungkinkan semua anak untuk belajar, berkembang, dan berpartisipasi, bukan sebaliknya “membuat anak menjadi tidak mampu” dengan menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan dan partisipasi mereka.

 

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2016, pasal 2 menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan salah satu pelaksanaan dan pemenuhan hak disabilitas. Penjaminan hukum layanan aksesibilitas tersebut salah satunya dilakukan dalam rangka memastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk mengembangkan diriserta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan serta, berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Penerapan dan jaminan hak yang digariskan dalam UU nomor 8 tahun 2016 tersebut memiliki urgensi tinggi terutama kaitanya dengan upaya penyelenggaraan pendidikan inkusif yang telah memiliki kekuatan hukum dengan diundangkannya permendiknas no. 70 tahun 2009.

 

2.        Sarana Prasarana dan Penataan Ruangan

 

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan fasilitas pendidikan yang sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan (Prasojo, 2015:2). Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad Joko Susilo (2008;65), sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sarana prasarana pendidikan merupakan segala jenis fasilitas baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang mendukung proses pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

 

Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu. Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan


 

inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi ABK, serta media pembelajaran yang sesuai dengan ABK (POS Pendidikan Inklusif, 2007).

 

a.         Prinsif Desain Universal Layanan Pengembangan Aksesibilitas Sarana dan Prasarana SPPI

 

Terdapat tujuh prinsip desain universal pengembangan aksesibilitas sarana dan prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah anak. Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut:

 

Prinsip 1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang cacat. Penyediaan aksesibilitas bagi semua anak di sekolah dan di dalam sarana dan prasarana sekolah dapat diwujudkan melalui langkah yang sederhana dan hemat biaya.

 

Prinsip 2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.

 

Prinsip 3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan, kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.

 

Prinsip 4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki perbedaan pada tingkat fungsi dan kondisi alat indera. Terkait pembelajaran di sekolah, maka sebaiknya buku pembelajaran dicetak dengan tinta dan juga Braille. Buku cetak tinta sebaiknya berkualitas baik dan memiliki paduan warna yang kontras. Minimal ukuran huruf yang digunakan (font) adalah 12. Jika buku dicetak dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil, maka buku cetak besar juga harus disediakan untuk anak penyandang low vision.


 

Prinsip 5 : toleransi untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam penggunaannya.

 

Prinsip 6 : tidak memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya. Sebuah disain harus dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada penggunanya.

 

Prinsip 7 : ukuran dan ruang yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati, mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan mobilitas pengguna yang berbeda-beda.

 

Contoh penerapan universal disain:

 

Ruang kelas yang fleksibel bagi semua penggunanya (kursi dapat dipindahkan), bangunan dengan lantai yang rata, jalan masuk tanpa tangga, akses masuk pintu yang cukup lebar, tombol yang bisa dikenali melalui indra peraba, pengaturan pencahayaan yang sesuai, rambu-rambu atau pelabelan yang jelas, dll. (Unesco, 2009)

 

b.        Saran Praktis untuk Menciptakan Aksesibilitas di Ruang Kelas

 

-          Pintu harus mudah dibuka dan ditutup serta tidak memerlukan banyak tenaga.

 

-          dalam membukanya (secara berangsur-angsur pintu yang sudah tua sebaiknya diganti). Sebaiknya gunakanlah pintu geser (sliding door) atau jenis pintu lain yang tidak menggunakan daun pintu agar tidak menghalangi akses bagi pengguna kursi roda. Pintu harus dibuat selebar mungkin agar mudah dilalui kursi roda.

 

-          Sediakan ramp bagi pengguna kursi roda (kelandaian ramp sebaiknya tidak terlalu curam, ukuran ideal 1: 12 dengan penambahan panjang 12cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm. Standar minimum: 1:10 dengan penambahan panjang 10 cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm dan lebar ramp adalah 120 cm. Sedangkan ukuran kelandaian ideal adalah 1: 20 dengan lebar 95 cm. (dikutip dari “Aksesibilitas Fisik” diterbitkan oleh Arbeiter Samariter Bund (ASB).

 

Petunjuk: Pertimbangkanlah jarak antar meja di kelas guna memudahkan mobilitas kursi roda. Lebar kursi roda standar adalah 80 cm, agar dapat dilalui kursi roda maka jarak antar meja harus lebih dari 80 cm. Sebaiknya sediakan jalur pemandu di lorong


 

sekolah sebagai peringatan •keberadaan obyek tertentu seperti pintu yang mungkin saja sedang terbuka ketika anak melewati lorong tersebut. Hal ini akan membahayakan siswa terutama bagi penyandang tunanetra. Saklar lampu sebaiknya diletakkan di tempat yang mudah di jangkau oleh semua anak dengan mempertimbangkan kemampuan jarak capai atau tinggi anak yang berbeda-beda.

 

-          Tempatkan stop kontak dan saluran listrik pada satu posisi yang sama di setiap kelasnya dan sebaiknya diletakkan di atas meja dekat saklar sehingga memudahkan semua anak dalam penggunaannya terutama anak tunanetra dan disabilitas fisik.

 

-          Perhatikan standar keamanan saat pemasangan segala jenis instalasi listrik, utamakan penggunaan perangkat yang memiliki fitur keamanan bagi anak. Misalnya dengan menggunakan stop kontak tertutup untuk mencegah anak memasukan jarinya ke dalam stop kontak yang dapat mengakibatkan anak terkena sengatan listrik.

 

-          Gunakan warna-warna kontras untuk menciptakan lingkungan yang aksesibel dan ramah terhadap pembelajaran .

 

-          Suara atau tingkat kegaduhan di dalam kelas dapat diminimalisir dengan menggunakan gorden, dekorasi dinding dari bahan tekstil, dan bahan peredam suara lainnya.

 

-          Kodifikasi (penggunaan kode) warna sebaiknya digunakan untuk membedakan ruang kelas. Penerapan kodifikasi ini akan memudahakan siswa terutama anak penyandang low vision, tunagrahita, lamban belajar dan lain-lain. Penerapan berbagai warna juga akan membuat kesan sekolah yang ceria dan menyenangkan bagi semua.

 

-          Setiap pintu sebaiknya dilengkapi dengan simbol penanda atau keterangan dalam huruf braille sebagai petunjuk bagi anak dengan hambatan penglihatan low vision atapun totally blind.

 

Petunjuk: Setiap bagian bangunan sekolah dan materi pembelajaran sebaiknya bersifat aksesibel sejak awal perancangan maupun pembangunannya. Dengan demikian penyediaan aksesibilitas akan lebih hemat biaya bila dibandingkan jika penyesuaian aksesibilitas dibuat setelah bangunan atau materi pembelajaran siap pakai.


 

-          Jika di sekolah hanya lantai 1 saja yang aksesibel, maka pastikan pula semua kelas yang di dalamnya terdapat siswa tunadaksa (misal, menggunakan kursi roda/kruk) ditempatkan hanya di lantai 1 saja.

 

-          Halaman sekolah atau arena bermain anak, tidak seharusnya menjadi area parkir karena dapat membahayakan semua warga sekolah. (Unesco, 2009)

 

c.         Prinsip Penataan Ruang Kelas Inklusif

 

Penataan ruang kelas dalam seting sekolah inklusif bertujuan untuk memudahkan aksesibilitas dalam aktivitas pembelajaran bagi semua peserta didik, termasuk di dalamnya PDBK. Berikut ini prinsip penerapan ruang kelas dari kelas rendah sampai kelas tinggi sekolah dasar inklusif yang mengusung tema ramah anak.

 

1)        Berpusat Pada Anak (Child Centered)

 

Penataan ruang kelas harus memungkinkan anak untuk bergerak, berinteraksi, berdiskusi, dapat mengakses alat bahan secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya.

 

2)        Learning Centers (pembagian Zona)

 

Area-area dimaksudkan sebagai sumber belajar bagi anak yang sebisa mungkin ditata sesuai dengan apa yang sedang dipelajari (tema Pembelajaran)

 

3)        Menarik dan Menantang

 

Penataan  dibuat  sedemikian  rupa  agar  menarik  dan  kreatif  sehingga

 

 

memunculkan rasa senang bagi siswa dan mampu memberikan insfirasi. Penataan kelas juga harus menantang hingga mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menemukan, dan berpikir.

 

4)        Estetis

 

Selain harus menarik dan menantang, penataan ruang kelas juga harus memperhatikan prinsip estetika. Penataan kelas harus tetap rapi, bersih dan mampu memunculkan nilai seni. (Oktina, 2014)

 

d.        Sarana dan Prasarana Umum yang Dibutuhkan di Sekolah Inklusif

 

Sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif relatif sama dengan di sekolah reguler pada umumnya, yaitu meliputi: ruang kelas, ruang praktikum (laboratorium), ruang perpustakaan, ruang serbaguna. ruang bimbingan konseling. ruang usaha kesehatan sekolah, ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha, lapangan olahraga, toilet, ruang ibadah, ruang kantin, ruang sumber (ruang


 

ini merupakan kekhususan pada sekolah inklusif yang membedakan dengan sekolah lainnya. Ruang sumber ini dilengkapi media khusus yang diperlukan bagi ABK).

 

e.         Media Pembelajaran dan Peralatan Khusus

 

Mengapa sarana-prasarana, media pembelajaran, dan peralatan khusus bagi ABK dalam seting sekolah inklusif sangat penting? Sekolah Penyelenggaran Pendidikan Inklusif (SPPI) adalah sekolah yang menyediakan layanan pendidikan bagi semua peserta didik reguler maupun Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) di kelas yang sama. SPPI merupakan tempat pendidikan untuk ABKguna mendapat perlakuan secara proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsekuensi dari kondisi SPPI menuntut adanya penyesuaian strategi pembelajaran dalam upaya melaksanakan kurikulum yang telah disahkan secara nasional.

 

Kehadiran PDBK menuntut sekolah untuk menyiapkan sarana-prasarana khusus sesuai dengan karakteristik peserta didik dan strategipembelajaran oleh guru yang bervariasi. Penyediaan sarana-prasarana dan media pembelajaran tidak perlu menuntut adanya biaya tinggi dan sulit untuk mendapatkannya. Berbekal kreativitas, para guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar, media belajar yang sederhana dan murah. Misalnya, guru dan peserta didik memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, bekas kaleng minuman, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar, media belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, media belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar peserta didik. Tidak sedikit sekolah-sekolah memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar/media pembelajaran yang sangat berharga bagi peserta didik (Direktorat pembinaan Pendidikan Khusus dan layanan Khusus, 2012).


 

Sarana dan prasana dalam bentuk peralatan khusus sangat menunjang bagi layanan pembelajaran berkualitas. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan ABK di sekolah inklusif tentunya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak.

 

Layanan pembelajaran yang berkualitas untuk peserta didik tunagrahita misalnya membutuhkan dukungan sejumlah media pembelajaran dan peralatan khusus seperti:a) alat asesmen, b) media untuk latihan sensori visual, c) media untuk latihan sensori perabaan, d)media atau alat bantu untuk sensori pengecap dan perasa, e) media dan peralatan khusus untuk latihan bina diri, f) media untuk memperkenalkan konsep dan simbol bilangan, g) media dan peralatan khusus untuk pengembangan kreativitas, daya pikir dan konsentrasi, h) alat pengajaran bahasa, dan i) latihan perseptual motor.

 

Pengelolaan Lingkungan Non Fisik

 

Pada bagian ini akan dibahas tentang konsep sekolah ramah anak. Selanjutnya kita bahas situasi dan suasana pembelajaran yang inklusif ramah anak, Pengelolaan kelas (Classroom management), pengembangan kerjasama dengan pihak lain, pengembangan sikap/karakter penerimaan terhadap peserta didik, penerapan strategi tutor teman sebaya, dan pengelolaan peserta didik.

 

1.        Konsep Dasar Sekolah Ramah Anak dalam Konteks Pendidikan Inklusif

 

Konsep Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai program untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya, selama anak berada di satuan pendidikan, serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran dan pengawasan. Secara konseptual Sekolah Ramah Anak adalah satuan pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, dan mekanisme pengaduan (Permen PP dan PA Nomor 8 Tahun 2014). Sekolah Ramah Anak adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus.

 

Secara umum, prinsip utama sekolah ramah anak adalah bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan


 

martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pembentukan dan Pengembangan Sekolah ramah anak (SRA) didasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan anak, kelangsungan hidup, perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak, dan pengelolaan yang baik. (Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus, 2019)

 

2.        Situasi dan Suasana Pembelajaran

 

Situasi dan suasana pembelajaran yang ramah anak dan dilandasi nilai-nilai kebersamaan merupakan bagian penting dalam konteks akomodasi lingkungan non fisik di sekolah inklusif. Untuk mewujudkan nilai-nilai kebersamaan dalam seting sekolah inklusif, diperlukan suatu upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan (Togetherness Values) dalam aktivitas pembelajaran maupun kegiatan di luar pembelajaran, seperti kegiatan ekstrakurikuler, bahkan dalam momen bermain bebas saat waktu istirahat. Dalam konteks ini, sekolah dituntut untuk dapat memberikan makna terjadinya proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada setiap aktivitas peserta didiknya.

 

Manakala nilai-nilai kebersamaan dapat di internalisasikan di SPPI, maka sekolah inklusif akan memberikan peran sebagai agen perubahan terwujudnya masyarakat inklusif sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Situasi dan suasana pembelajaran yang dibangun diatas keberagaman tetapi menuju kearah tujuan yang sama, yaitu memberikan layanan Pendidikan yang berkualitas sesuai kakarkeristik dan kebutuhan individu peserta didik dengan menempatkan nilai kebersamaan sebagai nilai intinya (Core value).

 

Berdasarkan kajian terhadap komponen program (Stainback, 1990:23), aktivitas pembelajaran (Unesco, 1998), layanan pembelajaran (Johnsen dan Skojen, 2001:5), respon terhadap keragaman peserta didik (Lynch, dalam Budiyanto, 2005: 42-46), dan pola pembelajaran, dapat dirumuskan indikator nilai-nilai kebersamaan yang mewarnai situasi dan suasana pembelajaran dalam praktik penyelenggaraan sekolah inklusif sebagai berikut.

 

a.         Sekolah menyediakan program yang layak, menantang, dan aksesible untuk semua peserta didik, dengan tetap memperhatikan aspek kebutuhan khusus pada setiap individu;

 

b.         Setiap peserta didik, termasuk di dalamnya ABK, memiliki suasana yang damai dan harmoni dalam melakukan aktivitas pembelajaran dan aktivitas lainnya, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial;


 

c.         Aktivitas pembelajaran di sekolah inklusif berbasis pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi maunia, dan pembangunan berkelanjutan;

 

d.        Adanya kepekaan sosial dan kesiapan akademis dari warga sekolah untuk senantiasa meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran bagi setiap peserta didik yang berbasis pada analisis kebutuhan individu;

 

e.         Sekolah harus merespon keragaman peserta didik secara luas, baik dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda;

 

f.           Pola pembejaran yang dilakukan di sekolah inklusif berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak (Teaching Base of Students Centre);

 

g.         Pola pembelajaran yang berbasis pada pola kolaboratif yang sistemik, yang melibatkan peran dari kepala sekolah, guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat. (Hermansyah, 2014).

 

3.        Manajemen/Pengelolaan Kelas (Classroom Management)

 

Manajemen kelas inklusif dirancang agar pembelajaran dalam kelas inklusif yang heterogen dapat berjalan secera efektif. Adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah inklusi berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen, tidak hanya pada level sekolah, tetapi juga pada manajemen kelas. Pembelajaran di sekolah inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan ABK menuntut perubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi dihadapkan pada keberagaman kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu, pengelolaan kelas di sekolah inklusif menjadi hal yang sangat penting dalam tataran implementasi pendidikan inklusif. Pemahaman yang baik terhadap pengelolaan kelas akan dapat meminimalisir permasalahan yang dialami oleh guru kelas dalam mengelola kelas yang heterogen.

 

Pembelajaran yang bermakna bukan saja hanya mengajar, bukan saja penyampaian informasi/pesan tetapi juga meliputi perkembangan pribadi siswa, interaksi sosial serta penanaman sikap dan nilai pada diri siswa. Proses belajar yang bermakna akan terwujud dalam kondisi, suasana iklim kelas yang kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu terbina hubungan interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar peserta didik yang diharapkan.

 

Pengelolaan kelas disekolah lnklusif adalah serangkaian aktivitas dan kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran mulai dari perencanaan proses pembelajaran,


 

metode, strategi dan pendekatan serta evaluasi pembelajaran. Manajemen kelas inklusif dirancang untuk tercipta kelas yang kondusif, aktif, kreatif, kooperatif dan menyenangkan melalui penciptaan lingkungan kelas yang kondusif, iklim dan suasana psiko sosial dan emosi yang positif, serta penciptaan sistem sosial yang memungkinkan anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian manajemen atau pengelolaan kelas inklusif pada dasarnya merupakan implementasi dari prinsif-prinsif pembelajaran yang harus mewarnai suasana pembelajaran.

 

Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan. SPPI dalam dimensi pengelolaan kelas inklusif perlu melakukan berbagai pembenahan di antaranya sebagai berikut:

 

a.         Guru harus mampu menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;

 

b.         Sekolah harus siap mengelolaa kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual;

 

c.         Guru harus mampu menerapkan pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;

 

d.        Guru pada SPPI dituntut mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;

 

e.         Guru pada SPPI dituntut mampu melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan.

 

Pada proses pembelajaran di sekolah inklusif, PDBK disamping belajar secara klasikal dengan teman-teman sebayanya di dalam kelas, juga mendapatkan layanan bembelajaran individual sesuai kajian hasil asesmen akademik dan non akademik. Proses pembelajaran individual ini biasa disebut dengan istilah One to One Teaching yang sesi belajarnya dilakukan di ruang khusus pembelajaran individual.

 

Prinsip-prinsip pengelolaan kelas inklusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang kondusif secara umum sama dengan prinsip pengelolaan pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami hambatan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum, juga diharuskan memiliki kemampuan


 

menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik ABK.

 

 

Mekanisme Layanan PDBK Di Sekolah Inklusif

 

Layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sistem pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi penyelenggaraan pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 3, yaitu:

 

1.        Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

 

2.        Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.

 

3.        Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.

 

Peraturan di atas menunjukkan bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif di daerahnya masing-masing. Minimal terdapat satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk memastikan bahwa semua warga negara berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan.

 

Penerimaan PDBK

 

Penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog.

 

Namun demikian, pada umumnya sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk kondisi di daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat terbatas. Secara grafis mekanisme


 

penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif disajikan dalam skema berikut.

 

Mekanisme penerimaan digambarkan dalam skema-skema berikut:

 

 

 

 

Rumah

Sakit

 

 

 

 

Orang

 

 

 

 

 

 

Sekolah

 

Dinas

 

Tua

 

 

Pendidikan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Mekanisme penerimaan skema 1

 

 

 

 

 

Rumah Sakit

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Orang Tua

 

 

 

 

 

 

 

 

Dinas

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendidikan

 

 

 

 

Sekolah

 

 

Gambar 2. Mekanisme penerimaan skema 2

 

 

Rumah Sakit

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dinas

 

 

 

Unit Layanan

 

 

Orang Tua

 

 

 

 

Disabilitas

 

Pendidikan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sekolah

 

 

Gambar 3. Mekanisme penerimaan skema 3


 

Untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.

 

1.         Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif (surat pemberitahuan tentang kesiapan menyelenggarakan pendidikan inklusif) kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

 

2.         Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) / laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.

 

3.         Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.

 

4.         Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

 

Identifikasi, Asesmen, dan Intervensi

 

Identifikasi

 

Identifikasi adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu benda atau seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan mengikuti pembelajaran.

 

Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan, dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang dimilikinya.

 

Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan. Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan


 

(screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.

 

Asesmen

 

Asesmen adalah upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki, hambatan/kesulitan yang dialami, mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu muncul dan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Berdasarkan data hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi anak itu.

 

Asesmen dalam pendidikan khusus dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1) asesmen berbasis kurikulum (asesmen akademik), dan 2) asesmen berbasis perkembangan, dan

 

3)   asesmen kekhususan (asesmen non-akademik). Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi, dan analisis pekerjaan anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik itu dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok pada satu teknik saja. Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan dengan peserta didik pada umumnya, baik dalam bidang akademis maupun non akademis sebaiknya stokeholder melakukan hal-hal sebagai berikut:

 

Peran guru

 

-          Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik

 

-          Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah

 

-          Mengkonfirmasikan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua ketika di rumah.

 

Peran Orang tua

 

-          Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)

 

-          Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog

 

-          Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat

 

Peran Kepala sekolah

 

-          Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa) terdekat

 

-          Melapor kepada Dinas pendidikan setempat

 

-          Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi

 

-          Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.


Peran Dinas Pendidikan

 

-          Tim verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan oleh pihak sekolah.

 

-          Tim verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi, Organisasi profesi.

 

-          Tim verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,

 

-          Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi.

 

Intervensi

 

Layanan intervensi dimaksudkan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan intervensi adalah perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami hambatan perkembangan dan hambatan belajar, sebagai dampak dari hambatan yang dimilikinya. Intervensi dilakukan setelah dilakukan adanya hasil asemen diketahui.

 

Penempatan dan Tindak Lanjut

 

Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses belajar mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta didik reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di samping menerapkan prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar maka guru harus memperhatikan prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama perserta didik lainya adalah cara yang sangat inklusif; nondiskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi yang dibutuhkan.


 

 

 

 

Konsep Keberagaman Peserta Didik

 

1.        Pengertian Keberagaman Peserta Didik

 

Keberagaman peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1 mengamanatkan bahwa;

 

“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Dengan demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan, fisik, gender, latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki hak untuk belajar.

 

Implementasi di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki karakteristik keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ciptakan susana kebersamaan dalam berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik membaur dan saling interaksi, sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong menolong antarsesama.

 

Begitupun gurunya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan baik, harus memahami berbagai perbedaan. Setiap individu memiliki karakteristik sendiri, baik dalam gaya belajar atau kemampuan mengaktulisasikan berbagai kemampuan dan keterampilannya, misalnya perbedaan jender. Murid laki-laki memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid perempuan. Misalnya, cara berpikir peserta didik laki-laki berbeda dengan murid perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan karakteristik jender dapat dipertukarkan.

 

Perbedaan mereka tampak dari kekuatan fisik, perkembangan psikoseksual, minat belajar pada bidang berlainan, ketekunan, ketelitian, kecenderungan metode pembelajaran yang lebih sesuai untuk masing-masing jenis kelamin, dan seterusnya. Ada kemungkinan murid perempuan sangat berminat dalam bidang olah raga, sedangkan murid laki-laki sangat menyukai pelajaran tata boga. Seorang guru perlu mengenali keunggulan peserta didik tanpa harus melakukan stereotip jender.


 

Dengan demikian, guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa masyarakat majemuk tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas horizontal (adanya perbedaan etnik, sub-sub etnik) dan pluralitas vertical (adanya pelapisan-pelapisan sosial).

 

Penamaan istilah “peserta didik” kepada peserta didik di sekolah dewasa ini sudah tepat, mengingat cara pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid atau peserta didik”. Hal ini, kata “peserta didik” dapat mengakomodasi keberagaman peserta didik dalam melihat kebutuhannya.

 

Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan peserta didik dan bukan pada label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang setiap Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini berkaitan dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini akan menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan dan mengoptimalkan potensi peserta didik.

 

Dengan demikian, upaya-upaya pemberian layanan pendidikan terhadap PDBK hendaknya berfokus pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan melalui pengamatan guru secara berkesinambungan dan sistematik dalam proses identifikasi dan asesmen.

 

Hal ini, sejalan dengan Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru bahwa dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah satunya adalah memahami krakteristik peserta didik maka diharapkan sebelaum melakukan pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen. Hal ini untuk dijadikan sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik.

 

2.        Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik

 

Kebearagaman peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut harus menjadi sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik. Peserta didik reguler maupun peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup.


Ada empat indikator kualitas hidup bagi setaip peserta didik, yakni sebagai berikut:

 

3.        To Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus terhalangi atau dibatasi oleh kondisi hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota kelas inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus menjadi tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam mengembangkan layanan pembelajaran akomodatif.

 

4.        To Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan pembelajaran dan aktivitas sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah.

 

5.        To Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif harus memperooleh kesempatan yang sama untuk mengikuti aktivitas belajar secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah. Peserta didik berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk memperoleh kesempatan aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah.

 

6.        To Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan dirinya dalam upaya mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan pendidikannya.

 

Jenis Hambatan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

 

-          Anak Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Sensorik

 

Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sesuai dengan jenis hambatan yang dialami. Anak berkebutuhan khusus menurut Gunawan (2011) yaitu sebagai berikut.

 

a.  Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)


 

Anak dengan hambatan penglihatan menurut Gunawan (2011) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan, khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.

 

Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind).

 

4.        Low vision

 

Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21 meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.

 

5.        Hambatan penglihatan total

 

Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa mengetahui sumber cahayanya.

 

Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan daily activities.

 

c.         Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)

 

Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengalami kehilangan/gangguan pendengaran. Salah satunya menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak


 

tunarungu adalah mereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat- alat lainnya.

 

Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik.

 

Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal.

 

Pengelompokkan (klasifikasi) bagi anak yang mengalami hambatan pendengaran yang saat ini digunakan pada umumnya menurut Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

 

d.        0 dB Menunjukkan pendengaran yang optimal.

 

e.        0 – 26 dB Menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.

 

f.        27 – 40 dB Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan).

 

g.         41 – 55 dB Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tunarungu sedang).

 

h.       56 – 70 dB Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tunarungu agak berat).

 

i.          71- 90 dB Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus (tunarungu berat).


 

9)        91 dB ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali)

 

Menurut Moores dalam Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak mengalami disability dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment). Istilah hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tunarungu, yang di dalamnya terkandung dua kategori yaitu yang disebut dengan deaf dan hard of hearing.

 

Moores (1982:6) menjelaskan “tuli” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan mendengar dalam tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang lain mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar (hearing aid). Adapun orang yang “kurang dengar” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat 35 sampai 69 dB.

 

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.

 

5.        Aspek Motorik

 

Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).

 

Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi


 

gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).

 

4)        Aspek bicara dan bahasa

 

Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.

 

Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

 

d.        Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)

 

Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan intelektual ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Berbagai istilah yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual, selalu menunjuk pada keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di bawah usia kronologisnya secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.

 

Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda, maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami hambatan intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.

 

              Hambatan Intelektual Ringan

 

Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok


 

mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.

 

g.        Hambatan Intelektual Sedang

 

Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum.

 

h.        Hambatan Intelektual Berat

 

Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.

 

Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu:

 

          keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata;

 

          ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif; dan

 

          hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun.

 

Klasifikasi anak mengalami hambatan intelektual secara sosial-psikologis terbagi dua kriteria, yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif. Ada empat taraf anak mengalami hambatan intelektual berdasarkan psikometrik (skor IQ-nya).

 

Tabel. 1 Tingkat Kecerdasan (IQ anak mengalami hambatan intelektual)

 

Klasifikasi

IQ

Mental Age


 

 

 

Stanford Binet

 

 

Skala Weschler

 

 

(Tahun)

 

 

 

 

(SB)

 

 

(WISC)

 

 

 

 

 

Ringan (mild mental

68-52

 

69-55

 

8,3-10,9

 

 

retardation)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sedang (moderate mental

51-36

 

54-40

 

5,7-8,2

 

 

retardation)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berat (severe mental

35-20

 

39-25

 

3,2-5,6

 

 

retardation)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Parah (profound mental

 

≥ 19

 

≥ 24

 

≥ 3,1

 

retardation)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: http://repository.upi.edu/operator/

 

Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara umum dampak dari gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut.

 

h.        Lamban dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari konsep yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan terus menerus.

 

i.          Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.

 

j.       Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual berat.

 

k.        Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.

 

l.        Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti; berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.

 

m.        Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak mengalami hambatan intelektual


 

ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai anak mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.

 

              Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.

 

2.        Anak dengan Hambatan Fisik (Tunadaksa)

 

Ada berbagai macam definisi tentang anak yang mengalami gangguan gerak, tergantung dari siapa dan sudut mana melihatnya. Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah:

 

              Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan yang berat atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-hari seperti berjalan dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu pendukung.

 

              Mereka yang tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu memerlukan observasi dan bimbingan medis.

 

Anak gangguan gerak, dilihat dari persentase anak berkebutuhan khusus yang lain, termasuk kelompok yang jumlahnya relatif kecil yaitu diperkirakan 0,06% dari populasi anak usia sekolah. Sedangkan jenis kelainannya bermacam-macam dan bervariasi, sehingga permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.

 

Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.

 

Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan


 

sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.

 

3.        Anak dengan Hambatan Lainnya

 

              Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi

 

Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus.

 

Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:

 

              Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.

 

              Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.

 

              Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.

 

Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

 

              Cenderung membangkang.

 

              Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.

 

              Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.

 

              Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.

 

              Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk sekolah.

 

b.        Anak Autis

 

Autisme berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip oleh Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi sosial, umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk terhadap kinerja pendidikan anak.

 

Karakteristik yang lain sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-ulang dan gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau


 

perubahan dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya terhadap pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut.

 

c.        Mengalami hambatan di dalam bahasa.

 

d.        Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat sosial.

 

e.        Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.

 

f.        Kurang memiliki perasaan dan empati.

 

g.         Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.

 

h.        Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.

 

i.          Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.

 

j.       Keterbatasan dalam mengekspresikan diri

 

k.        Berperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

 

Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum, yaitu sebagai berikut.

 

              Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function children with autism).

 

              Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle function children with autism).

 

              Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function children with autism).

 

-          Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa

 

Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas kemampuan anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai gifted & talented children (Dudi Gunawan, 2011).


 

Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.

 

Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):

 

d.        Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.

 

e.        Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang utuh.

 

f.        Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.

 

g.         Mampu menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana dan mudah dipahami.

 

h.        Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.

 

i.          Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.

 

j.       Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan baik.

 

k.        Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.

 

l.        Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.

 

m.        Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.

 

n.        Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.

 

o.        Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.

 

p.        Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.

 

q.        Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.

 

r.        Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.


4)        Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)

 

Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD) secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.

 

 

Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.

 

PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)

 

              Perkembangan kemampuan membaca terlambat,

 

              Kemampuan memahami isi bacaan rendah,

 

              Kalau membaca sering banyak kesalahan

 

PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)

 

b          Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,

 

c          Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,

 

d          Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,

 

e          Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,

 

f          Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.

 

PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)


e.        Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya

 

f.        Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya.

 

Kebutuhan Pembelajaran PDBK

 

f.          Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Sensorik

 

              Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)

 

Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang hambatan penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar atau diperbesar. Di samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan Mobilitas (OM) yang penerapannya bukan hanya di sekolah, melainkan dapat diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya.

 

Seseorang dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind) jika mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat sama sekali. Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.

 

Hambatan penglihatanan akan berdampak dalam kemampuan kognitif, kemampuan akademis, sosial emosional, perilaku, perkembangan bahasa, perkembangan motorik, orientasi dan mobilitas.

 

              Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)

 

Seperti sudah dikemukan sebelumnya, peserta didik yang mengalami hambatan pendengaran perlu Alat Bantu Dengar (ABD), tetapi walaupun telah diberikan pertolongan dengan ABD, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.

 

Aspek Motorik

 

Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,


 

berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.

 

Aspek bicara dan bahasa

 

Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh peserta didik hambatan pendengaran. Khususnya anak-anak yang mengalami hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi individu yang congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.

 

Individu ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.

 

Kebutuhan pembelajaran peserta didik hambatan pendengaran menurut Gunawan (2011) secara umum tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Akan tetapi, mereka memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran antara lain:

 

              Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara membelakanginya.

 

              Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah membaca bibir guru.

 

              Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala untuk mendengarkan.

 

              Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah dengan anak dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan kepala anak.

 

              Guru bicara dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus jelas. c. Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)


 

Pendidikan bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada. Secara umum kebutuhan pembelajaran anak anak mengalami hambatan intelektual adalah sebagai berikut.

 

c.         Perbedaan anak mengalami hambatan intelektual dengan anak normal dalam proses belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik belajarnya.

 

d.        Perbedaan karakteristik belajar anak anak mengalami hambatan intelektual dengan anak sebayanya, anak anak mengalami hambatan intelektual mengalami masalah dalam hal yaitu:

 

              Tingkat kemahirannya dalam memecahkan masalah

 

              Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru

 

              Minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas.

 

2          Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Fisik (Tunadaksa)

 

Berkaitan dengan pembelajaran, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (uu no.2 tahun 1989 tentang uspn dan pp no.72 tentang plb).

 

Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:

 

Pengembangan intelektual dan akademik

 

•Membantu perkembangan fisik

 

Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak

 

Mematangkan aspek sosial

 

Mematangkan moral dan spiritual


4.              Meningkatkan ekspresi diri

 

5.              Mempersiapkan masa depan anak

 

 

                    Program pembelajaran yang diindividualisasikan

 

                    Prinsip pembelajaran: prinsip multisensory dan Individualisasi

 

                    Penataan  lingkungan  belajar:  bangunan  gedung  memprioritaskan  tiga

 

kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.

 

Personil: guru plb, guru reguler, dokter ahli anak, dokter ahli rehabilitasi medis, dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru bimbingan dan penyuluhan, social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic.

 

f.          Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Lainnya

 

4.        Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Perilaku dan Emosi

 

Kebutuhan pembelajaran bagi anak hambatan perilaku dan emosi yang harus diperhatikan oleh guru antara lain adalah:

 

              Mengetahui strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang beresiko mengalami gangguan emosi dan perilaku.

 

              Menggunakan variasi teknik yang tidak kaku dan keras untuk mengontrol tingkah laku target dan menjaga atensi dalam pembelajaran.

 

              Menjaga rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan terampil dalam problem solving dan mengatasi konflik.

 

              Merencanakan dan mengimplementasikan reinforcement secara individual dan modifikasi lingkungan dengan level yang sesuai dengan tingkat perilaku.

 

              Mengintegrasikan proses belajar mengajar (akademik), pendidikan afektif, dan manajemen perilaku baik secara individual maupun kelompok.

 

              Melakukan asesmen atas tingkah laku sosial yang sesuai dan problematik pada peserta didik secara individual.

 

              Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak.


 

              Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi oleh setiap anak.

 

              Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak.

 

              Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan contoh dari lingkungan.

 

5.        Kebutuhan Pembelajaran Anak Cerdas dan Bakat Istimewa

 

Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah sebagai berikut.

 

Program pengayaan horisontal, meliputi:

 

              Mengembangkan kemampuan eksplorasi.

 

              Mengembangkan pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal yang ada di luar kurikulum biasa.

 

              eksekutif intensif dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti program intensif bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam dalam waktu tertentu.

 

Program pengayaan vertikal, yaitu:

 

              Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam mengikuti program yang sesuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu, atau tingkatan kelas.

 

              Independent study, memberikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar dan menjelajahi sendiri bidang yang diminati.

 

              Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted dan tallented dengan para ahli yang ada di masyarakat.

 

4)        Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Autism

 

Kebutuhan pembelajaran bagi anak anak autis adalah sebagai berikut:

 

              Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok.


 

              Perlu menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku-perilaku negatif yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara keseluruhan (stereotip).

 

              Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan.

 

              Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.

 

-          Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Kesulitan Belajar Spesifik Peserta didik yang mengalami hambatan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia, disgrafia) perlu adanya intervensi yang melibatkan seluruh indera dalam proses belajar mengajarnya. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik multi sensori. Berikut hal-hal yang harus dilakukan guru dalam menangani di dalam kelas;

 

              Perkenalkan belajar alfabet secara sekuensial (berurutan) secara bertahap dan berurut.

 

              Alfabet diperkenalkan menggunakan huruf-huruf dari kayu atau plastik, sehingga anak dapat melihat huruf, mengambilnya, merasakannya dengan mata terbuka atau tertutup dan mengucapkan bunyinya.

 

              Peserta didik perlu tahu bahwa huruf /i/ muncul sebelum /k/, Alfabet dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yang membuat mudah anak mengingat di kelompok mana huruf tersebut berada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-          Menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan bentuk-bentuk terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam hubungannya dengan huruf lain.


 

Alasan dari teknik ini karena saluran pembelajaran visual, auditori dan taktil-kinestetik semua digunakan secara berkesinambungan. Teknik multisensori juga melibatkan proses anak dalam hal (1) mengulang suara yang didengar; (2) merasakan bentuk yang dibuat bunyi di mulut; (3) membuat bunyi dan mendengarkan; dan (4) menulis huruf.

 

Visual (penglihatan)

 

Peserta didik belajar paling baik dengan cara melihat informasi. Karena itu, cara mulai yang baik adalah dengan menggunakan kartu bergambar dengan kata-kata tertulis di bawahnya (flash card). Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan level belajar anak. Selain itu, jika anak kesulitan dengan bunyi, tunjukkan di mana bunyi itu dibuat di dalam mulut secara umum.

 

Auditori (pendengaran)

 

Anak-anak auditori belajar paling baik dengan cara mendengarkan apa yang diajarkan. Untuk anak yang kesulitan pada masalah bunyi, ajarkan sepasang kata singkat dan mintalah anak untuk mengatakan kata mana yang betul (tas/das). Juga, mintalah mereka menulis huruf, kata, atau kalimat sementara guru mengucapkannya.

 

Taktil (perabaan)

 

Anak-anak ini belajar paling baik dengan proses ‘menyentuh’. Ini adalah anak-anak yang biasa terlihat memisahkan bagian suatu benda dan kemudian menyatukannya kembali. Mereka belajar paling baik dengan melalui sentuhan, sehingga sangatlah penting untuk memasukkan gaya belajar ini ke dalam perintah-perintah guru.


 

Bentuk Layanan Segregasi

 

Sistem layanan segregasi yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan umum. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB).

 

SLB merupakan bentuk unit pendidikan dengan penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Ada beberapa sekolah atau layanan pendidikan yang dapat dikatagorikan sistem segregasi ini, yaitu sebagai berikut:

 

1.        Sekolah Khusus

 

Penyelenggaraan sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu hambatan saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.

 

Pada tahun 2014, terjadi banyak perubahan terkait penyelenggaraan SLB. SLB E (emosional disorder) secara faktual masih ada, tetapi dalam sistem Kurikulum 2013 sudah tidak menyinggung secara spesifik SLB E. Terdapat satu jenis anak berkebutuhan khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi perhatian dalam sistem pendidikan khusus sehingga sekarang ada SLB Autis.

 

Selain ada SLB yang hanya mendidik satu hambatan saja, ada pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk Anak tunarungu dan tunagrahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di sekolah tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.

 

Adapun regulasi yang memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:


 

-           Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun.


-           Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun.

 

-           Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.

 

Di samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.

 

2.        Sekolah Luar Biasa Berasrama

 

Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.

 

Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.

 

3.        Sekolah Luar Biasa dengan Kelas Jauh

 

Kelas jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.

 

Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB- SLB di dekatnya. Dengan kata lain, kelas jauh tersebut sebagai afiliansi dari SLB terdekat sebagai sekolah induk.

 

4.        Sekolah Luar Biasa dengan Guru Kunjung


 

Berbeda halnya dengan kelas jauh, kelas kunjung adalah suatu layanan terhadap ABK yang tidak siap mengikuti proses pembelajaran di SLB terdekat. Jadi, guru berfungsi sebagai guru kunjung (itinerant teacher) yang datang ke rumah-rumah ABK untuk melayani mereka belajar. Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.

 

Kelebihan dari sistem layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya diri.

 

Adapun kekurangannya adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak pada umumnya, (2) anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak-anak kebutuhan khusus saja sehingga pada giliranya dapat menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.

 

 

 

 

 

 

Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu

 

Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak-anak pada umumnya. Keterpaduan tersebut menurut Suparno dan Purwanto (1991: 12-14) dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.

 

Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas dalam jumlah tertentu dari jumlah peserta didik keseluruhan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam jenis anak berkebutuhan khusus.


 

Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.

 

Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu (a) Kelas Biasa, (b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus, dan (c) Bentuk Kelas Khusus.

 

1.        Kelas Biasa

 

Di kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya terlibat dalam proses belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.

 

Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam sekolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.

 

2.        Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus

 

Pada kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana sekolah tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak reguler.

 

Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang


 

sesuai. Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

 

3.        Kelas Khusus

 

ABK mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.

 

Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian sama dengan yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

 

Pada kelas khusus, biasanya terdapat beberapa peserta didik yang memiliki derajat kekhususan yang relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual (individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki kekhususan. Tujuan pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak agar tidak terjadi tinggal kelas/drop out atau untuk menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya kelas khusus bersifat fleksibel.

 

Adapun kelebihan model ini adalah sebagai berikut.

 

-          Peserta didik berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak baik pada pertumbuhan sikap peserta didik-peserta didik tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.

 

-          Peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di sekolah umum ada lebih banyak peserta didik dibanding SLB.


 

-           Peserta didik berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.

 

-          Peserta didik berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.

 

-          Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan peserta didik pada umumnya.

 

-          Potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan pendekatan individual atau kelompok kecil

 

Di samping kelebihan terdapat juga kekurangannya, antara lain adalah sebagai berikut.

 

-          Anak berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang berdampak pada perkembangan belajarnya.

 

-          Anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.

 

-          Sebagian orangtua tidak menerima bila anaknya dicap sebagai anak berkebutuhan khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan khusus dalam kelas khusus.

 

-          Peserta didik anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada.

 

 

 

 

 

Bentuk Layanan Inklusif

 

Bentuk layanan pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas umum terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya. (ingat materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka hadir bersama-sama, saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai


 

dengan kemampuannya masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa mencapai prestasi sesuai kondisinya masing-masing.

 

Bentuk layanan yang inklusif di sekolah umum menggunakan kurikulum yang ada di sekolah tersebut, tetapi guru memungkinkan melakukan perubahan terkait dengan kondisi kelas yang beragam. Guru sangat memungkinkan memodifikasi dan mengadaptasi kurikulum ketika terdapat anak yang kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan belajar. Seringkali disebut dengan kurikulum akomodatif atau juga kurikulum yang fleksibel. (akan dipelajari selanjutnya pada materi sistem layanan pembelajaran). Silakan pelajari juga materi di link sebagai berikut:

 

https://civitas.uns.ac.id/jokoyuwono/2020/07/04/bentuk-layanan-pendidikan-khusus-least-restrictive-environment-lre-hallahan-kauffman-1991/

 

Pada proses belajar dalam kelas dengan peserta didik yang beragam (inklusif) guru kelas atau guru mata pelajaran bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan kegiatan belajar. Tidak menutup kemungkinan guru membutuhkan pertolongan GPK untuk merancang kegiatan belajar sehingga semua anak bisa belajar di dalam kelas yang sama.


 

Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

 

5)        Pengertian

 

Identifikasi diartikan untuk menemukenali. Identifikasi ABK dimaksudkan sebagai usaha seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak normal seusianya.

 

Identifikasi anak berkebutuhan khusus dapat dilakukan berdasarkan gejala-gejala yang dapat diamati (manifes) dan gejala yang tidak dapat diamati (latin) seperti (1) gejala fisik, (2) gejala perilaku, dan (3) gejala hasil belajar. Gejala fisik yang dapat diamati dan dijadikan sebagai acuan dalam proses pengidentifikasian, misalnya adanya gangguan penglihatan, pendengaran, wicara, kekurangan gizi, pengaruh obat-obatan dan minuman keras, atau semuanya yang menyangkut terganggunya fungsi fisik. Gejala perilaku misalnya, perilaku sosial yang negative seperti suka membolos, suka merusak, berkelahi, berbohong, malas atau semua perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku dimasyarakat. Sedangkan gejala hasil belajar dapat diketahui setelah dilakukan pengetesan dan terlihat dari data hasil tes yang rendah yang mengakibatkan tidak naik kelas bahkan dikeluarkan dari sekolah alias drop out (DO), atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan akademis. Apabila gejala-gejala tersebut diatas ditemukan pada anak, maka patut ditandai dan dicurigai sebagai anak berkebutuhan khusus. Proses semacam inilah yang disebut sebagai kegiatan identifikasi (Riana Bagaskorowati, 2007).

 

 

6)         Tujuan dan Fungsi

 

Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap mengenai kondisi anak dalam rangka penyusunan program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan khususnya, sehingga anak terhindar dari problema belajar.

 

Sedangkan fungsi dari identifikasi dalam pendidikan inklusif berfungsi sebagai pendekatan untuk menemukan anak yang diduga berkelainan, jenis kelainannya apa, agar tidak terjadi pernafsiran yang salah tentang kondisi objektif peserta didik.


g          Sasaran

 

Dalam kontek ini sasaran identifikasi adalah semua peserta didik di sekolah inklusif yang diduga menunjukkan adanya gejala penyimpangan/kelainan baik fisik, perilaku, dan hasil belajar.

 

h          Strategi Model A

 

4)        Menghimpun Data Anak

 

5)        Menandai anak yang diduga menunjukkan gejala penyimpangan/kelainan

 

6)        Melakukan identifikasi menggunakan instrumen sesuai dengan gejala penyimpangan/kelainan anak

 

7)        Menganalisis data dan mengklasifikasikan dalam jenis penyimpangan/ kelainannnya

 

8)        Melakukan case conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menetapkan jenis penyimpangan/kelainan dan tindakan lanjut yang akan dilakukan pada anak tersebut.

 

9)        Mengkomunikasikan hasil identifikasi kepada orang tua murid tentang jenis penyimpangan/kelaian dan tindak lanjut yang akan dilakukan bersama.

 

Model B

 

g.         Melakukan identifikasi kepada semua peserta didik pada kelas awal menggunakan instrumen form 1 identifikasi umum (Form terlampir)

 

h.       Melakukan analisis untuk menentukan peserta didik yang menunjukkankan adanya gejala penyimpangan/kelainan.

 

i.          Melakukan identifikasi khusus sesuai dengan gejala penyimpangan/ kelainan peserta didik menggunakan instrumen form 2 (instrumen Form2 terlampir)

 

j.       Menganalisis dan mengklasifikasikan dalam jenis penyimpangan/ kelainannnya.

 

k.        Melakukan case conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menetapkan jenis penyimpangan/kelainan dan tindakan lanjut yang akan dilakukan pada anak tersebut.


 

g.         Mengkomunikasikan hasil identifikasi kepada orang tua murid tentang jenis penyimpangan/kelaian dan tindak lanjut yang akan dilakukan bersama.

 

Asesmen Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

 

2.        Pengertian

 

Beberapa ahli mengemukakan pengertian asesmen seperti berikut ini: Lerner (Mulyono, 2001) mengemukakan bahwa assesmen adalah suatu proses pengumpulan informasi selengkap-lengkapnya mengenai individu yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan individu tersebut. Selanjutnya Aianscow (Munawir Yusuf , 2007) menjelaskan bahwa assesmen dilakukan berkenaan dengan pemberian informasi kepada sejawat (teman guru), pencatatan pekerjaan yang telah dilakukan oleh anak didik, pemberian bantuan pada guru untuk merencanakan pembelajaran pada anak, pengenalan terhadap kekuatan dan kekurangan pada anak dan pemberian informasi kepada pihak-pihak terkait (seperti orang tua, psikolog, dan para ahli lain) yang membutuhkan informasi tersebut.

 

Sementara itu secara khusus. Sementara itu secara khusus Mcloughlin dan lewis (Sunardi dan Sunaryo, 2007) menjelaskan bahwa asesmen pendidikan anak berkelainan adalah proses pengumpulan informasi yang relevan dengan kepentingan anak, yang dilakukan secara sistematis dalam rangka pembuatan keputusan pengajaran atau layanan khusus.

 

Dengan demikian dapat dimaknai bahwa asesmen anak berkebutuhan khusus adalah suatu proses pengumpulan informasi tentang anak secara menyeluruh yang berkenaan dengan kondisi dan karakteristik kelainan, kelebihan dan kekurangan sebagai dasar dalam penyusunan program pembelajaran dan program kebutuhan khusus yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak.

 

Identifikasi dan asesmen merupakan tahapan atau rangkaian kegiatan dari suatu proses pelayanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Identifikasi sering disebut sebagai kegiatan penjaringan, sedangkan asesmen disebut penyaringan (Direktorat PSLB, 2007). Kegiatan penjaringan biasanya belum tentu dilanjutkan ke kegiatan penyaringan. Sementara itu, kegiatan penyaringan sudah tentu dilakukan karena adanya kegiatan


 

penjaringan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan identifikasi dapat dilakukan oleh guru dan pihak lain yang dekat dengan anak, seperti orang tua dan keluarganya, sedangkan asesmen biasanya perlu melibatkan tenaga profesional yang ahli dalam bidangnya, seperti psikolog, sosiolog dan terapist.

 

3.        Jenis asesmen dalam pendidikan khusus

 

a.         Asesmen akademik

 

Asesmen akademik adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi/kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) dalam bidang akademik. Bagi PDBK pada jenjang preeschool, kemampuan akademik yang perlu digali terkait dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan bagi PDBK pada jenjang pendidikan dasar dan selanjutnya, kemampuan akademik yang perlu digali adalah terkait dengan semua bidang studi/mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah tersebut.

 

b.         Asesmen non-akademik (kekhususan)

 

Asesmen kekhususan dalam pendidikan khusus adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi PDBK yang berkaitan dengan jenis hambatan yang disandangnya secara mendalam komprehensif dan akurat. (Akan dipelajari dalam materi ke 5 pada pertemuan ke 6 tentang pengenalan program kebutuhan khusus).

 

c.         Asesmen perkembangan

 

Asesmen non akademik/perkembangan ini adalah suatu proses untuk mengatahui kondisi perkembangan PDBK yang terkait dengan kemampuan intelektual, emosi, perilaku, komunikasi yang sangat bermanfaat dalam mempertimbangkan penggunaan metode, strategi maupun pemilihan alat bantu yang tepat baik dalam penyusunan perencanaan pembelajaran (akademik) maupun dalam penyusunan program kebutuhan khusus.

 

4.        Tujuan dan fungsi

 

Tujuan utama kegiatan asesmen adalah memperoleh informasi tentang kondisi anak, baik yang berkaitan dengan kemapuan akademik, non akademik dan kekhususan secara lengkap, akurat dan obyektif.


 

Sedangkan fungsi asesmen dalam kontek ini adalah untuk membantu guru dan terapis dalam menyusun perencanaan pembelajaran dan program layanan kebutuhan khusus yang tepat. Dalam hal ini hasil asesmen dapat difungsikan sebagai kondisi kemampuan awal (baseline) anak sebelum diberikan layanan baik akademik maupun program kebutuhan khusus.

 

3          Sasaran

 

Sejalan dengan tujuan dan fungsi asesmen seperti diuraikan di atas, maka sasaran asesmen adalah semua peserta didik yang pada fase identifikasi telah ditetapkan sebagai peserta didik berkebutuhan khusus.

 

4          Strategi

 

c.         Menetapkan jenis asesmen yang akan dilakukan (akademik, non-akademik/kekhususan atau perkembangan)

 

d.         Memilih/mengembangkan instrumen asesmen yang tepat (contoh instrumen terlampir)

 

e.         Melakukan asesmen sesuai dengan panduan yang dipersyaratkan.

 

f.         Melakukan tabulasi, klasifikasi dan analisis hasil asesmen.

 

g.        Melakukan case conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menentukan baseline dan penetapan perencanaan pembelajaran/ program pengembangan/interfensi yang akan dilakukan.

 

h.         Mendokumentasikan semua data hasil asesmen dan kesepakatan hasil case conference.

 

Planning Matrix

 

6.        Pengertian

 

Program layanan kebutuhan khusus didasarkan pada simpulan hasil asesmen secara langsung. Hal ini tidak salah namun materi yang dipergunakan sebagai dasar penyusunan program masih berupa potongan-potongan simpulan atas hasil asesmen yang telah dilakukan. Quentin Iskov, Project Officer: Disabilities Department of Education and Children’s

 

Services (2012) menambahkan satu tahapan lagi sebelum menyusun program intervensi, yaitu penyusunan planning matrix. Planning matrix adalah mapping diskripsi tentang kondisi ABK secara individu yang menggambarkan tentang kondisi actual hambatan karakteristiknya, dampak, strategi layanan dan media yang diperlukan dalam intervensi. Deskripsi mapping karakteristik kebutuhan khusus tersebut selanjutnya disusun skala prioritas yang


 

menggambarkan urutan urgensi masalah yang perlu segera ditangani. Oleh sebab itu dengan adanya planning matrix ini, guru pendidikan khusus menjadi sangat terbantu, karena untuk menetapkan program layanan kebutuhan khusus, tinggal menyusun program layanan kebutuhan khusus tersebut sesuai dengan skala prioritas yang telah diperoleh. Pada awalnya planning matrix ini dibuat untuk anak autis spectrum disorder, namun dalam perkembangannya, ABK dengan hambatan lainnya juga menjadi sangat terbantu dengan plaanning matrix ini. Jenis hambatan/kelainan pada ABK yang selanjutnya dapat dirumuskan.

 

g.        Tujuan

 

              Memetakan kondisi aktual akademik maupun kekhususan ABK berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan

 

              Menganalisis dampak dari masing-masing aspek kondisi aktual ABK baik akademik maupun kekhususannya.

 

               Menganalisis strategi layanan yang tepat pada ABK sesuai dengan kondisi dan kebutuhan khusus ABK baik akademik maupun kekhususannya.

 

h.        Fungsi

 

              Memudahkan guru/terapis dalam menetapkan kondisi awal aktual (baseline) ABK baik aspek akademik maupun kekhususan.

 

              Membantu guru/terapis dalam mempuan mapping kondisi ABK secara komprehensif.

 

               Memudahkan guru/terapis dalam menetapkan skala prioritas layanan kekhususan yang harus segera dilakukan.

 

i.          Prosedur pengembangan planning matrix

 

              Mengkategorikan data hasil asesmen berdasarkan jenis hambatan/ kelaianan ABK.

 

              Membuat tabel mapping ABK berdasarkan jenis hambatan/kelainannya sesuai dengan temuan asesmen.

 

              Menuangkan temuan kondisi aktual karakteristik ABK pada tabel mapping yang telah dibuat.

 

              Menganalisis dampak temuan kondisi aktual ABK dan dituang pada tabel yang telah dibuat.


 

5.        Menganalisis strategi layanan pada setiap temuan kondisi aktual ABK dan dituangkan pada tabel yang telah dibuat.

 

6.        Menganalisis skala prioritas layanan berdasarkan berat ringannnya dampak yang telah dituangkan pada tabel tersebut.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Adaptasi Kurikulum

 

Dalam Kurikulum 13, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan Standar Isi dan Standar Kompetensi lulusan, yang meliputi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Untuk pengembangan kurikulum selanjutnya diserahkan pada satuan pendidikan masing-masing yang nantinya dikenal sebagai Kurikulum 13. Substansi pengembangan kurikulum yang lebih rinci dilakukan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kelompok Mata Pelajaran, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran. Kurikulum ini dikembangkan di tingkat satuan pendidikan dengan mengingat kondisi daerah dan kondisi kemampuan peserta didik.

 

Kurikulum 13 adalah kurikulum yang cocok bagi penyelenggaraan sekolah inklusi. Dengan kurikulum ini, maka akan memberikan peluang terhadap tiap- tiap anak untuk mengaktualisasikan segala potensi yang mereka miliki sesuai dengan bakat, kemampuan dan


 

perbedaan yang ada pada setiap anak. Sistem evaluasi pada kurikulum ini berbasis kompetensi yang menggunakan prinsip ounthentic assessment, yang salah-satu bentuknya adalah portofolio, memberikan peluang kepada guru untuk melakukan evaluasi dengan lebih objektif dan adil sesuai dengan prinsip individual defferences.

 

Inklusi (ketercakupan) selayaknya tidak dimaknai secara sempit pada aspek peserta didik saja. Namun inklusi adalah ketercakupan tiga aspek di atas yaitu aspek hardware, software, dan brainware. Dengan sinerginya ketiga aspek tersebut bukan tidak mungkin sekolah inklusi akan menjadi benar sebagai awal kesetaraan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pendidikan, sehingga mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. education for all perlu dukungan dari semua pihak.

 

Pertama adalah aspek hardware, yaitu meliputi sarana dan prasarana yang mendukung aspek software. Sarana dan prasarananya memiliki aksesibilitas yang ramah pada setiap peserta didik.

 

Kedua adalah aspek software, yaitu meliputi kurikulum, silabus, dan perangkat penunjang yang lain. Kurikulum yang digunakan pada sekolah inklusi adalah kurikulum umum (reguler) yang disesuaikan atau dimodifikasi sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik peserta didik. Modifikasi ini dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, materi atau isi, proses belajar mengajar atau pembelajaran, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.

 

Ketiga adalah aspek brainware, yaitu meliputi tenaga kependidikan, peserta didik, staf ahli, psikolog, dan staf pendukung lainnya. Tenaga kependidikan atau guru di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Dalam perannya guru tidak berdiri sendiri, namun kerjasama dari psikolog, dokter anak, bahkan orang tua peserta didik pun turut andil dalam implementasi menuju sekolah iklusi yang lebih baik.

 

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program inklusif pada dasarnya adalah menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya di lapangan, kurikulum


 

reguler perlu dilakukan modifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Adaptasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu duplikasi, modifikasi, substitusi, dan omisi.

 

6.        Model Duplikasi

 

Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Meniru berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitan dengan model kurikulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk PDBK (Peserta Didik Berkebutuhan Khusus) secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk peserta didik pada umumnya (regular). Jadi, model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana peserta didik-peserta didik berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat komponen utama kurikulum yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.

 

7.        Model Modifikasi

 

Modifikasi berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan untuk peserta didik-peserta didik regular diubah untuk disesuaikan dengan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi dapat diberlakukan (terjadi) pada empat komponen utama pembelajaran yaitu tujuan, materi, proses dan evaluasi.

 

8.        Model Substitusi

 

Substitusi berarti mengganti. Dalam kaitan dengan model kurikulum, maka substitusi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin diberlakukan kepada peserta didik berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai yang kurang lebih sama). Model penggantian (substitusi) bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses atau evaluasi.

 

9.        Model Omisi


 

Omisi berarti menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk mengilangkan sesuatu (bagian atau keseluruhan) dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus karena sifatnya terlalu sulit atau tidak sesuai dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sepadan, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.

 

Untuk melakukan modifikasi dan pengembangan kurikulum dalam program inklusif harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif, antara lain sebagai berikut.UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya: Pasal 5 ayat (2): warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

 

Pada model kurikulum ini peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum umum, sama seperti peserta didik lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya. Duplikasi dilakukan pada tujuan, isi, proses dan evaluasi.

 

5)        Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak regular juga diberlakukan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, maka standar kompetensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk peserta didik regular juga diberlakukan untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Demikian juga dengan standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD) dan juga indicator keberhasilan.

 

6)        Duplikasi isi/materi berarti materi-meteri pembelajaran yang diberlakukan kepada peserta didik regular (umum) juga diberlakukan sama kepada peserta didik-peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus memperoleh


 

informasi, materi, pokok bahasan atau sub-pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada peserta didik-peserta didik regular.

 

-          Duplikasi proses berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada peserta didik-peserta didik regular. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, atau sumber belajar.

 

-          Duplikasi evaluasi, berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani proses evaluasi atau penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada peserta didik-peserta didik regular. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.

 

Strategi Modifikasi Kurikulum

 

Modifikasi Tujuan dalam pengembangan kurikulum bertujuan untuk 1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami semaksimal mungkin dalam setting sekolah inklusif; 2) Membantu guru dan orang tua dalam mengembangkan program pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah maupun di rumah; dan 3) Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusif. Penjabaran dari modifikasi tersebut adalah:

 

-          Modifikasi Tujuan

 

Modifikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalamkurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Sebagai konsekuensi dari modifikasi tujuan, maka peserta didik berkebutuhan khusus akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan peserta didik-peserta didik regular, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (SK), kompetensi dasar (KD) maupun indikator.

 

-          Modifikasi Isi


 

Modifikasi isi berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untukpeserta didik regular dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keluasan, kedalaman dan atau tingkat kesulitan. Artinya, peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan materi pelajaran yang tingkat kedalaman, keluasan dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada peserta didik regular.

 

-          Modifikasi Proses

 

Modifikasi proses berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaranyang dijalani oleh peserta didik berkebutuhan khusus dengan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk peserta didik-peserta didik regular tidak diterapkan untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, sumber belajar dan lain-lain.

 

-          Modifikasi Evaluasi

 

Modifikasi evaluasi berarti ada perubahan dalam system penilaianuntuk disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, peserta didik berkebutuhan khusus menjalani sistem evaluasi yang berbeda dengan peserta didik-peserta didik lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam criteria kelulusan, system kenaikan kelas, bentuk raport, ijazah dan lain-lain.

 

Ada empat kemungkinan model kurikulum yaitu duplikasi, modifikasi, substitusidan omisi, dan ada empat komponen utama kurikulum yaitu tujuan, materi, proses dan evaluasi. Mengembangkan kurikulum untuk peserta didik berkebutuhankhusus pada dasarnya adalah mengawinkan antara model kurikulum dengan komponen kurikulum. Setiap satu komponen dari model kurikulum dipadukan dengan setiap komponen dari komponen kurikulum, sehingga akan terjadi 16 kemungkinan perpaduan (4 x 4). Lihat gambar skematik berikut:


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan model kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus, yaitu 4 kemungkinan model untuk tujuan (1,2,3,4) empat kemungkinan model untuk materi (5,6,7,8) 4 kemungkinan model untuk proses (9,10,11,12) dan 4 kemungkinan model untuk evaluasi (13,14,15,16). (Budianto)

 

Ketika seorang guru akan merancang kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus, maka akan muncul 16 pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah tujuan pembelajaran yang akan diberlakukan kepada peserta didik berkebutuhan khusus harus sama dengan peserta didik lainnya? Ataukah dimodifikasi? Atau diganti (substitusi)? Atau dihilangkan (omisi)? Pertanyaan serupa diajukan berkenaan dengan materi pelajaran. Kemudian berkenaan dengan proses dan terakhir terkait dengan cara evaluasi.

 

Ada kemungkinan bahwa tujuan pembelajarannya disamakan (duplikasi), tetapi materinya harus dimodifikasi. Kemungkinan lain adalah tujuan pembelajarannyadimodifikasi, materinya juga dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasi semuanya harus dimodifikasi. Modifikasi atau tidaknya suatu komponen sangat bergantung kepada kondisi, sifat atau kadar dari komponen tersebut serta tingkat hambatan yang dialami oleh peserta didik berkebutuhan khususnya. Semakin berat tujuan atau materi pembelajaran yang ada, maka


 

semakin perlu untuk dimodifikasi. Dan semakin berat hambatan intelektual peserta didik, juga semakin perlu modifikasi dilakukan. (Budianto)

 

Program Pembelajaran Individual (PPI)

 

Pendahuluan

 

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif para peserta didiknya memiliki kemampuan yang heterogen, karena peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di samping anak-anak umum juga terdapat anak-anak berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus ini memiliki keragaman kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis.

 

Pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang kemampuan peserta didiknya sangat heterogen, berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan homogen. Para guru umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar peserta didik yang mengalami kelainan atau berkebutuhan khusus, sehingga sering kali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.

 

Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan maksud agar peserta didik menguasai kompetensi dasar mata pelajaran. Agar kompetensi dasar dapat tercapai secara tuntas guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.

 

Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap individu peserta didik dan didukung oleh kompetensi pendidik, media, sumber dan strategi pembelajaran yang memadai, sesuai dengan standar pelayanan.

 

Hal-Hal Penting dalam Membuat PPI


 

Para guru umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar peserta didik berkebutuhan khusus, sehingga seringkali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus. Beberapa alternatif program pelayanan yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan peserta didik di antaranya adalah: a. Layanan pendidikan penuh, b. Layanan pendidikan yang dimodifikasi, c. Layanan pendidikan individualisasi .

 

Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, kemampuan dan karakteristik peserta didik, serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan.

 

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif antara lain seperti di bawah ini.

 

-          Menetapkan tujuan

 

-          Merencanakan pengelolaan kelas; termasuk mengatur lingkungan fisik dan sosial

 

-          Menetapakan dan pengorganisasian bahan/materi; topik apa yang ingin diajarkan kepada peserta didik

 

-          Merencanakan strategi pendekatan kegiatan pembelajaran; bagaimana bentuk kegiatannya, apakah peserta didik mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran

 

-          Merencanakan prosedur kegiatan pembelajaran; bagaimana bentuk dan urutan kegiatannya, apakah kegiatan itu sesuai untuk semua peserta didik, dan bagaimana peserta didik mencatat, mendokumentasikan, dan menampilkan hasil belajarnya

 

-          Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar; sumber belajar mana yang akan digunakan, media apa yang sesuai dan tidak membahayakan peserta didik.

 

-          Merencanakan penilaian; bagaimana cara peserta didik telah menyelesaikan tugasnya dalam suatu proses pembelajaran, dan apa bentuk tindak lanjut yang diinginkan.

 

Kegiatan pembelajaran dalam seting inklusif akan berbeda baik dalam strategi, kegiatan, media, dan metode. Dalam seting inklusif, guru hendaknya dapat mengakomodasi semua kebutuhan peserta didik di kelas yang bersangkutan termasuk membantu mereka memperoleh pemahaman yang sesuai dengan gaya belajarnya masing-masing.


 

Hambatan belajar dapat berasal dari kesulitan menentukan strategi belajar dan metode belajar lainnya sebagai akibat dari faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dari beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensoris seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukan informasi dari luar. Disfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.

 

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan; namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara peserta didik luar biasa dengan peserta didik normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama peserta didik luar biasa pun dapat berbeda.

 

Merencanakan kegitan pembelajaran dalam pendidikan inklusif yaitu: (1) melaksanakan pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK), (2) memiliki desain pembelajaran yang lebih peka dalam mempertimbangkan keragaman peserta didik agar pembelajarannya relevan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik, (3) melaksanakan asesmen sebelum pelaksanaan pembelajaran yaitu proses pengumpulan informasi tentang seorang peserta didik yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan peserta didik tersebut, (4) memiliki rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), satuan pendidikan memiliki program pembelajaran individual (PPI) yang disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik, (5) merancang atau menyusun bahan ajar yang disesuaikan dengan keberagaman peseta didik, (6) mampu menggunakan berbagai pendekatan mengajar yang sesuai dengan kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus, dan (7) menyediakan layanan program khusus bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus, termasuk peserta didik yang berkesulitan belajar atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

 

Berbagai pendekatan dalam kelompok

 

1.        Pembelajaran langsung pada seluruh kelas


 

Pendekatan ini cocok untuk memperkenalkan berbagai topik. Guru menyiapkan beberapa pertanyaan untuk dijawab peserta didik sesuai dengan kemampuannya. Guru dapat menggunakan kelas untuk bercerita atau menunjukkan karya mereka seperti membuat puisi, lagu, bercerita atau membuat permainan secara bersama-sama. Guru harus berupaya menciptakan strategi pembelajaran dengan materi yang sesuai yang dapat mengakomodasi semua keragaman. Untuk dapat mendorong semua peserta didik aktif, guru dapat memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok atau memberikan tugas yang sama dengan hasil yang diharapkan berbeda.

 

2.        Pembelajaran Individual

 

Pembelajaran individual diberikan pada peserta didik tertentu untuk membantu mereka menyelesaikan masalahnya seperti pada peserta didik berbakat dengan mendorong mereka memberikan tugas yang lebih menantang.

 

3.        Pembelajaran untuk kelompok kecil

 

Guru membagi peserta didik dalam kelompok kecil dengan menggunakan strategi yang efektif yang dapat memenuhi semua kebutuhan peserta didik. Guru dapat mendorong peserta didik agar dapat bekerja lebih kooperatif.

 

4.        Pembelajaran yang kooperatif

 

Pembelajaran yang kooperatif terjadi ketika peserta didik berbagi tanggungjawab untuk mencapai tujuan bersama. Guru hendaknya berupaya menghindari pembelajaran yang kompetitif. Dalam pembelajaran kooperatif, guru memegang peranan penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar sehingga peserta didik merasa mampu mengatasi permasalahan mereka sendiri dan merasa dihargai. Pembelajaran yang kooperatif dapat membantu peserta didik meningkatkan pemahaman dan rasa senang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap kelompoknya, dan terhadap pekerjaannya. Setiap peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilannya seperti peserta didik perempuan menjadi presenter, dan peserta didik laki-laki menjadi notulis dan kegiatan lainnya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari aktivitas kerja kelompok yang kooperatif.


Penyusunan Program Pembelajaran Individual

 

Secara sistematis format identitas, Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Tujuan, Indikator, materi pembelajaran, alat/media dan Penilaian.Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana pembelajaran reguler, modifikasi pembelajaran serta program pengajaran individual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus.

 

PPI merupakan rencana pengajaran yang dirancang untuk satu orang peserta didik yang berkebutuhan khusus atau yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa. PPI harus merupakan program yang dinamis artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik, dan disusun oleh sebuah tim terdiri dari orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus/PLB, dan peserta didik yang bersangkutan yang disusun secara bersama-sama. Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim terdiri dari Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Tenaga ahli dan Profesi terkait, orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus/PLB, serta peserta didik yang bersangkutan.

 

Rencana program Pembelajaran Individual (PPI)diperuntukkan bagi individu yang memang tidak memungkinkan menggunakan kurikulum reguler maupun modifikasi. Tingkat kebutuhan pelayanan khususnya termasuk sedang atau agak berat. Mereka diberikan kurikulum PPI yang dikembangkan oleh tim sekolah, orangtua, dan profesi lain. Tempat pembelajaran tidak harus di kelas reguler, dapat di kelas khusus yang ada di sekolah reguler sesuai dengan kemampuan peserta didik. Proses pembelajaran dan penilaian menggunakan standar yang berbeda dengan program tambahan.

 

Program Tambahan yang diperlukan (sesuai kebutuhan)

 

a.        Bimbingan Keterampilan khusus sesuai hambatannya dilaksanakan oleh guru kelas.

 

b.        Bimbingan keterampilan khusus sesuai hambatannya dilaksanakan oleh GPK (di kelas/di luar kelas),

 

c.         Bimbingan akademik di luar kelas (remedial teaching) oleh guru kelas/GPK/ lainnya. Program pengayaan horisontal oleh guru kelas/ GPK.


 

d.        Program percepatan belajar oleh guru kelas/Bd. Studi dengan SKSProgram pengembangan bakat istimewa/ keterampilan vokasinal

 

e.        Program intervensi dengan melibatkan profesi lain

 

Di dalam pembuatan PPI penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya dan komponen dalam PPI. Adapun beberap prinsip-prinsip dan komponen tersebut adalah sebagai berikut:

 

a.        Berorientasi pada peserta didik

 

b.        Sesuai potensi dan kebutuhan anak

 

c.         Memperhatikan kecepatan belajar masing-masing

 

d.        Mengejar ketertinggalan dan mengoptimalkankemampuan

 

Komponen PPI secara garis besar meliputi:

 

a.        Deskripsi singkat kemampuan peserta didik sekarang,

 

b.        Tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka pendek (khusus),

 

c.         Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang terkait, termasuk Seberapa besar peserta didik dapat berpartisipasi di kelas reguler,

 

d.        Sasaran

 

e.        Metode

 

f.          Ketercapaian sasaran

 

g.        Evaluasi

 

h.

 

Pembelajaran Akomodatif

 

Pengertian

 

Pengertian akomodasi dalam kamus (Lerner & Kline, 2006) adalah penyesuaian dan modifikasi program pendidikan untuk memenuhi kebutuhan anak dengan kebutuhan khusus. Heyden (2004) memaknai akomodasi sebagai perubahan yang dilakukan supaya peserta didik berkebutuhan khusus dapat belajar di ruang kelas biasa. Jadi akomodasi dapat diartikan sebagai perubahan berupa penyesuaian dan modifikasi yang diberikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhannya.


 

Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Piaget (dalam Carpendale, Muller,&Bilbok, 2008: 799), berpendapat bahwa pengetahuan dibangun atas dua proses yakni scheme, proses asimilasi dan proses akomodasi. Akomodasi adalah proses dimana anak memperluas dan memodifikasi representasi-representasi mental mereka tentang dunia, pengalaman-pengalaman baru.

 

Sedangkan Kaufmann dan Hallahan (2006: 57) mengatakan tentang akomodasi, “... changes in the delivery of instruction, type of student performance, or method of assessment which do not significantly change the content or conceptual difficulty of the curriculum.”

 

Pendapat tersebut memaknai akomodasi sebagai perubahan dalam pengantar pembelajaran yang dilakukan supaya metode ataupun penilaian yang secara signifikan tidak mengubah konten atau konsep dari kurikulum. Maka dari itu, akomodasi pembelajaran adalah upaya pendidik yang dilakukan dalam pembelajaran supaya peserta didik dalam kelasnya mampu menerima informasi yang diberikan guru sesuai dengan kemampuan peserta didik tersebut.

 

 

 

Kesiapan Guru

 

Berkenaan intervensi guru dalam pembelajaran untuk peserta didik ABK, Kaufman dan Hallahan (2006: 19) memberikan poin-poin penting yang baik dilakukan oleh guru, yaitu:

 

1.        Memaksimalkan akomodasi kebutuhan individu peserta didik

 

Guru berhadapan dengan berbagai peserta didik yang memiliki keragaman di dalam kelas. Oleh karena itu guru harus memiliki kemampuan untuk menemukan kebutuhan individual yang mungkin berbeda dibandingkan dengan kebutuhan rata-rata peserta didik normal. Kemampuan dalam fleksibilitas, adaptasi, akomodasi, dan perhatian khusus diharapkan dimiliki oleh setiap guru.

 

2.        Evaluasi kemampuan dan ketidakmampuan peserta didik

 

Guru harus mampu menganalisis dan melaporkan kemampuan peserta didik secara spesifik yang dapat ditunjukkan dalam bidang akademik maupun tidak.

 

3.        Merujuk pada evaluasi


 

Guru harus mampu mengobservasi perilaku dan kebiasaan peserta didik yang diduga memiliki kebutuhan khusus. Dengan begitu, sekolah mampu mendokumentasikan dan merancang strategi dalam pembelajaran untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

 

4.        Berpartisipasi dalam pertemuan dengan para ahli

 

Guru harus mau dan mampu untuk bekerja sama dengan ahli profesional dalam menetapkan seorang peserta didik ke dalam katagori kebutuhan khusus.

 

5.        Berpartisipasi dalam perancangan program individu

 

Rancangan Program Individu harus dibuat untuk setiap anak berkebutuhan khusus.

 

6.        Menjalin komunikasi dengan orang tua atau wali

 

Guru harus mau berkontribusi dalam komunikasi dengan orang tua mengenai masalah yang dihadapi peserta didik, penempatan, dan perkembangan yang diamalinya.

 

7.        Berkolaborasi dengan ahli profesional dalam memaksimalkan kemampuan peserta didik Secara umum guru diharapkan bertindak secara profesional dan bertanggung jawab dengan cara berkerja sama dengan ahli untuk memahami peserta didik berkebutuhan khusus. Sehingga para ahli dapat menyarankan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan kepada anak berkebutuhan khusus.

 

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa akomodasi pembelajaran adalah cara atau upaya yang dilakukan pendidik dalam membangun pengetahuan untuk peserta didiknya sesuai dengan kebutuhan anak dan tahap perkembangannya. Termasuk untuk peserta didik berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas biasa. Dengan upaya yang dilakukan pendidik tersebut, diharapkan peserta didik berkebutuhan khusus dapat menangkap informasi dalam pembelajaran semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Upaya pemberian layanan akomodasi dapat terlaksana dengan lebih optimal apabila guru dapat melakukan asesmen sendiri. Dari proses asesmen yang dilakukan oleh guru, pemberian layanan akomodasi dapat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tahap perkembangan anak, dengan begitu pemberian akomodasi terlaksana dengan lebih optimal.

 

Kaufman dan Hallahan (2006: 57) mengungkapkan bahwa akomodasi yang sering dilakukan oleh guru dalam pembelajaran meliputi perubahan dalam waktu, input, output, partisipasi, dan


 

tingkat dukungan. Contoh akomodasinya adalah penambahan waktu dalam pemecahan soal matematika, kemudian dalam pelajaran sejarah dapat menggunakan bagan untuk menunjukkan poin-poin penting, dan sebagainya.

 

Aspek yang Diakomodasi

 

Sedangkan akomodasi yang bersifat umum penjelasannya adalah sebagai berikut:

 

1.        Akomodasi dalam hal materi

 

Peserta didik yang berkebutuhan belajar cenderung memerlukan penyesuaian lebih ketika mengikuti materi pelajaran. Terutama anak yang memiliki kebutuhan khusus yang kekurangan dalam hal kognisi cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak normal lainnya.

 

Menurut Swason (dalam Pujaningsih, 2010: 200-201), bentuk pengajaran yang baik untuk anak berkebutuhan khusus lamban belajar adalah:

 

a)        Bertahap

 

Bertahap merupakan suatu proses yang dilakukan dengan beberapa langkah atau urutan peningkatan.

 

b)        Drill

 

Meliputi pengulangan dan praktik.Pembelajaran dalam bentuk drill dilakukan dengan dilakukan pengulangaan setiap hari, pengulangan dalam latihan, dan pemberian pembahasan materi secara bertahap.

 

c)         Pembagian materi

 

Materi yang diberikan dalam satu pembelajaran tidak diberikan secara langsung di awal. Namun, dibagi menjadi beberapa bagian.

 

Materi tersebut diberikan kepada peserta didik satu persatu sehingga dapat membantu peserta didik untuk memahami sedikit demi sedikit, pada akhirnya materi itu disatukan dan digabungkan di akhir menjadi satu kesatuan.

 

d)        Pertanyaan dan jawaban langsung


 

Pertanyaan dan jawaban langsung adalah saat dimana guru bertanya kepada peserta didik slow learner secara langsung dan peserta didik diminta untuk menjawab pertanyaan tersebut secara langsung. Pertanyaan langsung yang diberikan guru ke peserta didik dapat memfokuskan peserta didik untuk tetap memperhatikan materi pelajaran. Selain itu, guru dapat mengetahui sejauh mana pemahaman peserta didik.

 

e)        Kontrol tingkat kesulitan

 

Kontrol tingkat kesulitan dapat dilakukan dengan memperhatikan tingkatan pengetahuan. Tingkat kesulitan dimulai dari tingkat yang paling mudah, meningkat menuju tingkat yang lebih sulit.

 

f)          Penggunaan teknologi

 

Guru memberikan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran yang ada dengan semaksimal mungkin. Sehingga, dalam pembelajaran peserta didik terbantu dalam menangkap informasi yang ada. Teknologi yang dapat digunakan seperti kalkulator, komputer, LCD, OHP, dan lain-lain.

 

g)        Pemberian contoh pemecahan masalah oleh guru

 

Guru memberikan contoh dan langkah dalam pemecahan masalah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan variasi pembelajaran menggunakan berbagai pendekatan.

 

h)        Pembelajaran pada kelompok kecil

 

Pembelajaran dalam kelompok kecil dapat membantu peserta didik untuk lebih memahami pembelajaran. Tutor sebaya dalam kelompok kecil dapat saling membantu peserta didik untuk memahami informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. Pembentukan kelompok memungkinkan kerjasama antar peserta didik dan saling membantu ketika mengalami kesulitan, selain itu pengelompokkan juga mampu menigkatkan partisipasi peserta didik.

 

i)          Pemberian isyarat-isyarat tertentu.

 

Untuk peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam segi fisik, pemberian isyarat-isyarat tertentu menjadi suatu hal pokok yang tidak boleh dilupakan.


 

Pemberian akomodasi dalam hal materi tersebut diharapkan dapat memaksimalkan peserta didik dalam menerima informasi sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

 

Penguasaan materi semaksimal mungkin akan membantu peserta didik dalam peningkatan prestasi akademik.

 

2.        Pemberian tugas dan penilaian

 

Guru memberi bantuan saat anak mengajarkan tugas atau guru memberikan tugas soal dengan urutan tingkat kesulitan dari yang rendah ke tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan secara bertahap. Pemberian tugas dengan peningkatan urutan tingkat kesulitan dapat menuntun peserta didik dalam membangun konsep yang matang. Dengan konsep yang matang diharapkan dapat mengupayakan peserta didik dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya.

 

Alternatif dalam mengevaluasi anak berkebutuhan khusus dalam kelas reguler dapat dilakukan dengan cara berikut:

 

a.        Evaluasi sesuai dengan standar dan dengan cara yang sama dengan peserta didik lain.

 

b.        Evaluasi sesuai dengan standar namun disertai dengan akomodasi tertentu. Evaluasi ini disesuaikan dengan kebutuhan spesifik anak.

 

c.         Evaluasi alternatif dengan standar kesulitan yang sama dengan peserta didik lain.

 

d.        Evaluasi alternatif dengan standar kesulitan yang disesuaikan dengan kemampuan anak.

 

Akomodasi dalam proses evaluasi dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu:

 

a.         Penyampaian soal, guru menyampaikan soal dengan mengulang intruksi, membacakan.

 

b.        Cara menjawab soal, misal: peserta didik tidak harus menuliskan jawaban namun ia dapat menandai jawaban sesuai di buku.

 

c.         Tempat, misal untuk peserta didik dengan perhatian terbatas, dapat mengikuti ulangan di ruangan terpisah yang agak sepi.

 

d.         Waktu: pemberian waktu yang lebih banyak dengan jeda untuk istirahat.

 

3.        Tuntutan Waktu


 

Lingkungan belajar yang menyenangkan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik, termasuk anak yang berkebutuhan khusus. Dengan motivasi tinggi anak akan senang untuk belajar dan berusaha untuk memahami materi yang disampaikan.

 

Hal yang dapat guru lakukan dalam memberikan penyampaian materi agar menarik perhatian peserta didik adalah dengan membuat permainan atau kegiatan menyenangkan lainnya. Anak yang memiliki kebutuhan khusus pada umumnya memerlukan tuntutan waktu dan tambahan waktu yang lebih banyak. Oleh karena itu merupakan sebuah tantangan untuk guru untuk dapat memberikan akomodasi dalam tuntutan waktu yang tepat.

 

4.        Lingkungan belajar

 

Steven (dalam Pujaningsih, 2010: 201) mengemukakan bahwa guru dapat membantu mengatasi permasalahan anak-anak dengan pengaturan kelas yang baik. Lingkungan belajar yang diliputi dengan belajar dengan bekerja sama, dapat meningkatkan motivasi yang akan mempengaruhi peningkatan prestasi termasuk kepada anak yang berkebutuhan khusus.

 

Akomodasi tidak mengubah desain umum kurikulum, seperti konsep pengetahuan dan konsep yang sebuah subjek. Akomodasi adalah modifikasi metode intsruksi untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dalam menyerap pengetahuan. Jadi informasi yang diterima peserta didik tetaplah sama.

 

Kemudian Thurlow (2005:5) juga mengemukakan tentang akomodasi yang diberikan untuk anak dengan kebutuhan khusus dapat dikatagorikan menjadi:

 

a.        Akomodasi penyajian, termasuk pemberian huruf Braille, membaca keras, reading/re-reading/clarification of directions, dan sign interpretation.

 

b.        Sarana dan prasarana akomodasi seperti peralatan amplifikasi, audiovideo-kaset, kalkulator, dan peralatan lainnya;

 

c.         Akomodasi respon termasuk penggunaan komputer, dokumen, pengecekpengucapan, dan penulisan di lembar tes;

 

d.        Perencanaan dan waktu akomodasi (termasuk perpanjangan waktu, pengulangan tes, tes pada waktu peserta didik mampu, dan penggunaan jam istirahat); dan


e.    Akomodasi    lingkungan    (termasuk    administrasi    individu,    pembagian     ruangan,

 

administrasi kelompok kecil, dan administrasi rumah peserta didik.

 

 

 

 

Penilaian Dan Hasil Belajar

 

Penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses.

 

Konsep, pelaksanaan, dan pengembangan instrumen penilaian yang berkaitan dengan penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketiga aspek penilaian ini harus dilakukan guru dalam proses belajar mengajar, baik formatif maupun sumatif. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik. Penilaian dilakukan dengan cara menganalisis dan menafsirkan data hasil pengukuran capaian kompetensi peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.

 

 

Jenis-jenis Penilaian

 

a.        Penilaian oleh guru

 

Jenis-jenis penilaian yang dapat dilakukan oleh guru yaitu,

 

1)        Penilaian harian (PH), penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap PDBK dapat berupa ulangan harian untuk mengetahui pencapaian Kompetensi Dasar (KD)

 

2)        Penilaian Tengah Semester (PTS), penilaian yang diakukan oleh guru terhadap PDBK dilaksanakan pada tengah semester atau setelah proses pemebelajaran 8 hingga 9 minggu untuk mengetahui pencapaian KD.

 

3)        Penilaian Akhir Semester (PAS), penilaian ini dilakukan setelah pembelajaran semester ganjil selesai untuk mengetahui pencapaian KD pada semester ganjil.


 

4)        Penilaian Akhir Tahun penilaian ini dilakukan setelah pembelajar semester genap, untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap. Cakupan PAT meliputi seluruh KD pada semester genap.

 

5)        Carilah sumber yang relevan dengan pembahasan di atas!

 

b.    Penilaian oleh Sekolah

 

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan.Penilaian yang dilakukan oleh sekolah berupa Ujian Sekolah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.

 

 

Aspek-aspek Penilaian

 

 

 

A. Penilaian Sikap

 

1.     Pengertian Penilaian Sikap

 

Penilaian sikap adalah kegiatan untuk mengetahui kecenderungan perilaku spiritual dan sosial peserta didik dalam kehidupan sehari-hari di dalam dan di luar kelas sebagai hasil pendidikan. Penilaian sikap memiliki karakteristik yang berbeda dengan penilaian pengetahuan dan keterampilan, sehingga teknik penilaian yang digunakan juga berbeda. Dalam hal ini, penilaian sikap ditujukan untuk mengetahui capaian dan membina perilaku peserta didik sesuai butir-butir nilai sikap dalam KD dari KI-1 dan KI-2.

 

Dalam pelaksanaan penilaian sikap diasumsikan setiap peserta didik memiliki perilaku yang baik. Jika tidak dijumpai perilaku yang sangat baik atau kurang baik, maka nilai sikap peserta didik tersebut adalah baik dan sesuai dengan indikator yang diharapkan. Perilaku sangat baik atau kurang baik yang dijumpai selama proses pembelajaran dimasukkan ke dalam jurnal.

 

 

2.   Teknik Penilaian Sikap

 

Penilaian sikap dilakukan dengan menggunakan teknik observasi oleh guru (selama proses pembelajaran pada jam pelajaran dan di luar jam pelajaran). Rangkuman hasil penilaian sikap oleh guru dideskripsikan. Penilaian sikap dilakukan dengan menggunakan teknik observasi oleh guru (selama proses pembelajaran pada jam pelajaran), guru bimbingan


 

konseling (BK), dan wali kelas (selama peserta didik di luar jam pelajaran) yang ditulis dalam buku jurnal (selanjutnya disebut jurnal), yang mencakup catatan anekdot (anecdotal record), catatan kejadian tertentu (incidental record), dan informasi lain yang valid dan relevan.

 

Penilaian diri atau penilaian antar teman dilakukan oleh peserta didik sebagai penunjang yang sifatnya alat konfirmasi. Hasil akhir penilaian sikap diolah menjadi deskripsi sikap yang dituliskan di dalam rapor.

 

Penilaian aspek sikap dilakukan melalui observasi, penilaian diri, penilaian antarteman, jurnal selama proses pembelajaran berlangsung, dan tidak hanya di dalam kelas.

 

a.      Observasi

 

Merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan format observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati. Hal ini dilakukan saat pembelajaran maupun di luar pembelajaran.

 

b.      Penilaian Diri (self assessment)

 

Penilaian diri dalam penilaian sikap merupakan teknik penilaian terhadap diri sendiri (peserta didik) dengan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam berperilaku. Hasil penilaian diri dapat digunakan sebagai data konfirmasi perkembangan sikap peserta didik. Selain itu penilaian diri peserta didik juga dapat digunakan untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dan meningkatkan kemampuan refleksi atau mawas diri.

 

Instrumen penilaian diri dapat berupa lembar penilaian diri yang berisi “Butir-butir Pernyataan Sikap Positif yang Diharapkan” dengan kolom “Ya” dan “Tidak” atau dengan Likert Scale. Satu lembar penilaian diri dapat digunakan untuk penilaian sikap spiritual dan sikap sosial sekaligus.

 

c.       Penilaian Antar teman (peer assessment)

 

Penilaian teman sebaya atau antar peserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi (sikap tertentu). Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian antar peserta didik. Penilaian teman sebaya dilakukan oleh peserta didik terhadap 3 (tiga) teman sekelas atau sebaliknya. Penilaian ini dilakukan secara berkala setelah proses


pembelajaran.

 

d.      Penilaian Jurnal

 

Jurnal merupakan kumpulan rekaman catatan guru dan/atau tenaga kependidikan di lingkungan sekolah tentang sikap dan perilaku positif atau negatif, selama dan diluar proses pembelajaran mata pelajaran. Penilaian Jurnal adalah penilaian guru dan/atau tenaga kependidikan atas catatan hasil pengamatan tentang kekuatan/kelemahan/ kejadian luar biasa peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku di dalam dan di luar kelas. Adapun format penilaiannya dapat ditambahkan beberapa kolom, seperti: Tanggal, Kejadian, dan Tindak Lanjut.

 

 

B.  Penilaian Pengetahuan

 

1.   Pengertian Penilaian Pengetahuan

 

Penilaian pengetahuan adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui penguasaan peserta didik yang meliputi pengetahuan faktual, konseptual, maupun prosedural serta kecakapan berpikir tingkat rendah hingga tinggi. Penilaian pengetahuan dilakukan dengan berbagai teknik penilaian. Guru memilih teknik penilaian yang sesuai dengan karakteristik kompetensi yang akan dinilai

 

 

2.   Teknik Penilaian Pengetahuan

 

 

Berbagai teknik penilaian pengetahuan dapat digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing KD. Teknik yang biasa digunakan antara lain tes tertulis, tes lisan, dan penugasan. Berikut disajikan uraian mengenai pengertian, langkah-langkah, dan contoh kisi-kisi dan butir instrumen tes tertulis, lisan, penugasan, dan portofolio dalam penilaian pengetahuan.

 

a.    Tes Tertulis

 

Tes tertulis adalah tes yang soal dan jawaban disajikan secara tertulis berupa pilihan ganda, isian, benar-salah, menjodohkan, dan uraian. Instrumen tes tertulis dikembangkan atau disiapkan dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

 

1)        Menetapkan tujuan tes.

 

2)        Menyusun kisi-kisi.

 

3)         Menulis soal berdasarkan kisi-kisi dan kaidah penulisan soal.


4)         Menyusun panduan penskoran.

 

 

b.   Tes Lisan

 

 

Tes lisan berupa pertanyaan-pertanyaan, perintah, kuis yang diberikan pendidik secara lisan dan peserta didik merespon pertanyaan tersebut secara lisan. Jawaban tes lisan dapat berupa kata, frase, kalimat maupun paragraf. Tes lisan bertujuan menumbuhkan sikap berani berpendapat, menegecek penguasaan pengetahuan untuk perbaikan pembelajaran, percaya diri, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif. Dengan demikian, tes lisan dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Tes lisan juga dapat digunakan untuk melihat ketertarikan siswa terhadap materi yang diajarkan dan motivasi peserta didik dalam belajar.Langkah-langkah pelaksanaan tes lisan sebagai berikut.

 

1)      Melakukan analisis KD sesuai dengan muatan pelajaran.

 

2)      Menyusun kisi-kisi

 

3)      Menyiapkan pertanyaan, perintah yang akan disampaikan secara lisan.

 

c.       Penugasan

 

Penugasan adalah pemberian tugas kepada peserta didik untuk mengukur dan/atau memfasilitasi peserta didik memperolehatau meningkatkan pengetahuan. Penugasan yang berfungsi untuk penilaian dilakukan setelah proses pembelajaran (assessment of learning). Sedangkan penugasan sebagai metode penugasan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan yang diberikan sebelum dan/atau selama proses pembelajaran (assessment for learning). Tugas dapat dikerjakan baik secara individu maupun kelompok sesuai karakteristik tugas yang diberikan, yang dilakukan di sekolah, di rumah, dan di luar sekolah.

 

 

C.  Penilaian Aspek Keterampilan

 

1.   Pengertian Penilaian Keterampilan

 

Penilaian keterampilan adalah penilaian untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa

 

terhadap kompetensi dasar pada KI-4. Penilaian keterampilan menuntut siswa mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu. Penilaian ini dimaksudkan untuk


 

mengetahui apakah pengetahuan yang sudah dikuasai siswa dapat digunakan untuk mengenal dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan sesungguhnya (real life).

 

2. Teknik Penilaian Keterampilan

 

Penilaian keterampilan dapat dilakukan dengan berbagai teknik antara lain penilaian praktik/kinerja, proyek, dan portofolio. Teknik penilaian lain dapat digunakan sesuai dengan karakteristik KD pada KI-4 pada mata pelajaran yang akan diukur.Instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik.

 

a.   Penilaian Kinerja

 

Penilaian kinerja adalah penilaian yang menuntut respons berupa keterampilan melakukan suatu aktivitas atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi.

 

Pada penilaian praktik menuntut peserta didik untuk melakukan suatu tugas pada situasi yang sesungguhnya yang mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya tugas berjalan mengikuti pola, berlari berpasangan,memainkan alat musik, menggunakan mikroskop, menyanyi, bermain peran, menari.

 

b.   Penilaian Projek

 

Penilaian projek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasi, kemampuan menyelidiki dan kemampuan menginformasikan suatu hal secara jelas. Penilaian projek dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti: penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapan laporan tertulis/lesan. Untuk menilai setiap tahap perlu disiapkan kriteria penilaian atau rubrik. Peniliaan projek dilakukan diakhir setiap tema (khusus untuk SDLB). Pelaksanaan penilaian projek untuk peserta didik SDLB/ SMPLB/SLB disesuaikan dengan kemampuan masing-masing peserta didik serta amat diperlukan rangsangan/ bantuan/ bimbingan guru.

 

c.    Penilaian Produk

 

Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk, teknologi, dan seni, seperti: makanan (contoh: tempe, kue, asinan, baso, dan nata de coco), pakaian, sarana kebersihan (contoh: sabun, pasta gigi, cairan pembersih dan sapu),alat-alat teknologi (contoh: adaptor ac/dc dan bel listrik), hasil karya seni (contoh: patung, lukisan dan gambar), dan barang-barang terbuat darikain, kayu, keramik, plastik,


atau logam.

 

d.    Penilaian Portofolio

 

1)         Pengertian

 

Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya peserta didik secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu periode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru dan peserta didik sendiri. Berdasarkan informasi perkembangan tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan

 

kemampuan peserta didik dan terus menerus melakukan perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat memperlihatkan dinamika kemampuan belajar peserta didik melalui sekumpulan karyanya, antara lain: karangan, puisi, surat, komposisi musik, gambar, foto, lukisan, resensi buku/literatur, laporan penelitian, sinopsis dan karya nyata individu peserta didik yang diperoleh dari pengalaman.

 

Portofolio dalam proses penilaian pembelajaran sering dimaknai sebagai suatu koleksi hasil kinerja peserta didik berupa artefak yang mengungkapkan tahapan perkembangan. Artefak-artefak itu dihasilkan dari pengalaman belajar atau proses pembelajaran peserta didik dalam periode waktu tertentu. Dengan demikian, portofolio dapat diartikan sebagai suatu koleksi pribadi hasil pekerjaan seorang peserta didik yang menggambarkan taraf pencapaian kompetensi, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik.

 

2)         Jenis Portofolio

 

Berbagai jenis portofolio, antara lain:

 

a)    Portofolio Pribadi Peserta Didik yang Bersifat Rahasia (Anecdotal Record)

 

b)   Portofolio Pembelajaran Peserta didik

 

c)    Portofolio Catatan Khusus Peserta didik Jangka Panjang

 

 

3)   Bentuk Portofolio

 

Berbagai bentuk portofolio.

 

a)      Berupa buku ukuran besar yang bisa dilihat peserta didik dengan dipangku (lapbook). Lapbook ini bisa dimasukkan berbagai hasil karya terkait dengan produk seni (gambar, kerajinan tangan, dan sebagainya).

 

b)      Berupa album berisi foto, video, audio.


 

c)      Berupa stopmap/bantex berisi tugas-tugas imla/dikte dan tulisan (karangan, catatan) dan sebagainya.

 

d)     Buku Kelas I – Kelas VI yang disusun berdasarkan Kurikulum 2013, juga merupakan portofolio peserta didik.

 

 

Bentuk Laporan Hasil Belajar

 

Bentuk pelaporan hasil pembelajaran peserta didik berkebutuhan khusus:

 

a.         Bagi peserta didik yang menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model raport reguler yang sedang berlaku.

 

b.         Bagi peserta didik yang menggunakan model kurikulum yang di modifikasi, maka model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan raport reguler yang dilengkapi dengan deskrifsi (narasi) yang menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.

 

c.         Bagi peserta didik yang menggunakan kurikulum yang diindividualisasikan, maka menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan deskripsi (narasi). Penilaian kuantitatif didasarkan pada kemampuan dasar (baseline).

 

d.         Model rapot pada pendidikan inklusif pada dasarnya sama dengan sekolah reguler di semua satuan pendidikan meliputi SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK, perbedaannya terletak pada jenis satuan pelajaran dan program khusus.


 

 

-          PENGANTAR KEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PENANGANAN PEMBELAJARAN AKADEMIK DI SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF

 

§Pengertian Program Kebutuhan khusus

 

Program kebutuhan khusus merupakan suatu layanan intervensi dan/atau pengembangan yang dilakukan sebagai bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang dialami anak berkebutuhan khusus dengan tujuan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses dalam mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Program kebutuhan khusus bukan mata pelajaran, tetapi wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta didik.

 

Dalam Permendikbud 157 tahun 2014 pasal 10 disebutkan bahwa Program kebutuhan khusus pada kurikulum pendidikan regular dan pada kurikulum pendidikan khusus dikembangkan sebagai penguatan bagi peserta didik berkelainan atau berkebutuhan khusus untuk meminimalkan hambatan dan meningkatkan capaian kompetensi secara optimal.

 

Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan umum Program Kebutuhan Khusus adalah untuk meminimalkan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses dalam mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Tujuan khusus dari Program Kebutuhan Khusus akan dijelaskan pada sub materi berikutnya.

 

Penerapan program kebutuhan khusus di sekolah penyelengara inklusif tidak terbatas ruang dan kelas, dan diberikan berdasarkan skala proritas. Penerapannya menyatu dengan pembelajaran yang diterima. Tidak ada jam khusus untuk mengintervensi program kebutuhan khusus. Apabila dirasa penting peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima program kebutuhan khusus maka, peserta didik berkebtuhan khusus ditangani oleh orthopedagog atau Guru SLB.

5.Jenis Program Kebutuhan Khusus.

 

Dalam Dalam Permendikbud 157 tahun 2014 dan Perdirjen No 10 tahun 2017 disebutkan bahwa program kebutuhan khusus ada 5 jenis, yaitu:

 

3.      Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi untuk Tunanetra

 

4.      Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama untuk Tunarungu

 

5.      Pengembangan Diri untuk Tunagrahita

 

6.      Pengembangan Diri dan Gerak untuk peserta didik Tunadaksa; dan


 

4.      Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku untuk peserta didik Autis

 

-  Tujuan Umum Program Kebutuhan Khusus

 

Program kebutuhan khusus memiliki tujuan secara umum yaitu memfasilitasi anak yang mengalami hambatan pada salah satu atau beberapa aspek tertentu yang dialihkan, digantikan, kepada fungsi lain yang memungkinkan dapat menggantikan fungsi yang hilang atau yang lemah.

 

Dimana peserta didik berkebutuhan khusus dibimbing untuk mengembangkan keterampilan hidupnya. Keterampilan hidup (life skills) adalah kemampuan untuk beradaptasi dan menunjukkan perilaku positif yang pada akhirnya memampukan individu untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari dengan efektif

-   Pengantar Pembelajaran Akademik di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inkluisf.

 

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

 

Berdasarkan difinisi dan turunan dari UU tentang pendidikan Inklusi anak yang tergolong ABK adalah mereka dengan kesulitan belajar, anak lambat belajar, anak dengan ganguan autis, anak dengan gangguan intelektual, anak dengan gangguan fisik dan motorik, anak dengan gangguan emosi dan perilaku, anak berkelainan majemuk dan anak berbakat. [4] Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus MENERIMA/mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all”.


 

Anak berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki gangguan satu atau lebih Dari proses dasar yang mencakup pemahan penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual,luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran disekolah, kita dihadapkan pada sejumlah karakteristik siswa yang beraneka ragam. Ada peserta didik yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa adanya kesulitan, namun disisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar peserta didik ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dalam menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada dibawah semestinya. Kesulitan belajar peserta mencangkup pengertian yang luas, diantaranya: (a) learning disorder, (b) learning disfunction, (c) under achiever, (d) slow learner, (e) learning disabilities.

§         Tujuan Penanganan Pembelajaran Akademik Di Sekolah Inklusif

 

Banyak factor yang mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang guru, salah satu tugas serta kewajiban yang harus dipenuhi adalah membantu mempengaruhi kemampuan intelektual siswa agar dapat berfungsi secara optimal dan mencoba melengkapi program pengajaran yang ditujukan bagi mereka yang lambat dalam belajar.

 

Adapun cara yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan memperhatikan kondisi kesehatan fisik siswa, membantu pengembangan sifat-sifat positif pada diri siswa, memperbaiki kondisi motivasi siswa, menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa. Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada diri siswa seperti percaya diri, perasaan diri dihargai, guru dapat melakukan dengan cara menaruh respect terhadap pertanyaan-pertanyaan serta gagasan-gagasan yang diajukan siswa sehingga dapat membantu meningkatkan keyakinan diri siswa serta perasaan bahwa dirinya dihargai. Selain itu agar perasaan-perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik atau salah paham dapat dihindari oleh siswa. Sedangkan untuk memperbaiki kondisi motivasi siswa, guru dapat melakukannya dengan memberikan insentif atas keberhasilan yang diraih siswa yaitu dapat berupa pujian atau nilai yang baik. Selain itu guru juga dapat memberikan kesempatan melaksanakan tugas-


 

tugas yang relevan, seperti di dalam kelompok diskusi, di depan kelas, pembuatan karya tulis, dan lain-lain untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa.

 

 

 

Pengembangan OMSK bagi PDBK Tunanetra

 

Pengembangan OMSK adalah sejumlah pengembangan keterampilan yang dibutuhkan tunanetra untuk menutupi atau mengganti keterbatasan sebagai akibat langsung dari adanya hambatan penglihatan.

 

1.        Pengembangan Orientasi Mobilitas

 

Pengembangan kemampuan orientasi mobilitas adalah merupakan pengembangan kemampuan, kesiapan dan kemampuan bergerak dari satu posisi/tempat ke satu posisi/tempat lain yang dikehendaki dengan baik, tepat, efektif, dan selamat. Melalui Pengembangan Orientasi Mobilitas, Peserta didik diharapkan mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun tidak dikenal dengan efektif, aman, dan baik, tanpa banyak meminta bantuan orang lain.

 

2.        Pengembangan Sosial

 

Pengembangan Kemampuan sosial merupakan pengembangan kemampuan membina hubungan antar manusia dan lingkungannya serta perilaku manusia dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari secara mandiri tanpa banyak dibantu orang lain. Tujuan Pengembangan sosial ini adalah agar peserta didik mampu berinteraksi, beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan pribadi dan sosial di lingkungan keluarga di sekolah dan masyarakat luas.

 

3.        Pengembangan Komunikasi

 

Pengembangan komunikasi bagi peserta didik tunanetra bertujuan agar mereka mampu bersikap baik dan benar dalam berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat secara ekspresif menyenangkan baik menggunakan alat komunikasi manual maupun elektronik.

 

Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama bagi PDBK Tunarungu

 

Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama biasa dikenal dengan istilah PKPBI merupakan pengembangan kemampuan komunikasi dan pengembangan kemampuan penghayatan bunyi dan irama. Pengembangan Komunikasi Peserta didik tunarungu bertujuan


 

antara lain agar mereka mempunyai kemampuan ucapan fonem, kata, kalimat dan bahasa yang benar, dan agar peserta didik tunarungu memiliki keyakinan bahwa bunyi/suara yang mereka keluarkan memiliki makna. Pengembangan kemampuan komunikasi antara lain dilakukan dengan latihan pelemasan dalam bentuk senam mulut dan bibir, latihan pernafasan, latihan pembentukan suara dan bahasa (fonem, kata, kalimat).

 

Pengembangan Persepsi Bunyi dan Irama adalah pembinaan penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga kemampuan dengar yang masih dimiliki serta perasaan vibrasi yang dimiliki peserta didik tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi bermakna.

 

Sesuai dengan tahapan proses mendengar manusia, maka ruang lingkup program pengembangan kemampuan persepsi bunyi dan irama bagi peserta didik tunarungu meliputi tiga tahap yaitu; tahap deteksi bunyi adalah kemampuan menyadari ada dan tidak ada bunyi, tahap diskriminasi bunyi adalah kemampuan membedakan bunyi, dan tahap identifikasi bunyi yaitu kemampuan mengenal bunyi.

 

 

Pengembangan Diri bagi PDBK Tunagrahita

 

Program Pengembangan Diri (PPD) merupakan hal yang sangat penting untuk peserta didik tunagrahita dalam melakukan pengembangan dirinya sendiri yang meliputi: merawatdiri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi, bersosialisasi, keterampilan hidup, dan mengisi waktu luang di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. PPD diarahkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik tunagrahita dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kehidupan dirinya sendiri sehingga mereka tidak membebani orang lain. Dalam pelaksanaan program pengembangan diri perlu adanya standar kemampuan untuk dapat mencapai kemampuan minimal yang menggambarkan keterampilan yang dicapai, hal ini sebagai dasar untuk mengetahui peningkatkan, dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari atau pengembangan diri peserta didik tunagrahita.

 

Menurut Depdiknas (2009) terdapat tiga istilah untuk anak tunagrahita yaitu: 1) mengurus diri atau merawat diri (self care), 2) menolong diri (self help), dan 3) kegiatan sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL). Tujuan pengembangan diri antara lain agar anak: a) dapat hidup wajar dan


 

mampu menyesuaikandiri dalam kleuarga, teman sebaya baik di sekolah maupun di masyarakat,

 

b)   dapat menjaga kebersihan dan kesehatan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain, c) dapat mengurus keperluannya sendiri dan dapat memecahkan masalah sendiri, d) dapat membantu orangtua dalam mengurus rumah tangga, baik dalam kebersihan ketertiban dan pemeliharaan, e)mampu berpartisipasi dalam menciptakan kehidupan keluarga yang sejahtera.

 

Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran pengembangan diri bersifat perbaikan tingkah laku (behavior modification). Sedangkan teknik yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu tingkah laku atau keterampilan kepada anak tunagrahita yaitu: 1) memberi contoh (modelling), 2) menuntun/mendorong (promting), 3) mengurangi tuntunan (fading), 4) pentahapan (shaping).

 

Adapun prinsip pengembangan diri meliputi: a) dilaksanakan ketika kebutuhan muncul, b) berikan ketika anak makan, mandi, berpakaian, menanggalkan pakaian, ke toilet, dll, c) bahan yang diajarkan hendaknya dirumuskan secara operasional misal: “anak belajar berpakaian” menjadi “anak belajar memakai baju”, d) bahan yang baru hendaknya bersambung dengan bahan sebelumnya, misal belajar mengancingkan baju merupakan kelanjutan dari belajar mengenakan baju, e) satuan-satuan bahan yang kecil hendaknya terdiri atas perbuatan-perbuatan, misal: mengancingkan, menanggalkan, memasang, dsb, f) reinforce hendaknya sesuai dengan kesukaan anak yang diajar saat itu dan mempunyai nilai beda dari anak yang belum berhasil, g) reinforce hendaknya diberikan setelah anak melakukan satu langkah kegiatan betul (trial), h) hindari segala sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian anak, i) gunakan bahasa yang sederhana, berikan instruksi satu demi satu, bila perlu dilengkapi dengan mimik dan isyarat, j) tentukan kriteria untuk tiap-tiap pertemuan, anak dianggap berhasil apabila kegiatan dilakukan tanpa bantuan, k) pelihara konsistensi bila materi itu di bina oleh guru lain, guru tersebut hendaknya sama dengan guru yang terdahulu (Depdiknas. 2009. Modul Training of Trainerss Pendidikan Inklusif).

 

Pengembangan Diri dan Gerak bagi PDBK Tunadaksa

 

Pengembangan diri dan gerak adalah merupakan segala usaha, bantuan yang berupa bimbingan, latihan, secara terencana dan terprogram terhadap peserta didik tunadaksa, dalam rangka membangun diri baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya


 

kemampuan mengurus diri, menolong diri, merawat diri, dan mobilisasi (bergerak-berpindah tempat) dalam kehidupan sehari-hari baik di keluarga maupun di dimasyarakat secara memadai.

 

Fungsi dari pengembangan diri dan gerak untuk peserta didik tunadaksa adalah sebagai berikut: a). Mengembangkan kemampuan anggota badan yang mengalami kesulitan bergerak agar dapat berfungsi secara optimal, b). Mengembangkan dan melatih peserta didik secara berkesinambungan agar mampu mengatasi kebutuhan hidupnya, c). Membina peserta didik agar memahami dan menyadari hubungan antara guru/pelatih dengan pribadinya agar terjalin kontak atau hubungan secara harmonis, d). Mengembangkan gerak otot serasi, sehat, dan kuat sehingga mampu melakukan gerakan sesuai dengan fungsinya, dan e). Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mampu mengatasi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Tujuan dari pengembangan diri dan gerak bagi peserta didik tunadaksa adalah: a). agar gerak otot serasi , seimbang, sehat, dan kuat, sehingga mampu melakukan gerakan sesuai dengan fungsinya, b). agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mampu mengatasi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, dan c). agar peserta didik tunadaksa memiliki pengetahuan, sikap, nilai dan kemampuan senso-motorik agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

 

Pengembangan Interaksi Komunikasi, dan Perilaku bagi PDBK Autis

 

Pengembangan interaksi, komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik autis merupakan segala usaha, bantuan yang berupa bimbingan, latihan, secara terencana dan terprogram terhadap peserta didik autis, dalam rangka membangun diri baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya kemampuan untuk hidup mandiri di tengah masyarakat.

 

Tujuan program pengembangan interaksi, komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik autis antara lain untuk:

 

a.         Mengembangkan kecakapan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis melalui pembiasaan dan latihan yang terus-menerus tentang pentingnya berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

 

b.        Meningkatkan kemampuan bersosialisasi peserta didik autis dengan lingkungan sekitarnya.

 

c.         Mengembangkan perilaku adaptif


 

 

Strategi Penanganan Pembelajaran Akademis Di Sekolah Inklusif


 

Pada materi sebelumnya telah dibahas tentang pengembangan program kebutuhan khusus sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan PDBK dan mengoptimalkan potensi PDBK dalam hal keterampilan hidup. Selain permasalahan keterampilan hidup, PDBK yang belajar di sekolah Inklusif juga mengalami permasalahan pembelajaran akademis. Hal ini disebabkan karena dari sisi internal setiap PDBK mempunyai kebutuhan belajar yang tidak sama dengan anak reguler, dan dari sisi eksternal di sekolah inklusif di Indonesia untuk saat ini banyak yang belum siap menerima PDBK secara menyeluruh.

 

Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk mengatasi permasalahan pembelajaran akademis, diantaranya adalah dengan penerapan pendekatan remedial dan akomodasi kurikulum. Remedial dalam KBBI berarti bersifat menyembuhkan atau berhubungan dengan perbaikan atau membuat menjadi baik. Jika dikaitkan dengan pembelajaran terutama pembelajaran PDBK, maka remedial dapat diartikan sebagai suatu pendekatan pembelajaran tersendiri yang diberikan kepada seorang atau sekelompok peserta didik berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan belajar dengan tujuan agar terjadi perbaikan pembelajaran.

 

Pendekatan remedial memiliki tujuan agar peserta didik memperoleh prestasi belajar yang memadai melalui proses penyembuhan, perbaikan atau pembetulan dalam pemahaman diri, cara belajar, menggunakan alat belajar, perubahan sikap, dan pelaksanaan tugas-tugas. Prinsip utama pendekatan remedial yaitu harus mengutamakan prinsip pembelajaran yang menyenangkan.

 

Hal penting yang yang harus diperhatikan selain Pemberian Program Remedial untuk pembelajaran PDBK di sekolah Inklusif adalah akomodasi atau penyesuaian kurikulum bagi PDBK. Kurikulum adalah seperangkat rencana pembelajaran yang didalamnya menampung pengaturan tentang tujuan, isi, proses, dan evaluasi.

 

Kurikulum yang digunakan oleh PDBK di sekolah inklusif tidak harus disamakan dengan kurikulum peserta didik regular, Kurikulum bagi PDBK di sekolah inklusif adalah kurikulum akmodatif yang merupakan hasil analisis dari kurikulum regular disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik belajar PDBK. Dari Hasil Analisis tersebut bisa terlihat apakah kurikulum reguler bisa langsung


 

diterapkan, perlu dimodifikasi, diganti atau bahkan atau bahkan ditiadakan, hal ini tergantung kebutuhan dan karakteristik PDBK yang ada.


 

Unit Layanan Disabilitas (ULD)

 

-          Pengertian

 

ULD merupakan lembaga yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Menurut UU tersebut ULD merupakan unit yang menyediakan layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas. ULD tidak hanya terdapat di bidang pendidikan saja, melainkan terdapat di berbagai bidang, antara lain di lembaga permasyarakatan, di bidang ketenagakerjaan, di perguruan tinggi, dan tentu saja di bidang pendidikan. Bahkan, jika satu perguruan tinggi tidak memiliki ULD, akan segera mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Sanksi paling ringan berupa teguran, sanksi terberat berupa pencabutan izin operasional.

 

Pada bidang pendidikan, ULD secara eksplisit disebutkan dibentuk untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah. Pembentukkannya diinisiasi oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan ULD di daerahnya masing-masing. Di beberapa daerah, saat ini telah terbentuk ULD-ULD. Tujuan utama pembentukan ULD adalah untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

 

-          Fungsi Unit Layanan Disabilitas

 

Fungsi ULD dalam bidang pendidikan, secara rinci disebutkan dalam undang-undang tentang penyandang disabilitas dinyatakan sebagai berikut.

 

              Meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah reguler dalam menangani peserta didik penyandang disabilitas.

 

              Menyediakan pendampingan kepada peserta didik penyandang disabilitas untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran.

 

              Mengembangkan program kompensatorik.

 

              Menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan peserta didik penyandang disabilitas.

 

              Melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik penyandang disabilitas.


-          Menyediakan data dan informasi tentang disabilitas.

 

-          Menyediakan layanan konsultasi.

 

-          Mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik penyandang disabilitas.

 

ULD dapat memfasilitasi untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah umum atau sekolah inklusif dalam menangani peserta didik penyandang disabilitas. Kompetensi yang perlu ditingkatkan merupakan kompetensi yang dibutuhkan untuk melayani peserta didik penyanfang disabilitas. Fungsi fasilitasi ini, menunjukkan ULD diberi kewenangan untuk melakukan pelatihan, workshop, lokakarya, seminar, dan lain sebagainya. Fasilitator peningkatan kompetensi guru dan tanaga kependidikan tersebut, bisa dari internal ULD, maupun dari tenaga ahli dari eksternal.

 

Menyediakan pendampingan kepada peserta didik penyandang disabilitas untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran. Tugas pendampingan kepada peserta didik menjadi salah satu tugas utama ULD. Konsekuensi logis dari tugas tersebut, ULD harus memiliki data peserta didik di setiap sekolah di wilayah tugasnya. Data tentang jumlah dan ragam disabilitas di setiap sekolah. Melalui pemanfaatan teknologi, sebaiknya setiap ULD memiliki akses terhadap keberadaan peserta didik berkebutuhan khusus di setiap sekolah. sehingga, bentuk layanan pendampingan yang diberikan dapat lebih terorganisasikan dengan baik. Tekait dengan data peserta didik berkebutuhan khusus di setiap sekolah, ULD dapat terhubung dengan setiap sekolah melalui operator-operator sekolah. keberadaan data yang mudah diakses, akan memperkuat layanan pemdampingan peserta didik oleh ULD.

 

Selain kepada peserta didik pemberian pendampingan juga diberikan kepada seluruh warga sekolah. khususnya terkait dengan konsep akomodasi yang layak begi peserta didik berkebutuhan khusus. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan.

 

ULD menjadi salah satu lembaga di daerah yang memiliki kewenangan untuk mengembangkan program kompensatorik bagi peserta didik berkebutuhan khusus di setiap


 

sekolah. program kompensatoris yang dimaksud adalah program kekhususan bagi peserta didik sesuai dengan hambatan dan kebutuhan belajar masing. Masing. Program kekhususan berorientasi pada dua hal, yaitu pemenuhan belajar dan layanan pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Program pemenuhan belajar berkaitan dengan program pembelajaran yang bersifat akademik yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Sedangkan pemenuhan kebutuhan.

 

Berikut adalah program pemenuhan kebutuhan dan layanan pengembangan bagi peserta didik penyandang disabilitas.

 

Ragam Disabilitas

Program pengembangan

 

 

Disabilitas fisik

- Pengembangan diri

 

- Pengembangan gerak (motorik) disesuaikan dengan

 

hambatan fisik peserta didik.

 

 

Disabilitas intelektual

- Pengembangan diri

 

- Pengembangan kecakapan hidup

 

- Pengembangan ADL (Activity of Daily Living)

 

 

Disabilitas mental

- Pengembangan diri

 

- Pengembangan kecakapan hidup

 

- Pengembangan ADL (Activity of Daily Living)

 

 

Disabilitas sensori

 

Hambatan penglihatan

- Pelatihan menulis dan membaca huruf Braille

 

- Pengembangan orientasi dan mobilitas

 

- Pengembangan sosial dan komunikasi

Hambatan pendengaran

- Pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama

Hambatan berbicara

- Pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama

 

 

 

Fungsi lainnya ULD adalah menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan peserta didik penyandang disabilitas. Ada dua hal yang menjadi prioritas, yaitu media pembelajaran dan alat bantu. Kedua hal tersebut sangat berkaitan dengan penyediaan akomomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Media pembelajaran berkaitan dengan kemudahan peserta didik untuk berkembang dan memiliki kemampuan dalam bidang akademik. penyediaan akomodasi yang layak, semestinya termasuk penyediaan alat peraga pembelajaran. Pada waktu-waktu tertentu guru akan kesulitan membelajarkan bahwa bumi itu bulat, kalau tidak disertai dengan alat peraga yang memadai.


 

Penyediaan alat bantu bagi penyandang disabilitas berkenaan dengan penyediaan sarana dan alat untuk mobilitas peserta didik. Misalnya, bagi peserta didik yang memiliki hambatan fisik untuk berjalan, maka perlu diupayakan untuk menyediakan kursi roda (wheelchair), misalnya. Tentu bukan hanya alatnya saja, melainkan dengan sarananya juga yang harus disertakan, yaitu pembuatan ramp di lingkungan sekitar sekolah.

 

Melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik penyandang disabilitas. ULD selayaknya mesti menyediakan tenaga ahli untuk membantu guru-guru dalam melakukan deteksi dan intervensi dini bagi peserta didik yang disuga menyandang disabilitas. Pelaksanaan deteksi dan intervensi dini pada fase prasekolah menjadi tahapan yang paling krusial. Karena pada saat inilah anak berkebutuhan khusus secara spesifik dapat diketahui karakteristiknya. Dalam konteks keahlian, guru tidak punya kewenangan untuk memberikan label tertentu pada anak berkebutuhan khusus. Tidak demikian pada petugas yang diutus oleh ULD. Petugas-petugas yang menjadi representasi ULD sejatinya merupakan para profesional yang ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya sebagai Terapist, Dokter, dan atau Psikolog.

 

Penyediaan data dan informasi manjadi salah satu yang akan meningkatkan kredibilitas ULD. Segala sesuatu yang menjadi kebijakan ULD harus didasarkan pada data yang valid dan sahih. Kerja sama dengan pihak sekolah atau madrasah menjadi hal yang sangat dimungkinkan. Setiap sekolah mempunyai tim atau petugas yang mengelola data dan informasi seklah, yaitu operator sekolah. Melalui operator sekolah inilah, data-data dan informasi-informasi tentang peserta didik berkebutuhan khusus bisa diperoleh. ULD juga bisa membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya yang ada di sekolah untuk dapat mengelola data dan informasi yang terkait dengan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolahnya masing-masing.

 

Fungsi lainnya dari ULD adalah menyediakan layanan konsultasi bagi semua pihak yang berkaitan dengan layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Layanan konsultasi ini meliputi pengembangan peserta didik, deteksi dan intervensi, identifikasi dan asesmen. Layanan peningkatan pembelajaran semasa peserta didik mengikuti program di


 

sekolah, dan layanan program pendidik transisi bagi peserta didik menjelang meninggalkan bangku sekolah.

 

ULD dapat membantu sekolah untuk mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik penyandang disabilitas. Kerja sama dengan kelompok dan komunitas tertentu yang relevan dengan potensi peserta didik sangat dimungkinkan. Ketika di suatu daerah belum terwujud sistem yang mengatur tentang layanan pendidikan dan penyediaan akomodasi yang layak bagi peserta didik, maka ULD dapat mendorong terciptanya akomodasi yang layak di wilayak kerjanya.

 

Pusat Sumber (Resource Center)

 

6.        Pengertian pusat sumber dalam konteks pendidikan inklusif

 

Pertanyaan ini dilatarbelakangi banyaknya istilah pusat sumber. Oleh karena itu, perlu lebih dijelaskan pusat sumber dalam konteks apa. Pusat sumber dalam konteks pendidikan khusus dan pendidikan inklusif adalah lembaga khusus yang ditunjuk oleh pemerintah (pemerintah pusat/pemerintah daerah) sebagai pusat sumber dalam pengembangan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif. Pusat sumber ini dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang berhubungan anak berkebutuhan khusus, khususnya dalam penangan dan pendidikannya. Dengan demikian pusat sumber dapat menjadi sumber bagi orang tua, keluarga, sekolah biasa/sekolah luar biasa, masyarakat dan pemerintah serta pihak lain yang berkepentingan.

 

Saat ini yang dimaksud dengan pusat sumber dalam konteks pendidikan khusus dan pendidikan inklusif adalah sekolah-sekolah khusus atau SLB yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan setempat. SLB yang menjadi pusat sumber merupakan SLB Inti atau SLB Pembina yang berada di kabupaten atau kota setempat. Meski keberadaannya tidak selalu ada di setiap kabupaten atau kota. Meskipun pusat sumber itu berada di sekolah khusus tertentu tidak serta merta pengurusnya berasal dari sekolah tersebut. Pengurus pusat sumber memungkinkan berasal dari lembaga-lembaga yang berbeda. Berikut contoh kepengurusan pusat sumber di DI Yogyakarta.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7.        Fungsi Pusat Sumber

 

Fungsi pusat sumber dalam implementasi pendidikan inklusif di sekolah inklusif adalah:

 

              Sebagai inisiator yang aktif dalam pelaksanaan pengembangan layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus, baik di sekolah inklusif maupun di sekolah khusus.

 

              Sebagai sumber dukungan dalam pengembangan proses pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus, baik di sekolah inklusif maupun di sekolah khusus.

 

              Sebagai pusat informasi bagi orang tua, keluarga, sekolah khusus dan sekolah inklusif, serta masyarakat lain di sekitarnya.

 

              Sebagai home base guru pembimbing khusus, hingga saat ini lokasi pusat sumber berada di SLB atau sekolah khusus, dengan demikian pusat sumber bisa jadi merupakan tempat berkumpulnya guru-guru SLB dan atau Guru Pembimbing Khusus.

 

              Sebagai koordinatoriat layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus, khususnya dalam melayani peserta didik di sekolah inklusif. Misalnya saat melakukan terapi, intervensi, konsultansi, dan atau asesmen.

 

              Sebagai mediator kerja sama antara sekolah dengan mitra-mitra kerja yang lain.

 

8.        Peran Pusat Sumber

 

Peran pusat sumber dalam pengembangan pendidikan inklusif adalah:

 

              Memberikan informasi kepada sekolah-sekolah (sekolah inklusif dan SLB) mengenai pendidikan inklusif.


 

b.    Menyediakan bantuan terapi, intervensi, asesmen, layanan dan bimbingan kependidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

 

5.        Melakukan inovasi di bidang pendidikan khusus/pendidikan inklusif.

 

6.        Melakukan penelitian dan pengembangan implementasi pendidikan inklusif.

 

7.        Merencanakan dan menyelenggarakan pelatihan bagi guru dari sekolah inklusif dan guru dari sekolah khusus serta pihak lain yang membutuhkan pelatihan mengenai pendidikan inklusif dan atau pendidikan khusus.

 

8.        Menyediakan bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada anak atau peserta didik berkebutuhan khusus.

 

9.        Menjadi fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan inklusif.

 

Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB)

 

Sekolah khusus semestinya menjadi mitra dari sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Sebagai mitra kerja antar keduanya perlu melakukan kerja sama. Pengertian kerjasama bisa jadi diwujudkan dalam secara formal artinya kerjasama diwujudkan dengan adanya naskah kerjasama (naskah MoU).

 

Kebutuhan utama sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah ketersediaan guru pembimbing khusus yang idealnya dapat dipenuhi dengan memberdayakan guru-guru di sekolah khusus. Hal ini dirasakan sulit terwujud, karena kenyataannya guru jumlah guru di SLB pun masih kurang. Oleh karena itu kerja sama antara SLB dengan sekolah inklusif menjadi sangat penting guna menunjang pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah tersebut.

 

Alasan-alasan yang muncul atas tidak terjadinya kerja sama antara sekolah inklusif dengan sekolah khusus, khususnya dalam hal penyediaan guru pembimbing khusus di sekolah inklusif antara lain karena masalah kurangnya komunikasi. Di sisi lain masih terbatasnya jumlah guru di sekolah khusus menjadi faktor utama kesulitan sekolah khusus untuk membantu menyediakan guru pembimbing khusus di sekolah inklusif. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif kadang merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan sekolah khusus. Karena sekolah inklusif yang membutuhkan guru pembimbing khusus, maka seharusnya mereka proaktif untuk menghubungi sekolah khusus terdekat.


 

Kesulitan berkomunikasi dan keterbatasan anggaran sekolah menjadi masalah mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah inklusif. Kesulitan dan keterbatasan tersebut, seyogyanya tidak menghambat layanan pendidikan yang bermutu bagi peserta didik (peserta didik berkebutuhan khusus).

 

-          Masalah komunikasi, kekurangan sekolah inklusif karena tidak tahu bagaimana caranya menjalin kerja sama dengan sekolah khusus,

 

-          Kesulitan sekolah inklusif untuk menyediakan akomodasi bagi guru pembimbing khusus, khususnya dalam menyediakan ”pengganti transport” mereka.

 

Apa lagi pada saat ini telah keluar kebijakan pemerintah untuk ”menggratiskan” sekolah melalui penyaluran dana bantuan opresional sekolah, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Sehingga, jika sekolah melakukan kerja sama formal dengan sekolah yang diwujudkan dalam bentuk MoU atau naskah kerja sama lainnya, maka timbul kekhawatiran di pihak sekolah inklusif dalam hal penyediaan anggaran yang kemungkinan besar mengiringi MoU tersebut.

 

Dunia Usaha dan Dunia Industri

 

Peran DUDI dalam pengembangan pendidikan vokasional, tampak lebih nyata dibanding dengan di sekolah inklusif atau sekolah khusus. Di beberapa daerah kerja sama antara sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan DUDI sudah banyak terwujud. Di sekolah menengah kejuruan, seorang peserta didik belum bisa menyelesaikan studinya tanpa terjun langsung ke dunia usaha dan dunia industri. Penyelesaian studi dilengkapi dengan sertifiikat lulus mengikuti praktik kerja industri (Prakerin). Hal ini sangat berbeda dengan di sekolah inklusif atau sekolah khusus. Namun demikian, tidak berarti tidak pernah terjadi. Seiring dengan meningkatnya awareness masyarakat terhadap layanan pendidikan bagi peserta penyandang disabilitas, maka perhatian dunia usaha dan dunia industri pun semakin besar.

 

-          Dunia usaha

 

Selama ini antara dunia usaha dan dunia industri seperti tidak terpisah. Namun sebenarnya, keduanya bisa dibedakan. Dunia usaha berkaitan dengan berbagai usaha yang melibatkan fungsi-fungsi sosial dan ekonomi. Sedangkan dunia industri, merupakan jenis aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan produk suatu bahan atau benda. Dunia usaha meliputi usaha-usaha perdagangan, perbankan, dan berbagai usaha perkantoran lainnya.


 

Bersamaan dengan peningkatan kepedulian dan keinginan untuk melibatkan lebih banyak penyandang disabilitas dalam berbagai aktivitas bisnis (usaha). Pelibatan penyandang disabilitas dalam berbagai kegiatan usaha disesuaikan dengan potensi dan kekhasan mereka. Penyandang disabilitas yang lebih peka terhadap rasa, sering dijumpai di café-café atau restoran-restoran. Suatu saat kita memperoleh informasi tetang penyandang disabilitas yang mempu secara jeli membedakan kualitas rasa kopi di perusahaan kopi terbaik di dunia.

 

Dunia usaha memang sangat memungkinkan melibatkan berbagai penyandang disabilitas, meski memang harus memperhitungkan kondisi dari setiap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas netra, atau seseorang yang memiliki hambatan penglihatan, memungkinkan untuk bekerja di bidang jasa, misalnya sebagai penerima telpon atau operator jasa telekomunikasi. Seorang penyandang disabilitas rungu, atau seseorang yang memiliki hambatan pendengaran, memungkinkan bekerja sebagai akuntan, pembukuan, dan bidang administrasi lainnya. Karena biasanya, secara fisik dan intelektual, penyandang disabilitas rungu dan wicara tidak memiliki hambatan.

 

§          Dunia industri

 

Jika konsep antara dunia usaha dan dunia industri dipisah, maka dunia usaha lebih strategis untuk melibatkan para penyandang disabilitas dibanding dengan dunia industri. Dunia industri secara kasat mata merupakan dunia kerja yang memerlukan kegiatan fisik. Hal ini berkitan dengan proses produksi dari berbagai kebutuhan hidup manusia. Industri mobil misalnya, merupakan serangkaian produksi alat dan komponen atau bahan yang diperlukan untuk menyusun sebuah kendaraan hingga menjadi utuh. Tetapi, tidak berarti para penyandang disabilitas tidak akan mampu untuk mengikuti semua proses produksi di sebuah industri. Karena di bagian-bagian tertentu selalu diperlukan bagian-bagian lain yang sangat saling membantu. Misalnya, pada industri kendaraan bermotor, dipastikan diperlukan teaga administra untuk mengelola sumber daya pada industri tersebut. Penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan mobilitas dan gerak tidak terganngu bisa bekerja di bagian tersebut.

 

Seorang penyandang disabilitas rungu, atau seseorang yang memiliki hambatan pendengaran, memungkinkan bekerja sebagai operator mesin, misalnya operator mesin


 

pemotong kayu, operator mesin pencuci lantai dan lain sebagainya. Keterbatasan dalam pendengaran memungkinkan seorang penyandang disabilitas rungu bisa bekerja di ruangan yang berisik.

 

4.        Program Transisi

 

Program transisi merupakan program yang diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus menjelang berakhirnya masa pendidikan di satuan pendidikan atau madrasah. Program dirancang agar peserta didik dapat dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang sudah terbiasa dengan lingkungan madrasah yang inklusif akan mendapat keuntungan, karena selama masa pendidikan peserta didik yang bersangkutan selalu dan selamanya berada di lingkungan yang natural.

 

Menjelang berakhirnya keterlibatan peserta didik berkebutuhan khusus di madrasah, madrasah perlu menyediakan pembekalan khusus kepada yang bersangkutan. Pembekalan, tentu didasarkan pada hasil asesmen terakhir. Berbagai program pembekalan dapat dirancang oleh sekolah dengan melibatkan semua pihak, antara lain orang tua, terapis, dokter, perwakilan dunia usaha dan dunia kerja (industri), dan lain sebagainya.

 

Program transisi diarahkan pada penguasaan keterampilan tertentu yang didasarkan pada potensi dan passion peaerta didik yang bersangkutan. Bagi peserta didik yang memiliki potensi di bidang modeling bisa diarahkan untuk belajar menjadi model dengan bekerja sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang entertainment. Peserta didik yang memiliki passion di bidang pemograman komputer, artifisial intelegent, atau komputasi bisa bekerja sama dengan perusahaan atau seorang profesional di bidang tersebut.

 

Organisasi Masyarakat Sipil (Oms)

 

Pendidikan Inklusif memerlukan berbagai dukungan dari berbagai aspek, antara lain pendidik (yang mampu memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan) dan tenaga kependidikan yang relevan, seperti terapis, tenaga medis, dokter, psikolog, laboran, dan lain-lain. Untuk mencermati lebih jauh tentang latar belakang, potensi, dan kondisi khusus pada peserta didik, sekolah perlu mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa


 

dilakukan, yaitu asesmen perkembangan dan asesmen akademik. Selama ini, kebutuhan sekolah untuk melakukan asesmen kepada peserta didik berkebutuhan khusus sangat sulit. Hal ini disebabkan karena sebagian besar sekolah tidak memiliki tenaga ahli utnuk melakukan hal tersebut.

 

Upaya untuk memenuhi salah satu pemenuhan layana pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus, seperti layanan asesmen, sekolah harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang dianggap kompeten. Antara lain dengan melakukan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil (OMS), organisasi profesi tertentu, rumah sakit, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kerjasama bisa dilakukan dengan berbagai lembaga, baik lembaga nasional maupun lembaga internasional. Lembaga internasional yang menjadi mitra pengembangan pendidikan inklusif terdiri atas UNESCO, IBE, USAID, WHO, Helen Keller International, Perkin International, dan lain sebagainya.

 

Berbagai LSM selama ini banyak yang telah menjadi mitra dalam pengembangan pendidikan inklusif di negeri ini. LSM-LSM ini biasanya terdapat di berbagai provinsi atau kabupaten/kota. Artinya di setiap propinsi atau kabupaten/kota LSM yang membantu pengembangan pendidikan inklusif bisa berbeda-beda.

 

Asesmen ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru di sekolah. Sedangkan asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk mengetahui seberapa besar kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

 

Pada umumnya, hubungan kerja sama antara sekolah-sekolah swasta dengan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang tumbuh kembang anak dan kesehatan anak lebih intensif dibandingkan dengan sekolah-sekolah inklusif negeri. Hal ini disebabkan karena orang tua anak berkebutuhan khusus di sekolah swasta sangat peduli terhadap anak-anak mereka. Termasuk kesediaan mereka untuk membayar lebih besar dari pada yang dibayarkan oleh orang tua dari anak-anak lainnya.


 

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sekolah sangat dimungkinkan menurut undang-undang. Sekolah sedapat mungkin harus melibatkan masyarakat dalam mengelola pendidikan di sekolah tersebut. Baik dalam pengelolaan yang bersifat akademik maupun non akademik. Namun demikian peran serta masyarakat tersebut harus dinyatakan secara jelas dalam bentuk naskah kerja sama. Hal ini diperlukan agar kerja sama antara sekolah dan masyarakat nampak jelas.

 

Masalah kerja sama ini, merupakan kekurangan mendasar di sekolah inklusif hampir semua sekolah inklusif. Sekolah inklusif hampir tidak pernah melakukan kerja sama dengan masyarakat luar sekolah secara jelas dalam bentuk naskah kerja sama tertulis.

 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah memberikan komentarnya

Penerapan Multi-Factor Authentication (MFA) pada Platform ASN Digital BKN

  Penerapan Multi-Factor Authentication (MFA) pada Platform ASN Digital BKN Seiring meningkatnya ancaman siber seperti phishing, pencurian i...