Konsep Pendidikan Inklusif
1.
Hakikat Pendidikan Inklusif
Pada awalnya pendidikan khusus menerapkan pembelajaran model
“segregasi” yaitu yang menempatkan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah
khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB), terpisah dari teman sebayanya. Dengan kata
lain, di sekolah ini Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dipisahkan dari sistem
sekolah yang diselenggrakan secara reguler. Misalnya, Sekolah Luar Biasa (SLB)
mulai jenjang Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB), Sekolah Menengah Luar Biasa (SMPLB), sampai Sekolah Menengah Atas Luar
Biasa (SMALB). Sekolah dengan model segregasi tersebut menerima siswa dengan
hambatan yang sama, maka ada Sekolah Luar Biasa Tunanetra, Tunarungu,
Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras
Dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan.
Kerugian tersebut sebagaimana pandangan Reynolds dan Birch (1988) antara lain
bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus
mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan
kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak
logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan
masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, mereka dipisahkan dengan masyarakat pada
umumnya. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif
relatif mahal.
Berbeda halnya dengan TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB menampung
berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, ataupun
hambatan majemuk. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kurikulum, metode mengajar,
sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan,
model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator.
Akan tetapi, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi bisa jadi pada
kondisi tertentu merugikan peserta didik.
Dengan model segregatif tersebut, Depdiknas (2007:1)
menjelaskan bahwa tidak menjamin kesempatan anak berkebutuhan khusus
mengembangkan potensi secara optimal. Hal ini mengingat, kurikulum dirancang
berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Di samping itu, peserta didik tidak
disiapkan untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal. Mereka
dipisahkan dengan masyarakat normal. Dengan demikian, perkembangan emosional
dan sosialisasi siswa kurang luas karena faktor lingkungan
menjadi terbatas.
Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan
kesepian dan perasaan rendah diri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kurangnya
kedekatan dan stimulasi dapat pula mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku
stereotip dan stimulasi diri. Ini menambah kondisi mereka dan membatasi
perkembangan mereka lebih lanjut.
Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif,
pertengahan abad 20 muncul model “mainstreaming”. Model mainstreaming
ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak
berkebeutuhan khusus. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas
(kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang
hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak
berbatas (the least restrictive environment), artinya anak berkebutuhan
khusus harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut
potensi dan jenis/tingkat kemampuannya.
Para ahli berbagai disiplin ilmu, simpatisan, dan kelompok
penyandang disablitias melakukan berbagai usaha perbaikan untuk menyebutkan
secara spesifik orang penyandang disabilitas dan menekankan bahwa semua
penyandang disabilitas–tanpa memandang tingkat keparahannya–memiliki hak atas
pendidikan. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut memperoleh hasil, maka pada
Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 memuat instrumen-instrumen hak untuk
memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak
mendiskriminasikan penyandang disabilitas dan anak berebutuhan khusus lainnya.
Dalam Konvensi PBB tentang Hak
Anak 1989 tersebut telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara
(Amerika Serikat dan Somalia) suatu instrumen yang secara sah mengikat hak
untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum. Bahkan Pasal 28
menyatakan bahwa pendidikan dasar “wajib dan bebas biaya bagi semua”.
Perkembangan sejarah pendidikan inklusif di Indonesia mulai
mengembangkan pendidikan inklusif tahun 2000. Pada awalnya pendidikan bagi anak
berkebutuhan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan sebagaiman dikutip
dari http://www.ditplb.or.id/2006, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga
pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis hambatan yang sama,
sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB
Tunalaras, dan SLB Autis.
Sedangkan SDLB menampung
berbagai jenis hambatan anak, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis ataupun hambatan
majemuk.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten.
Padahal anak-anak dengan hambatan tersebar hampir di seluruh daerah
(Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian
anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya
lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara
kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima
karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini
dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi
mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Perkembangan selanjutnya
diawali dengan penyelenggaraan Konvensi Nasional pada 8 s.d. 14 Agustus 2004.
Konferensi tersebut diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Pendidikan
Nasional, Direktorat PLB, Braillo Norway, dan UNESCO Jakarta yang melahirkan
Deklarasi Bandung untuk menuju Indonesia pada pendidikan inklusif. Kelanjutan
dari konvensi tersebut, tahun 2005 di Bukittinggi dilaksanakan Simposium
Internasional. Tujuan dari simposium tersebut adalah upaya mengupayakan agar
hak-hak anak yang mengalami hambatan belajar. Hasil rekomendasi Bukittinggi
tersebut yaitu perlu terus ditumbuhkembangkan pendidikan inklusif untuk
menjamin agar semua siswa memperoleh pendidikan yang layak serta berkualitas.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik
bersama-sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan
dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah
satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama
ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya
yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
2.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan Inklusif
Menurut Stubbs (Depdiknas, 2007:23) mendefinsikan bahwa
‘inklusif atau pendidikan inklusif bukan nama lain untuk pendidikan kebutuhan
khusus. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam
mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah’.
Definisi pendidikan inklusif yang
dirumuskan
dalam Seminar Agra pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23
negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.
-
lebih luas daripada pendidikan
formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan
informal.
-
mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
-
memungkinkan struktur, sistem dan
metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
-
mengakui dan menghargai berbagai
perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, status HIV/AIDS dll.
-
merupakan proses yang dinamis yang
senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.
-
merupakan bagian dari strategi yang
lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif.
Definisi berikutnya dikemukakan oleh Sapon-Shevin dan
O’Neil, 1994 (Dir. Pem. SLB, 2007:5) yang dimuat pula dalam http://bamperxii.blogspot.com
menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di
kelas biasa bersama teman-teman seusianya’. Perkembangan berikutnya pada bulan Maret
tahun 1990 di Thailand dicetuskan Deklarasi Dunia Jomtien tentang Education
For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. EFA melangkah lebih jauh
dibandingkan dengan Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang ‘Universalisasi
Akses dan Mempromosikan Kesetaraan’. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan
pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan
eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak
pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan
kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang
disabilitas. Walaupun istilah inklusif tidak digunakan di Jomtien, terdapat
beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang
dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan
umum.
3.
Landasan Pendidikan Inklusif
Kebijakan implementasi pendidikan inklusif bukan sebatas
pada pertimbangan kemanusiaan semata, akan tetapi memilki landasan yang kuat.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011) menjelaskan ada 3 landasan
penyelenggaran pendidikan inklusif, yakni landasan filosofis, landasan yuridis,
dan landasan empiris.
a.
Landasan Filosofis
Terkait
dengan landasan filosofis, Abdulrahman dalam Kemdikbud (2011) mengemukakan
bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita yang didirikan atas
fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini
sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun
horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi.
Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik,
kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya,
sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras,
bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan
sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi
ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi
dengan saling membutuhkan.
Bertolak
dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak
berkebutuhan khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya
perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu
berkebutuhan khusus pastilah dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu.
Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik yang satu dengan yang
lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam
kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem
pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta
didik yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih
asuh dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan
sehari–hari.
b.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis tentang
pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa implementasi pendidikan
inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Implementasi pendidikan
inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau yuridis yang terkait. Dalam
Undang-Undang Dasar Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2)
dalam pasal yang sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan
perlindungan anak, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, padal Pasal 48, menyatakan bahwa
“Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal
9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari Undang-Undang
tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan
Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan”.
Dalam konteks pendidikan
nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas.
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2):
“Warga negara yang memiliki hambatan fisik, emosional, mental, intelektual
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Dalam hal aksesibilitas
pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena hambatan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15
alinea terakhir dijelaskan bahwa “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah”. Pasal 45 ayat (1) “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual,
sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
c.
Landasan Empiris
Terkait
dengan landasan empiris, hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi dan
penempatan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah, kelas, atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti merekomendasikan pendidikan
khusus secara segregatif hanya diberikan secara terbatas berdasarkan
hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982).
Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan
Baker (1994) terhadap 13 buah
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak
positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan
khusus dan teman sebayanya.
Selain itu, Depdiknas (2007)
mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif mendapatkan dukungan
dari berbagai event atau moment, baik internasional maupun
nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration
of Human Rights), tahun 1948;
2)
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child),
Tahun 1989;
3)
Konferensi Dunia tentang Pendidikan
untuk Semua (World Conference on Education for All) Tahun 1990;
4)
Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993
tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (The Standard Rules on
The Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities);
5)
Pernyataan Salamanca tentang
Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on Inclusive Education)
Tahun 1994;
6)
Komitmen Dakar mengenai Pendidikan
untuk Semua (The Dakar Commitment on Education for All) Tahun
2000;
7)
Deklarasi Bandung Tahun 2004 dengan
komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusi”;
8)
Rekomendasi Bukittinggi Tahun 2005,
menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah terhadap anak semestinya
dipandang sebagai:
-
Sebuah pendekatan terhadap
peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa
strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk
semua;
-
Sebuah cara untuk menjamin bahwa
semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam
komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari programprogram untuk
perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah,
terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk
memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi
dan eksklusi; dan
-
Sebuah kontribusi terhadap
pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu
semua warga negara.
Merujuk pada uraian di atas,
jelaslah bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dukungan secara
internasional maupun nasional sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan yang
ditujukan untuk menjamin terlayaninya hak-hak pendidikan individu dengan
memperhatikan kebutuhan khusus setiap peserta didik.
4.
Prinsip Pendidikan Inklusif
Dalam upaya menciptakan suasana
pembelajaran yang kondusif di sekolah inklusif, Depdiknas (2007) telah
merumuskan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai
berikut:
a.
Prinsip motivasi, guru harus
senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan
semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b.
Prinsip latar atau konteks, guru
perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber
belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari
pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu
bagi anak.
c.
Prinsip hubungan sosial, dalam kegiatan
belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran
d.
mengoptimalkan interaksi antara guru
dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta
interaksi banyak arah.
e.
Prinsip individualisasi, guru perlu
mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik
dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran,
kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap
kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang
sesuai.
Konsep yang paling mendasar
dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar anak dapat belajar bersama,
belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan dalam tiga prinsip, yaitu:
1)
Setiap anak, termasuk dalam
komunitas kelas atau kelompok.
2)
Hari sekolah diatur sepenuhnya
melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif dengan perbedaan pendidikan dan
kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas hati.
3)
Guru bekerjasama dan mendapat
pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu serta
keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan keanekaragaman dan
perbedaan individu dalam pengorganisasian kelas.
Sekolah
seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini
seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak
dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik,
etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain
yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).
Lynch, sebagaimana disebutkan
oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013) mengajukan tujuh prinsip menuju
terwujudnya UPE (Universal Primary Education). Ketujuh prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Prinsip
kesatu: Perkembangan Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan. Dengan
adanya perkembangan kearah UPE, Sekolah Dasar harus merespon keragaman peserta
didik secara luas, baik itu dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan budaya,
pola tingkah laku, maupun kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Untuk itu
perlu dilakukan perubahan dalam aturan perundang-undangan, organisasi dan
pelaksanaannya serta perubahan filosofi kearah yang inklusif yang memandang
bahwa semua anak mempunyai hak yang sama untuk pendidikan dasar, dan setiap
anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda.
b.
Prinsip kedua: Komitmen pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat
Pada Anak (Child-
Centered).
Prinsip kedua: pada dasarnya mengungkapkan tentang inovasi pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus. Prinsip ini menghendaki adanya perubahan
pendekatan dalam pendidikan dari pola tradisional menjadi pola pendekatan pendidikan
yang berpusat pada anak (child centered patern). Asumsinya bahwa setiap
anak memiliki kapasitas dan kebutuhan yang berbeda antara individu yang satu
dengan individu yang lainnya, sehingga pola pendidikan tradisional (yang
menggunakan pendekatan klasikal, berpusat pada guru, berdasarkan pada materi
hapalan, dan tidak mempertimbangkan gaya belajar dan latar belakang peserta
didik) dianggap tidak relevan dengan kondisi anak berkebuthan khusus.
c.
Prinsip ketiga: Penekanan pada
Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas. Agar pendidikan dasar lebih efektif
dalam melayani peserta didik yang beragam, sekolah harus responsif terhadap
kebutuhan para peserta didik serta kebutuhan guru dalam strategi mengajar, juga
kemampuan untuk meningkatkan kurikulum sehingga dapat menyampaikan program
pendidikan yang sesuai untuk semua anak. Lebih penting dari hal tersebut di
atas adalah perlunya perubahan filosofis dari yang berorientasi
tradisional menuju pelaksanaan pendidikan berorientasi pada keberhasilan,
fleksibilitas, dan akomodatif terhadap keragaman, yaitu paradigma yang menerima
konsep dapat dididik (universal educability), dimana semua anak dapat
belajar. Hal ini mengimplikasikan dua hal, pertama, mengatasi adanya
fragmentasi anak dengan kebutuhannya, kedua, mengatasi gejala kegagalan di
sekolah dengan etos keberhasilan.
d.
Prinsip keempat: Memperkuat Hubungan
Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus. Kepercayaan akan perlunya mengkaitkan
antara sekolah reguler dengan sekolah khusus secara lebih erat lagi merupakan
implikasi dari istilah The Reguler Education Initiative (REI).
REI mengajak sistem pendidikan reguler untuk bertanggung jawab penuh
terhadap keberhasilan semua peserta didik dan juga memberikan saran bahwa
pendidikan khusus hendaknya bertindak sebagai sumber daya bagi pendidikan
reguler. REI mengimplikasikan adanya penerimaan terhadap universal
educability dan penyebarluasan etos keberhasilan untuk menggantikan sindrom
kegagalan yang ada pada sebagian besar sekolah dasar.
e.
Prinsip kelima: Komitmen untuk
Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat. Di bawah paradigma baru untuk
pendidikan dasar, sekolah dipandang sebagai bagian integral dari lingkungan
masyarakat. Guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat semuanya terlibat
dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga tanggung jawab atas
kemajuan anak menjadi tanggung jawab bersama. Kerjasama dan pengkoordinasian
antara fasilitas pendidikan khusus, guru, dan sekolah reguler haruslah menjadi
kegiatan yang bisa dilakukan sebab tidak ada satu sistem yang dapat memenuhi
semua kebutuhan anak.
f.
Prinsip keenam: Pengakuan oleh para
profesional tentang keragaman yang lebih besar. Pembekalan kepada calon guru
dengan memberikan bermacam-macam cara pembelajaran, bentuk-bentuk pendekatan yang
fleksibel dan kooperatif sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran para
profesional akan adanya keberagaman cara belajar yang dimiliki oleh peserta
didik. Di India, guru diberikan dorongan untuk menggunakan pendekatan yang
lebih fleksibel dan membantu guru tersebut agar mampu bekerja secara kooperatif
dengan guru lainnya. Di India juga telah digunakan konsep multy category
resourch teacher, dimana seorang guru sebagai narasumber diberi tugas untuk
membantu guru lain dalam berbagai kasus pada anak-anak berkebutuhan khusus.
g.
Prinsip ketujuh: Komitmen terhadap
pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan perkembangan pada
pendidikan berhubungan dengan konsep community shared responsibility.
Tanggung jawab bersama merujuk pada hubungan sekolah dengan konteks
masyarakatnya dan mengasumsikan bahwa masyarakat dan organisasi perlu
bekerjasama untuk mendidik anak. Pendekatan holistik dan perkembangan
didasarkan pada asumsi bahwa:
1)
Ada banyak domain dalam kehidupan
anak yang berpengaruh pada performa pendidikan di sekolah.
2)
Ada banyak aspek dari perkembangan
danak yang akan menentukan sejauh mana anak akan dapat mengambil manfaat dari
pendidikan.
3)
Pengaruh cacat dan kondisi hidup
yang lain dapat bersifat komulatif dan perlu diberikan intervensi sedini
mungkin.
4)
Guru dan profesional yang lain
sama-sama bertanggung jawab untuk pemeriksaan anak dalam melihat adanya masalah
nutrisi yang ada, untuk membuat referensi dan pengambilan tindakan yang tepat.
5)
Guru bertanggung jawab terhadap
semua anak dan perkembangannya, bukan hanya kognitifnya saja.
Dalam sistem sekolah yang mengaplikasikan prinsip-prinsip
perkembangan yang holistik, layanan pendidikan memperhatikan sejumlah faktor
yang berpengaruh terhadap pencapaian pendidikan, termasuk kesehatan dan keadaan
fisik, keadaan nutrisi, tuntutan kerja dan lain-lainnya.
Sekolah Ramah Anak (Pengelolaan Lingkungan Fisik)
Sekolah Ramah Anak (SAR) adalah
sekolah/madrasah yang aman,
bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin,
memenuhi, menghargai hak hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan,
diskriminasi dan perlakuan salah lainya serta mendukung partisipasi anak
berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik,
kognisi dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang
memerlukan pendidikan khusus dan/atau pendidikan layanan khusus, terutama dalam
perencanaan kebijakan pembelajaran dan pegawasan.
Mewujudkan
sekolah ramah anak memerlukan pengembangan dalam hal berikut:
1.
Aksesibilitas di Lingkungan Sekolah
Kemudahan Aksesibilitas di lingkungan sekolah inklusif ramah
anak merupakan salah satu indikator kualitas layanan publik, khususnya bagian
dari lingkungan sekolah yang ramah anak. Penyediaan desain lingkungan yang
inklusif ramah anak, termasuk kemudahan bagi ABK dan atau penyandang
disabilitas pada umumnya bahkan telah dituangkan dalam konvensi internasional.
Konvensi PBB tentang Hak
Disabilitas (Convention on The Rights of People with Disability) menyatakan
bahwa disain universal adalah desain untuk produk, lingkungan, program,
dan layanan yang dapat digunakan bagi semua orang semaksimal mungkin tanpa
memerlukan desain tambahan atau desain khusus. “Desain universal” tidak
bertujuan untuk meniadakan alat bantu bagi disabilitas tertentu jika memang
mereka membutuhkan.
Tiga belas hal pertama yang
sering kita temui pada bangunan umum adalah tangga yang harus dijajaki sebelum
bisa masuk ke gedung. Tangga sering kali menjadi penghambat pertama bagi banyak
anak dan orang dewasa dalam mengakses sekolah atau bangunan umum lainnya.
Secara langsung hambatan tersebut juga menghalangi mereka untuk menikmati
layanan-layanan yang ditawarkan oleh fasilitas ini. Terkadang tangga hanya
memilki dua atau tiga anak tangga namun terdapat pula tangga yang memilki
begitu banyak anak tangga. Beberapa tangga sudah memiliki pegangan rambat di
kedua sisinya guna meringankan langkah pengguna, tapi kebanyakan belum
memilikinya.
Dengan demikian semua bangunan umum harus menyediakan
beberapa cara alternatif untuk masuk kedalamnya. Lantai yang landai (ramp)
umumnya paling mudah dan relatif murah untuk dibangun (setidaknya pada bangunan
1 lantai) dan bermanfaat bagi banyak orang. Ramp seharusnya diadakan di
semua bangunan sekolah dan bangunan umum lainnya. Ketika bangunan sekolah baru
dirancang dan disain sedang dikembangkan, harus dipastikan bahwa semua bagian
bangunan tersebut harus dapat diakses oleh semua orang. Ramp dan akses jalan
lainya harus didesain sebagai satu kesatuan sehingga tidak menjadi akses
terpisah bagi anak, guru, orang tua dengan disabilitas, wanita hamil, dan
manula. Sebaliknya strategi desain seperti ini akan menghadirkan akses jalan
dengan berbagai alternatif yang menarik bagi semua penggunanya. Ruang,
pencahayaan, bahan dan warna yang digunakan mempengaruhi pengalaman
pembelajaran yang kita dapatkan. Sekolah dapat menggunakan dengan baik
elemen-elemen ini dalam menciptakan bangunan dan lingkungan yang mencerminkan
kebutuhan dan keinginan para siswa dan stafnya. Sayangnya, sekolah sering
dirancang dan dibangun tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat
penggunanya (Ian Kaplan, 2007).
Karena itu, desain universal tidak “hanya” terkait dengan
pengadaan akses, tetapi juga dengan pengembangan lingkungan belajar yang lebih
inklusif dan ramah di sekolah. Sekolah yang dibangun berdasarkan
prinsip-prinsip desain universal akan lebih efektif dalam memberikan layanan
pembelajaran karena sekolah ini memungkinkan semua anak untuk belajar,
berkembang, dan berpartisipasi, bukan sebaliknya “membuat anak menjadi tidak
mampu” dengan menciptakan berbagai hambatan bagi perkembangan dan partisipasi
mereka.
Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 8 tahun 2016, pasal 2 menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan salah satu
pelaksanaan dan pemenuhan hak disabilitas. Penjaminan hukum layanan
aksesibilitas tersebut salah satunya dilakukan dalam rangka memastikan
pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak
penyandang disabilitas untuk mengembangkan diriserta mendayagunakan seluruh
kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan
serta, berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam
segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Penerapan dan
jaminan hak yang digariskan dalam UU nomor 8 tahun 2016 tersebut memiliki
urgensi tinggi terutama kaitanya dengan upaya penyelenggaraan pendidikan
inkusif yang telah memiliki kekuatan hukum dengan diundangkannya permendiknas
no. 70 tahun 2009.
2.
Sarana Prasarana dan Penataan Ruangan
Sarana dan prasarana pendidikan
merupakan fasilitas pendidikan yang sangat diperlukan dalam proses belajar
mengajar di lembaga pendidikan (Prasojo, 2015:2). Pendapat lain dikemukakan
oleh Muhammad Joko Susilo (2008;65), sarana pendidikan adalah peralatan dan
perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan
khususnya proses belajar mengajar. Adapun yang dimaksud dengan prasarana
pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya
proses pendidikan atau pengajaran. Dari beberapa pendapat tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa sarana prasarana pendidikan merupakan segala jenis
fasilitas baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang mendukung proses
pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien sehingga dapat
meningkatkan kualitas pendidikan.
Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat
keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan
pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu. Pada
hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran
perlu dilengkapi aksesibilitas bagi kelancaran mobilisasi ABK, serta media
pembelajaran yang sesuai dengan ABK (POS Pendidikan Inklusif, 2007).
a.
Prinsif Desain Universal Layanan Pengembangan
Aksesibilitas Sarana dan Prasarana SPPI
Terdapat tujuh prinsip desain universal pengembangan
aksesibilitas sarana dan prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah
anak. Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut:
Prinsip
1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan
bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang cacat. Penyediaan aksesibilitas
bagi semua anak di sekolah dan di dalam sarana dan prasarana sekolah dapat
diwujudkan melalui langkah yang sederhana dan hemat biaya.
Prinsip
2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir
beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.
Prinsip
3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua
pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan,
kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.
Prinsip
4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan
informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki
perbedaan pada tingkat fungsi dan kondisi alat indera. Terkait pembelajaran di
sekolah, maka sebaiknya buku pembelajaran dicetak dengan tinta dan juga
Braille. Buku cetak tinta sebaiknya berkualitas baik dan memiliki paduan warna
yang kontras. Minimal ukuran huruf yang digunakan (font) adalah 12. Jika buku
dicetak dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih kecil, maka buku cetak besar
juga harus disediakan untuk anak penyandang low vision.
Prinsip 5 : toleransi
untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan
konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan
dalam penggunaannya.
Prinsip 6 : tidak
memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya. Sebuah disain harus dapat
digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada
penggunanya.
Prinsip 7 : ukuran dan ruang
yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain ditujukan untuk
memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati,
mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan
mobilitas pengguna yang berbeda-beda.
Contoh penerapan universal disain:
Ruang kelas yang fleksibel bagi
semua penggunanya (kursi dapat dipindahkan), bangunan dengan lantai yang rata,
jalan masuk tanpa tangga, akses masuk pintu yang cukup lebar, tombol yang bisa
dikenali melalui indra peraba, pengaturan pencahayaan yang sesuai, rambu-rambu
atau pelabelan yang jelas, dll. (Unesco, 2009)
b.
Saran Praktis untuk Menciptakan Aksesibilitas di Ruang Kelas
-
Pintu harus mudah dibuka dan ditutup serta tidak memerlukan
banyak tenaga.
-
dalam membukanya (secara
berangsur-angsur pintu yang sudah tua sebaiknya diganti). Sebaiknya gunakanlah
pintu geser (sliding door) atau jenis pintu lain yang tidak menggunakan
daun pintu agar tidak menghalangi akses bagi pengguna kursi roda. Pintu harus
dibuat selebar mungkin agar mudah dilalui kursi roda.
-
Sediakan ramp bagi pengguna
kursi roda (kelandaian ramp sebaiknya tidak terlalu curam, ukuran ideal
1: 12 dengan penambahan panjang 12cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm. Standar
minimum: 1:10 dengan penambahan panjang 10 cm dalam setiap kenaikan tinggi 1 cm
dan lebar ramp adalah 120 cm. Sedangkan ukuran kelandaian ideal adalah
1: 20 dengan lebar 95 cm. (dikutip dari “Aksesibilitas Fisik” diterbitkan oleh Arbeiter
Samariter Bund (ASB).
Petunjuk: Pertimbangkanlah
jarak antar meja di kelas guna memudahkan mobilitas kursi roda. Lebar
kursi roda standar adalah 80 cm, agar dapat dilalui kursi roda maka jarak antar
meja harus lebih dari 80 cm. Sebaiknya sediakan jalur pemandu di lorong
sekolah sebagai peringatan
•keberadaan obyek tertentu seperti pintu yang mungkin saja sedang terbuka
ketika anak melewati lorong tersebut. Hal ini akan membahayakan siswa terutama
bagi penyandang tunanetra. Saklar lampu sebaiknya diletakkan di tempat yang
mudah di jangkau oleh semua anak dengan mempertimbangkan kemampuan jarak capai
atau tinggi anak yang berbeda-beda.
-
Tempatkan stop kontak dan saluran
listrik pada satu posisi yang sama di setiap kelasnya dan sebaiknya diletakkan
di atas meja dekat saklar sehingga memudahkan semua anak dalam penggunaannya
terutama anak tunanetra dan disabilitas fisik.
-
Perhatikan standar keamanan saat
pemasangan segala jenis instalasi listrik, utamakan penggunaan perangkat yang
memiliki fitur keamanan bagi anak. Misalnya dengan menggunakan stop kontak
tertutup untuk mencegah anak memasukan jarinya ke dalam stop kontak yang dapat
mengakibatkan anak terkena sengatan listrik.
-
Gunakan warna-warna kontras untuk
menciptakan lingkungan yang aksesibel dan ramah terhadap pembelajaran .
-
Suara atau tingkat kegaduhan di
dalam kelas dapat diminimalisir dengan menggunakan gorden, dekorasi dinding
dari bahan tekstil, dan bahan peredam suara lainnya.
-
Kodifikasi (penggunaan kode) warna
sebaiknya digunakan untuk membedakan ruang kelas. Penerapan kodifikasi ini akan
memudahakan siswa terutama anak penyandang low vision, tunagrahita,
lamban belajar dan lain-lain. Penerapan berbagai warna juga akan membuat kesan
sekolah yang ceria dan menyenangkan bagi semua.
-
Setiap pintu sebaiknya dilengkapi
dengan simbol penanda atau keterangan dalam huruf braille sebagai petunjuk bagi
anak dengan hambatan penglihatan low vision atapun totally blind.
Petunjuk: Setiap bagian bangunan
sekolah dan materi pembelajaran sebaiknya bersifat aksesibel sejak awal
perancangan maupun pembangunannya. Dengan demikian penyediaan aksesibilitas
akan lebih hemat biaya bila dibandingkan jika penyesuaian aksesibilitas dibuat
setelah bangunan atau materi pembelajaran siap pakai.
-
Jika di sekolah hanya lantai 1 saja
yang aksesibel, maka pastikan pula semua kelas yang di dalamnya terdapat siswa
tunadaksa (misal, menggunakan kursi roda/kruk) ditempatkan hanya di lantai 1
saja.
-
Halaman sekolah atau arena bermain
anak, tidak seharusnya menjadi area parkir karena dapat membahayakan semua
warga sekolah. (Unesco, 2009)
c.
Prinsip Penataan Ruang Kelas Inklusif
Penataan ruang kelas dalam seting sekolah inklusif bertujuan
untuk memudahkan aksesibilitas dalam aktivitas pembelajaran bagi semua peserta
didik, termasuk di dalamnya PDBK. Berikut ini prinsip penerapan ruang kelas
dari kelas rendah sampai kelas tinggi sekolah dasar inklusif yang mengusung
tema ramah anak.
1)
Berpusat Pada Anak (Child Centered)
Penataan ruang kelas harus memungkinkan anak untuk bergerak,
berinteraksi, berdiskusi, dapat mengakses alat bahan secara mandiri sesuai
dengan kebutuhannya.
2)
Learning Centers (pembagian Zona)
Area-area
dimaksudkan sebagai sumber belajar bagi anak yang sebisa mungkin ditata sesuai
dengan apa yang sedang dipelajari (tema Pembelajaran)
3)
Menarik dan Menantang
Penataan dibuat
sedemikian rupa agar menarik dan
kreatif sehingga
memunculkan
rasa senang bagi siswa dan mampu memberikan insfirasi. Penataan kelas juga
harus menantang hingga mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menemukan, dan
berpikir.
4)
Estetis
Selain harus menarik dan menantang, penataan ruang kelas
juga harus memperhatikan prinsip estetika. Penataan kelas harus tetap rapi,
bersih dan mampu memunculkan nilai seni. (Oktina, 2014)
d.
Sarana dan Prasarana Umum yang Dibutuhkan di Sekolah
Inklusif
Sarana dan prasarana umum yang dibutuhkan di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif relatif sama dengan di sekolah reguler pada
umumnya, yaitu meliputi: ruang kelas, ruang praktikum (laboratorium), ruang
perpustakaan, ruang serbaguna. ruang bimbingan konseling. ruang usaha kesehatan
sekolah, ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha, lapangan olahraga, toilet,
ruang ibadah, ruang kantin, ruang sumber (ruang
ini
merupakan kekhususan pada sekolah inklusif yang membedakan dengan sekolah
lainnya. Ruang sumber ini dilengkapi media khusus yang diperlukan bagi ABK).
e.
Media Pembelajaran dan Peralatan Khusus
Mengapa sarana-prasarana, media
pembelajaran, dan peralatan khusus bagi ABK dalam seting sekolah inklusif
sangat penting? Sekolah Penyelenggaran Pendidikan Inklusif (SPPI) adalah sekolah
yang menyediakan layanan pendidikan bagi semua peserta didik reguler maupun
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) di kelas yang sama. SPPI merupakan
tempat pendidikan untuk ABKguna mendapat perlakuan secara proporsional dari
semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Konsekuensi dari
kondisi SPPI menuntut adanya penyesuaian strategi pembelajaran dalam upaya
melaksanakan kurikulum yang telah disahkan secara nasional.
Kehadiran PDBK menuntut sekolah
untuk menyiapkan sarana-prasarana khusus sesuai dengan karakteristik peserta
didik dan strategipembelajaran oleh guru yang bervariasi. Penyediaan
sarana-prasarana dan media pembelajaran tidak perlu menuntut adanya biaya
tinggi dan sulit untuk mendapatkannya. Berbekal kreativitas, para guru dapat
membuat dan menyediakan sumber belajar, media belajar yang sederhana dan murah.
Misalnya, guru dan peserta didik memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas yang
banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, bekas kaleng minuman,
mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita.
Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara
percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar, media
belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan
sebagai sumber belajar, media belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya
yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat
dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan
belajar peserta didik. Tidak sedikit sekolah-sekolah memiliki halaman atau
pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan
tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan
menjadi sumber belajar/media pembelajaran yang sangat berharga bagi peserta
didik (Direktorat pembinaan Pendidikan Khusus dan layanan Khusus, 2012).
Sarana dan prasana dalam bentuk peralatan khusus sangat
menunjang bagi layanan pembelajaran berkualitas. Sarana dan prasarana yang
dibutuhkan ABK di sekolah inklusif tentunya sangat bervariasi sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan anak.
Layanan pembelajaran yang berkualitas untuk peserta didik
tunagrahita misalnya membutuhkan dukungan sejumlah media pembelajaran dan
peralatan khusus seperti:a) alat asesmen, b) media untuk latihan sensori
visual, c) media untuk latihan sensori perabaan, d)media atau alat bantu untuk
sensori pengecap dan perasa, e) media dan peralatan khusus untuk latihan bina
diri, f) media untuk memperkenalkan konsep dan simbol bilangan, g) media dan
peralatan khusus untuk pengembangan kreativitas, daya pikir dan konsentrasi, h)
alat pengajaran bahasa, dan i) latihan perseptual motor.
Pengelolaan Lingkungan Non Fisik
Pada bagian ini akan dibahas
tentang konsep sekolah ramah anak. Selanjutnya kita bahas situasi dan suasana
pembelajaran yang inklusif ramah anak, Pengelolaan kelas (Classroom management),
pengembangan kerjasama dengan pihak lain, pengembangan sikap/karakter penerimaan
terhadap peserta didik, penerapan strategi tutor teman sebaya, dan pengelolaan
peserta didik.
1.
Konsep Dasar Sekolah Ramah Anak dalam Konteks Pendidikan
Inklusif
Konsep Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai program
untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan berbudaya lingkungan
hidup, yang mampu menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak dari kekerasan,
diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya, selama anak berada di satuan
pendidikan, serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan,
pembelajaran dan pengawasan. Secara konseptual Sekolah Ramah Anak adalah satuan
pendidikan yang mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak, dan
perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya
serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan,
pembelajaran, dan mekanisme pengaduan (Permen PP dan PA Nomor 8 Tahun 2014).
Sekolah Ramah Anak adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau,
inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi dan psikososial anak
perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus
dan/atau pendidikan layanan khusus.
Secara umum, prinsip utama sekolah ramah anak adalah bahwa
anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Pembentukan dan Pengembangan Sekolah ramah anak
(SRA) didasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan anak,
kelangsungan hidup, perkembangan, penghormatan terhadap pandangan anak, dan
pengelolaan yang baik. (Direktorat Pembinaan Guru Dikmen dan Diksus, 2019)
2.
Situasi dan Suasana Pembelajaran
Situasi dan suasana pembelajaran yang ramah anak dan
dilandasi nilai-nilai kebersamaan merupakan bagian penting dalam konteks
akomodasi lingkungan non fisik di sekolah inklusif. Untuk mewujudkan
nilai-nilai kebersamaan dalam seting sekolah inklusif, diperlukan suatu upaya
untuk menginternalisasikan nilai-nilai kebersamaan (Togetherness Values)
dalam aktivitas pembelajaran maupun kegiatan di luar pembelajaran, seperti kegiatan
ekstrakurikuler, bahkan dalam momen bermain bebas saat waktu istirahat. Dalam
konteks ini, sekolah dituntut untuk dapat memberikan makna terjadinya proses
internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada setiap aktivitas peserta didiknya.
Manakala nilai-nilai kebersamaan dapat di internalisasikan
di SPPI, maka sekolah inklusif akan memberikan peran sebagai agen perubahan
terwujudnya masyarakat inklusif sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni
masyarakat yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Situasi dan suasana pembelajaran yang
dibangun diatas keberagaman tetapi menuju kearah tujuan yang sama, yaitu
memberikan layanan Pendidikan yang berkualitas sesuai kakarkeristik dan
kebutuhan individu peserta didik dengan menempatkan nilai kebersamaan sebagai
nilai intinya (Core value).
Berdasarkan kajian terhadap komponen program (Stainback,
1990:23), aktivitas pembelajaran (Unesco, 1998), layanan pembelajaran (Johnsen
dan Skojen, 2001:5), respon terhadap keragaman peserta didik (Lynch, dalam
Budiyanto, 2005: 42-46), dan pola pembelajaran, dapat dirumuskan indikator
nilai-nilai kebersamaan yang mewarnai situasi dan suasana pembelajaran dalam
praktik penyelenggaraan sekolah inklusif sebagai berikut.
a.
Sekolah menyediakan program yang
layak, menantang, dan aksesible untuk semua peserta didik, dengan tetap
memperhatikan aspek kebutuhan khusus pada setiap individu;
b.
Setiap peserta didik, termasuk di
dalamnya ABK, memiliki suasana yang damai dan harmoni dalam melakukan aktivitas
pembelajaran dan aktivitas lainnya, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai makhluk sosial;
c.
Aktivitas pembelajaran di sekolah
inklusif berbasis pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi maunia, dan
pembangunan berkelanjutan;
d.
Adanya kepekaan sosial dan kesiapan
akademis dari warga sekolah untuk senantiasa meningkatkan pemahaman dan
keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran bagi setiap peserta didik
yang berbasis pada analisis kebutuhan individu;
e.
Sekolah harus merespon keragaman
peserta didik secara luas, baik dalam hal latar belakang sosial ekonomi dan
budaya, pola tingkah laku, maupun kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda;
f.
Pola pembejaran yang dilakukan di
sekolah inklusif berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak (Teaching
Base of Students Centre);
g.
Pola pembelajaran yang berbasis
pada pola kolaboratif yang sistemik, yang melibatkan peran dari kepala sekolah,
guru, orang tua peserta didik, dan masyarakat. (Hermansyah, 2014).
3.
Manajemen/Pengelolaan Kelas (Classroom Management)
Manajemen kelas inklusif
dirancang agar pembelajaran dalam kelas inklusif yang heterogen dapat berjalan
secera efektif. Adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus di sekolah
inklusi berimplikasi pada perubahan orientasi dan manajemen, tidak hanya pada
level sekolah, tetapi juga pada manajemen kelas. Pembelajaran di sekolah
inklusif dimana di kelas tersebut beranggotakan ABK menuntut perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian. Guru kelas tidak lagi berorientasi klasikal tetapi
dihadapkan pada keberagaman kebutuhan peserta didik. Oleh karena itu,
pengelolaan kelas di sekolah inklusif menjadi hal yang sangat penting dalam
tataran implementasi pendidikan inklusif. Pemahaman yang baik terhadap
pengelolaan kelas akan dapat meminimalisir permasalahan yang dialami oleh guru
kelas dalam mengelola kelas yang heterogen.
Pembelajaran yang bermakna bukan saja hanya mengajar, bukan
saja penyampaian informasi/pesan tetapi juga meliputi perkembangan pribadi
siswa, interaksi sosial serta penanaman sikap dan nilai pada diri siswa. Proses
belajar yang bermakna akan terwujud dalam kondisi, suasana iklim kelas yang
kondusif, efektif, kreatif, produktif dan menyenangkan. Selain itu terbina hubungan
interpersonal yang sehat dan mendorong munculnya perubahan perilaku belajar
peserta didik yang diharapkan.
Pengelolaan kelas disekolah lnklusif adalah serangkaian
aktivitas dan kegiatan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran mulai
dari perencanaan proses pembelajaran,
metode, strategi dan pendekatan
serta evaluasi pembelajaran. Manajemen kelas inklusif dirancang untuk tercipta
kelas yang kondusif, aktif, kreatif, kooperatif dan menyenangkan melalui
penciptaan lingkungan kelas yang kondusif, iklim dan suasana psiko sosial dan
emosi yang positif, serta penciptaan sistem sosial yang memungkinkan anak dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian manajemen atau
pengelolaan kelas inklusif pada dasarnya merupakan implementasi dari
prinsif-prinsif pembelajaran yang harus mewarnai suasana pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran hendaknya
dirancang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik
serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan. SPPI dalam dimensi
pengelolaan kelas inklusif perlu melakukan berbagai pembenahan di antaranya
sebagai berikut:
a.
Guru harus mampu menyediakan kondisi
kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka ragaman, dan menghargai perbedaan;
b.
Sekolah harus siap mengelolaa kelas
yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat
individual;
c.
Guru harus mampu menerapkan
pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, dan memberikan stimulasi bagi
terjadinya interaksi sosial diantara peserta didik yang beragam;
d.
Guru pada SPPI dituntut mampu
melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran;
e.
Guru pada SPPI dituntut mampu
melibatkan orang tua peserta didik secara bermakna dalam proses Pendidikan.
Pada proses pembelajaran di sekolah inklusif, PDBK disamping
belajar secara klasikal dengan teman-teman sebayanya di dalam kelas, juga
mendapatkan layanan bembelajaran individual sesuai kajian hasil asesmen
akademik dan non akademik. Proses pembelajaran individual ini biasa disebut
dengan istilah One to One Teaching yang sesi belajarnya dilakukan di
ruang khusus pembelajaran individual.
Prinsip-prinsip pengelolaan
kelas inklusif untuk berlangsungnya pembelajaran yang kondusif secara umum sama
dengan prinsip pengelolaan pembelajaran bagi peserta didik pada umumnya. Namun
demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat peserta didik dengan
kebutuhan khusus yang mengalami hambatan baik fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru yang mengajar di kelas
inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum, juga diharuskan memiliki
kemampuan
menerapkan
prinsip-prinsip pembelajaran khusus sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
ABK.
Mekanisme Layanan PDBK Di Sekolah Inklusif
Layanan pendidikan bagi peserta
didik berkebutuhan khusus dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sistem
pendidikan inklusif. Saat ini Pemerintah telah mengakomodasi penyelenggaraan
pendidikan inklusif dengan menerbitkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, khususnya terdapat pada Pasal 6
ayat 1 sampai dengan 3, yaitu:
1.
Pemerintah kabupaten/kota menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
2.
Pemerintah kabupaten/kota menjamin
tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang
ditunjuk.
3.
Pemerintah dan pemerintah provinsi
membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.
Peraturan di atas menunjukkan
bahwa seluruh pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya pendidikan
inklusif di daerahnya masing-masing. Minimal terdapat satu sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif dalam satu kota. Hal ini perlu untuk
memastikan bahwa semua warga negara berhak untuk mendapatkan layanan
pendidikan.
Penerimaan PDBK
Penerimaan peserta didik
berkebutuhan khusus seyogyanya melibatkan berbagai unit terkait, antara lain
orang tua peserta didik, sekolah, rumah sakit atau puskesmas, dan dinas
pendidikan setempat. Pada beberapa sekolah peserta didik berkebutuhan khusus
tidak dapat diterima di sekolah jika tidak membawa surat keterangan hasil
asesmen dari rumah sakit dan atau keterangan dari psikolog.
Namun demikian, pada umumnya
sekolah sering mengabaikan persyaratan di atas. Sehingga menimbulkan kesulitan
bagi guru dalam melayani peserta didik yang bersangkutan. Untuk kondisi di
daerah tertentu surat keterangan dari rumah sakit atau dari psikolog menjadi
sangat sulit ketika pemahaman tentang mekanisme layanan tidak sepenuhnya
dipahami, terlebih-lebih ketersediaan sumber daya dan aksesibilitas sangat
terbatas. Secara grafis mekanisme
penerimaan
peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
disajikan dalam skema berikut.
Mekanisme
penerimaan digambarkan dalam skema-skema berikut:
Rumah
Sakit
Orang |
|
|
|
|
|
|
Sekolah |
|
Dinas |
|
|
Tua |
|
|
Pendidikan |
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
Gambar 1.
Mekanisme penerimaan skema 1
|
|
Rumah
Sakit |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Orang Tua |
|
|
|
|
|
|
|
|
Dinas |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pendidikan |
|
Sekolah
Gambar 2.
Mekanisme penerimaan skema 2
Rumah Sakit
|
|
|
|
Dinas |
|
|
|
Unit Layanan |
|
|
|
Orang Tua |
|
|
|
||
|
Disabilitas |
|
Pendidikan |
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
Sekolah
Gambar 3.
Mekanisme penerimaan skema 3
Untuk
keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif, sekolah perlu mengikuti prosedur sebagai berikut.
1.
Sekolah yang akan menerima anak
berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif
(surat pemberitahuan tentang kesiapan menyelenggarakan pendidikan inklusif)
kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki
peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan
inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
2.
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
menindaklanjuti proposal (surat pemberitahuan) / laporan dari sekolah yang
bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
3.
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan
Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.
4.
Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan
sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan
menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Identifikasi, Asesmen, dan Intervensi
Identifikasi
Identifikasi adalah suatu
proses yang dilakukan secara sistematis untuk menemukenali sesuatu benda atau
seseorang dengan menggunakan instrumen terstandar. Dalam konteks pendidikan
khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang
bersangkutan mengikuti pembelajaran.
Proses identifikasi peserta
didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan, dan
kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang
diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk
memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan
hambatan yang dimilikinya.
Tujuan identifikasi adalah
untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan
(fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi
akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang
bersangkutan. Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu
penjaringan
(screening),
pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan
pemantauan kemajuan belajar.
Asesmen
Asesmen adalah upaya untuk
mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki, hambatan/kesulitan yang dialami,
mengetahui latar belakang mengapa hambatan/kesulitan itu muncul dan untuk
mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan. Berdasarkan data
hasil asesmen tersebut dapat dibuat program pembelajaran yang tepat bagi anak
itu.
Asesmen dalam pendidikan khusus
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1) asesmen berbasis kurikulum
(asesmen akademik), dan 2) asesmen berbasis perkembangan, dan
3)
asesmen kekhususan (asesmen
non-akademik). Teknik pelaksanaan asesmen meliputi tes, wawancara, observasi,
dan analisis pekerjaan anak. Dalam suatu proses asesmen, biasanya semua teknik
itu dapat digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan, tidak hanya berpatok
pada satu teknik saja. Ketika ditemukan peserta didik yang memiliki perbedaan
dengan peserta didik pada umumnya, baik dalam bidang akademis maupun non
akademis sebaiknya stokeholder melakukan hal-hal sebagai berikut:
Peran guru
-
Melakukan pendekatan persuasif terhadap peserta didik
-
Berdiskusi dengan teman sejawat dan kepala sekolah
-
Mengkonfirmasikan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan peserta didik dengan orang tua ketika di
rumah.
Peran Orang tua
-
Berkoordinasi dengan Rumah Sakit (Poli Tumbuh Kembang Anak)
-
Berkonsultasi dengan Dokter anak dan atau Psikolog
-
Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa)
terdekat
Peran Kepala sekolah
-
Berkoordinasi dengan Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa)
terdekat
-
Melapor kepada Dinas pendidikan setempat
-
Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi
-
Proposal diajukan kepada Dinas
Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota.
Peran Dinas Pendidikan
-
Tim verifikasi Dinas Pendidikan
Propinsi mengkaji propsal (surat) yang telah diajukan oleh pihak sekolah.
-
Tim verifikasi Propinsi terdiri dari
unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi, Organisasi profesi.
-
Tim verifikasi mengadakan studi
kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,
-
Dinas Pendidikan Propinsi
menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah
yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi.
Intervensi
Layanan intervensi dimaksudkan
untuk menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan, agar mereka dapat
berkembang secara optimal. oleh karena itu target layanan intervensi adalah
perkembangan optimal yang harus dicapai oleh seorang anak yang mengalami hambatan
perkembangan dan hambatan belajar, sebagai dampak dari hambatan yang
dimilikinya. Intervensi dilakukan setelah dilakukan adanya hasil asemen
diketahui.
Penempatan dan Tindak Lanjut
Pelaksanaan proses belajar
mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan kegiatan proses belajar
mengajar pada kelas reguler. Namun pada kelas inklusif selain terdapat peserta
didik reguler terdapat pula Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK). Di
samping menerapkan prinsip-prinsip umum dalam mengelola proses belajar mengajar
maka guru harus memperhatikan prinsip-prinsip khusus yang sesuai dengan
kebutuhan PDBK. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya
disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih berdasarkan hasil
asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama perserta didik
lainya adalah cara yang sangat inklusif; nondiskriminasi dan fleksibel;
sehingga guru harus membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan
mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi yang dibutuhkan.
Konsep Keberagaman Peserta Didik
1.
Pengertian Keberagaman Peserta Didik
Keberagaman
peserta didik di kelas inklusif memiliki karakteristik tersendiri, baik pada
peserta didik reguler maupun pada peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK).
Keberadaan PDBK dipayungi Undang Undang Dasar 1945 pasal 31, ayat 1
mengamanatkan bahwa;
“Setiap
warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan ayat 2; setiap warga Negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Dengan
demikian, peserta didik dalam kelas walaupun berbeda keyakinan, fisik, gender,
latar belakang keluarga, harapan, kemampuan, kelebihan peserta didik memiliki
hak untuk belajar.
Implementasi
di kelas, guru secara perlahan dan pasti memberikan penanaman sikap simpati dan
empati kepada peserta didik reguler bahwa dalam masyarakat itu memiliki
karakteristik keragaman bentuk, keyakinan, sosial, dan karakter peserta didik
berkebutuhan khusus. Dengan demikian, ciptakan susana kebersamaan dalam
berbagai aktivitas agar seluruh peserta didik membaur dan saling interaksi,
sehingga akan tampak mereka bersosialisasi dan saling tolong menolong
antarsesama.
Begitupun
gurunya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan baik, harus memahami berbagai
perbedaan. Setiap individu memiliki karakteristik sendiri, baik dalam gaya
belajar atau kemampuan mengaktulisasikan berbagai kemampuan dan
keterampilannya, misalnya perbedaan jender. Murid laki-laki memiliki
karakteristik yang berbeda dengan murid perempuan. Misalnya, cara berpikir
peserta didik laki-laki berbeda dengan murid perempuan. Namun, tidak menutup
kemungkinan karakteristik jender dapat dipertukarkan.
Perbedaan
mereka tampak dari kekuatan fisik, perkembangan psikoseksual, minat belajar
pada bidang berlainan, ketekunan, ketelitian, kecenderungan metode pembelajaran
yang lebih sesuai untuk masing-masing jenis kelamin, dan seterusnya. Ada
kemungkinan murid perempuan sangat berminat dalam bidang olah raga, sedangkan
murid laki-laki sangat menyukai pelajaran tata boga. Seorang guru perlu
mengenali keunggulan peserta didik tanpa harus melakukan stereotip jender.
Dengan
demikian, guru sangat penting memberikan wawasan kepada peserta didik bahwa
masyarakat majemuk tradisional perlu mempertimbangkan adanya pluralitas
horizontal (adanya perbedaan etnik, sub-sub etnik) dan pluralitas
vertical (adanya pelapisan-pelapisan sosial).
Penamaan
istilah “peserta didik” kepada peserta didik di sekolah dewasa ini sudah tepat,
mengingat cara pandang ini yang lebih positif dibanding dengan istilah “murid
atau peserta didik”. Hal ini, kata “peserta didik” dapat mengakomodasi
keberagaman peserta didik dalam melihat kebutuhannya.
Kata “kebutuhan khusus” menjadi dasar dalam
melihat apa yang menjadi masalah dan kebutuhan peserta didik dan bukan pada
label yang menyertainya. Oleh karena itu, guru hendaknya memandang setiap
Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (PDBK) memiliki karakteristik unik. Karakteristik PDBK ini berkaitan
dengan bagaimana cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan khususnya. Pandangan ini
akan menuntun guru dalam menyusun akomodasi program untuk mengatasi hambatan
dan mengoptimalkan potensi peserta didik.
Dengan demikian, upaya-upaya pemberian layanan
pendidikan terhadap PDBK hendaknya
berfokus pada potensi-potensi yang dapat dikembangkan melalui pengamatan guru
secara berkesinambungan dan sistematik dalam proses identifikasi dan asesmen.
Hal
ini, sejalan dengan Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru bahwa dalam Kompetensi Paedagogik Guru salah
satunya adalah memahami krakteristik peserta didik maka diharapkan sebelaum
melakukan pembelajaran setiap guru dapat melakukan identifikasi dan asesmen.
Hal ini untuk dijadikan sebagai dasar dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta
didik.
2.
Indikator Kualitas Hidup Peserta Didik
Kebearagaman
peserta didik di sekolah inlklusif adalah suatu kenyataan yang untuk dibuat
sebagai “sesuatu yang aneh” akan tetapi keberagaman peserta didik tersebut
harus menjadi sebuah “tantangan” bagi guru untuk memberikan layanan
pembelajaran akomodatif bagi setiap peserta didik. Peserta didik reguler maupun
peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk memperoleh
layanan pembelajaran dalam upaya mencapai kualitas hidup.
Ada empat
indikator kualitas hidup bagi setaip peserta didik, yakni sebagai berikut:
3.
To
Live, setiap peserta didik di sekolah inklusif
memilki hak untuk hidup mengembangkan potensi dirinya, tanpa harus
terhalangi atau dibatasi oleh kondisi hambatan yang dimilikinya. Peserta didik berkebutuhan
khusus di sekolah inklusif tidak boleh dibiarkan hanya sebagai “pelengkap kuota
kelas inklusif”, tetapi keberadaan peserta didik di kelas inklusif harus
menjadi tantangan bagi guru untuk berkreatif dalam mengembangkan layanan
pembelajaran akomodatif.
4.
To
Love, setiap peserta didik di sekolah inklusif
harus merasa terlindungi, mengikuti kegiatan pembelajaran dan aktivitas
sekolah lainnya secara ramah, nyaman dan tidak dibiarkan mendapat bully
dari peserta didik lainnya. Bahkan guru harus mengembangkan sikap saling
menyayangi, mencintai sebagai sesama warga sekolah.
5.
To
Play, setiap peserta didik di sekolah inklusif
harus memperooleh kesempatan yang sama untuk mengikuti aktivitas belajar
secara aktif dan bermain di sekolah, seperti dalam diskusi kelompok, kegiatan
ekstrakurikuler, dan perlombaan yang diadakan sekolah. Peserta didik
berkebutuhan khusus harus memperoleh hak yang sama untuk memperoleh kesempatan
aktivitas permainan di kelas dan lingkungan sekolah.
6.
To
Work, setiap peserta dididk di sekolah inklusif
memperoleh hak yang sama untuk mengembangkan dirinya dalam upaya
mengembangkan potensi dirinya untuk nantinya menjadi individu yang mandiri
dalam memasuki dunia kerja. Peserta didik berkebutuhan khusus tidak boleh
dihadirkan di kelas hanya sebagai “pelengkap penderita” akan tetapi harus
diberikan layanan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan layanan
pendidikannya.
Jenis Hambatan Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus
-
Anak Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan
Sensorik
Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sesuai
dengan jenis hambatan yang dialami. Anak berkebutuhan khusus menurut Gunawan
(2011) yaitu sebagai berikut.
a. Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
Anak
dengan hambatan penglihatan menurut Gunawan (2011) adalah anak yang mengalami
gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan, khusus
dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan
rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki
hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam
pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material
khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.
Klasifikasi
gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam
perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally
Blind).
4.
Low vision
Kelompok
ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan
ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari
jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21
meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk
objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.
5.
Hambatan penglihatan total
Peserta
didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak
bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun
mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam
tanpa mengetahui sumber cahayanya.
Akibat dari adanya
hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca dan menulis
braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan daily
activities.
c.
Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)
Banyak
istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengalami
kehilangan/gangguan pendengaran. Salah satunya menurut Nakata dalam Rahardja
(2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak
tunarungu
adalah mereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di
atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara
signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan
mempergunakan alat bantu dengar atau alat- alat lainnya.
Tunarungu
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan
pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing
impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan
secara fisik.
Akibat
dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran.
Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat
auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan
komunikasi secara verbal.
Pengelompokkan
(klasifikasi) bagi anak yang mengalami hambatan pendengaran yang saat ini digunakan
pada umumnya menurut Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
d.
0 dB Menunjukkan pendengaran yang optimal.
e.
0 – 26 dB Menunjukkan seseorang masih
mempunyai pendengaran yang normal.
f.
27 – 40 dB
Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk
yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu
ringan).
g.
41 – 55 dB
Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan
alat bantu dengar dan terapi bicara (tunarungu sedang).
h. 56 – 70 dB Hanya bisa mendengar suara dari
jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan
bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus
(tunarungu agak berat).
i.
71- 90 dB
Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang dianggap tuli,
membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar
dan latihan bicara secara khusus (tunarungu berat).
9)
91 dB ke
atas mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung
pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang
bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali)
Menurut
Moores dalam Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak mengalami disability
dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment).
Istilah hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi istilah tunarungu, yang di dalamnya terkandung dua kategori
yaitu yang disebut dengan deaf dan hard of hearing.
Moores
(1982:6) menjelaskan “tuli” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan
mendengar dalam tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti
pembicaraan orang lain mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa
melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain
dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar (hearing aid).
Adapun orang yang “kurang dengar” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan
dengar dalam tingkat 35 sampai 69 dB.
Berdasarkan
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau kurang
dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar
sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik
menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap
memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada
aspek-aspek di bawah ini.
5.
Aspek Motorik
Anak
tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk,
merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi
pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun
demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi
gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma,
dalam Alimin, 2007).
4)
Aspek bicara dan bahasa
Keterampilan
berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak
dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan
pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan
hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat
didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.
Individu tersebut tidak
dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa
bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran biasanya
sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam
membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
d.
Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Menurut Gunawan (2011)
anak mengalami hambatan intelektual adalah anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah
rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Anak mengalami hambatan
intelektual ialah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata.
Berbagai istilah yang dikemukakan mengenai anak mengalami hambatan intelektual,
selalu menunjuk pada keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum berada di
bawah usia kronologisnya secara meyakinkan sehingga membutuhkan layanan
pendidikan khusus.
Potensi dan kemampuan
setiap anak anak mengalami hambatan intelektual berbeda-beda, maka untuk
kepentingan pendidikan diperlukan pengelompokkan anak mengalami hambatan
intelektual. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas
dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.
Hambatan Intelektual Ringan
Anak
mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak
berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk
kelompok
mampu
didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung,
anak anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan
pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
g.
Hambatan Intelektual Sedang
Anak
anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi
fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan
intelektual yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30
s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum.
h.
Hambatan Intelektual Berat
Kelompok
ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan
secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk
kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan
sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.
Hambatan
intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di
bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam
tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau
terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan
bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki
tiga indikator, yaitu:
keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum
atau di bawah rata-rata;
ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif;
dan
hambatan perilaku
sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18
tahun.
Klasifikasi
anak mengalami hambatan intelektual secara sosial-psikologis terbagi dua
kriteria, yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif. Ada empat
taraf anak mengalami hambatan intelektual berdasarkan psikometrik (skor
IQ-nya).
Tabel. 1
Tingkat Kecerdasan (IQ anak mengalami hambatan intelektual)
Klasifikasi |
IQ |
Mental
Age |
|
|
Stanford
Binet |
|
|
Skala Weschler |
|
|
(Tahun) |
|
|
|
|
(SB) |
|
|
(WISC) |
|
|
|
|
|
Ringan (mild mental |
68-52 |
|
69-55 |
|
8,3-10,9 |
|
|
|||
retardation) |
|
|
|
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sedang (moderate mental |
51-36 |
|
54-40 |
|
5,7-8,2 |
|
|
|||
retardation) |
|
|
|
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Berat (severe mental |
35-20 |
|
39-25 |
|
3,2-5,6 |
|
|
|||
retardation) |
|
|
|
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Parah (profound mental |
|
≥ 19 |
|
≥ 24 |
|
≥ 3,1 |
|
|||
retardation) |
|
|
|
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sumber: http://repository.upi.edu/operator/
Penggolongan anak anak
mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif tidak
berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini
juga mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
Secara umum dampak dari gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri
sebagai berikut.
h.
Lamban
dalam mempelajari hal-hal baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari konsep
yang abstrak, dan selalu cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan
terus menerus.
i.
Kesulitan dalam menggeneralisasi dan
mempelajari hal-hal yang baru.
j.
Kemampuan
bicaranya sangat kurang bagi anak mengalami hambatan intelektual berat.
k.
Cacat fisik
dan perkembangan gerak. Anak mengalami hambatan intelektual berat mempunyai
keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat
berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas
yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
l.
Kurang
dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami hambatan
intelektual berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti;
berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan
khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
m.
Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim.
Anak mengalami hambatan intelektual
ringan
dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai anak
mengalami hambatan intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam
memberikan perhatian terhadap lawan main.
Tingkah
laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan
intelektual berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.
2.
Anak dengan Hambatan Fisik (Tunadaksa)
Ada berbagai macam
definisi tentang anak yang mengalami gangguan gerak, tergantung dari siapa dan
sudut mana melihatnya. Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah:
Mereka yang
tingkat kecacatan fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan yang berat
atau ketidakmungkinan melakukan gerak dasar dalam kehidupan sehari-hari seperti
berjalan dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat bantu pendukung.
Mereka yang
tingkat kecacatan fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu
memerlukan observasi dan bimbingan medis.
Anak gangguan gerak,
dilihat dari persentase anak berkebutuhan khusus yang lain, termasuk kelompok
yang jumlahnya relatif kecil yaitu diperkirakan 0,06% dari populasi anak usia
sekolah. Sedangkan jenis kelainannya bermacam-macam dan bervariasi, sehingga
permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.
Pada dasarnya anak
gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) Kelainan pada
sistem serebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan
rangka (musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok
pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi jenis spastic,
athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.
Sedangkan yang termasuk
pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan spina
bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan
pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle
dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi,
gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan
gerak yang berat, ringan, dan
sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat
ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi
kebutuhan gerak.
3.
Anak dengan Hambatan Lainnya
Anak dengan Gangguan Perilaku dan Emosi
Menurut
Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku
menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia
anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau
keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam
mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus.
Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal
dengan nama anak hambatan perilaku dan emosi (behavioral disorder).
Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang
diterima umum.
Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar
umum sudah ekstrim.
Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi
(anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
Cenderung membangkang.
Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah
marah.
Sering melakukan tindakan agresif, merusak,
mengganggu.
Sering bertindak melanggar norma sosial/norma
susila/hukum.
Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah
sering bolos jarang masuk sekolah.
b.
Anak Autis
Autisme
berdasarkan Individuals with Disabilities Education (IDEA) yang dikutip
oleh Rahardja (2006) adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan
berpengaruh terhadap komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi sosial,
umumnya terjadi pada usia sebelum tiga tahun, yang berpengaruh buruk terhadap
kinerja pendidikan anak.
Karakteristik yang lain
sering menyertai autisme seperti melakukan kegiatan yang berulang-ulang dan
gerakan stereotip, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau
perubahan
dalam rutinitas sehari- hari, dan memberikan respon yang tidak semestinya
terhadap pengalaman sensori. Secara umum anak autis memiliki karakteristik
sebagai berikut.
c.
Mengalami hambatan di dalam bahasa.
d.
Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi
dengan isyarat sosial.
e.
Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan
perasaan.
f.
Kurang memiliki perasaan dan empati.
g.
Sering berperilaku di luar kontrol dan
meledak-ledak.
h.
Secara menyeluruh mengalami masalah dalam
perilaku.
i.
Kurang memahami akan keberadaan dirinya
sendiri.
j.
Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
k.
Berperilaku
monoton dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat
digolongkan ke dalam beberapa spektrum, yaitu sebagai berikut.
Anak autis
yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High function
children with autism).
Anak autis
yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle function
children with autism).
Anak autis
yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low function
children with autism).
-
Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa
Anak
yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang
memiliki bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi
kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task
commitment) di atas kemampuan anak-anak seusianya (anak normal), sehingga
untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak
cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai gifted & talented
children (Dudi Gunawan, 2011).
Anak-anak
berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa
domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi,
domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi
sosial.
Berikut
beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak
berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu
dicatat bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu
menunjukkan atau memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah
ini (Gunwan, 2011):
d.
Menunjukkan
atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif.
e.
Mampu
menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang
utuh.
f.
Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat
tinggi.
g.
Mampu
menggeneralisasikan suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana
dan mudah dipahami.
h.
Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam
memecahkan masalah.
i.
Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
j.
Memiliki
perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan
baik.
k.
Biasanya
fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
l.
Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau
pelajaran yang diberikan.
m.
Memiliki daya ingat jangka panjang (long term
memory) yang kuat.
n.
Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep
matematika dan/atau sains.
o.
Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
p.
Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang
lain.
q.
Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak,
dan dalam.
r.
Mampu
memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan
dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
4)
Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia,
Diskalkulia, Disgrafia)
Anak
yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning
Diificulties (SLD) secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada
anak yang ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana
mestinya dan berdampak pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan
hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya
kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik
yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.
Anak
LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit
atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya
gangguan neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada
anak-anak yang mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini
merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia),
menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang
terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa
seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya dapat
diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.
PDBK yang mengalami
kesulitan membaca (disleksia)
Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
Kalau membaca sering banyak kesalahan
PDBK yang
mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
b
Kalau menyalin tulisan sering terlambat
selesai,
c
Sering
salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9,
dan sebagainya,
d
Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
e
Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
f
Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
PDBK yang
mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
e.
Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6
dengan 9, dan sebagainya
f.
Rancu atau
bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan
sebagainya.
Kebutuhan Pembelajaran PDBK
f.
Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan
Sensorik
Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
Layanan
khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu dalam
membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang
hambatan penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan
diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba
dan didengar atau diperbesar. Di samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan
Mobilitas (OM) yang penerapannya bukan hanya di sekolah, melainkan dapat
diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya.
Seseorang
dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind)
jika mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat
sama sekali. Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan
pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya
mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan
orientasi dan mobilitas.
Hambatan
penglihatanan akan berdampak dalam kemampuan kognitif, kemampuan akademis,
sosial emosional, perilaku, perkembangan bahasa, perkembangan motorik,
orientasi dan mobilitas.
Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)
Seperti
sudah dikemukan sebelumnya, peserta didik yang mengalami hambatan pendengaran
perlu Alat Bantu Dengar (ABD), tetapi walaupun telah diberikan pertolongan
dengan ABD, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena
gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.
Aspek
Motorik
Anak
tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk,
merangkak,
berdiri
dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang
mendengar (Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki
kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.
Aspek
bicara dan bahasa
Keterampilan
berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak
dipengaruhi oleh peserta didik hambatan pendengaran. Khususnya anak-anak yang
mengalami hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi
individu yang congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat
didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.
Individu
ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Kebutuhan
pembelajaran peserta didik hambatan pendengaran menurut Gunawan (2011) secara
umum tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Akan tetapi, mereka memerlukan
perhatian dalam kegiatan pembelajaran antara lain:
Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan
cara membelakanginya.
Anak
hendaknya didudukkan paling depan, sehingga memiliki peluang untuk mudah
membaca bibir guru.
Perhatikan postur anak yang sering memiringkan
kepala untuk mendengarkan.
Dorong anak
untuk selalu memperhatikan wajah guru, bicaralah dengan anak dengan posisi
berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejajar dengan kepala anak.
Guru bicara
dengan volume biasa tetapi dengan gerakan bibirnya yang harus jelas. c.
Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan Intelektual (Tunagrahita)
Pendidikan
bagi peserta didik anak mengalami hambatan intelektual seharusnya ditujukan
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka
dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana
mereka berada. Secara umum kebutuhan pembelajaran anak anak mengalami hambatan
intelektual adalah sebagai berikut.
c.
Perbedaan
anak mengalami hambatan intelektual dengan anak normal dalam proses belajar
adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik belajarnya.
d.
Perbedaan
karakteristik belajar anak anak mengalami hambatan intelektual dengan anak
sebayanya, anak anak mengalami hambatan intelektual mengalami masalah dalam hal
yaitu:
Tingkat kemahirannya dalam memecahkan masalah
Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu
yang baru
Minat dan perhatian terhadap penyelesaian
tugas.
2
Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan
Fisik (Tunadaksa)
Berkaitan dengan
pembelajaran, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan peserta didik agar
mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun
anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan
sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuannya dalam
dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (uu no.2 tahun 1989 tentang uspn
dan pp no.72 tentang plb).
Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya
tujuh aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa
melalui pendidikan, yaitu:
•Pengembangan intelektual dan akademik
•Membantu
perkembangan fisik
•Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak
•Mematangkan aspek sosial
•Mematangkan moral dan spiritual
4.
Meningkatkan ekspresi diri
5.
Mempersiapkan masa depan anak
Program pembelajaran yang diindividualisasikan
Prinsip pembelajaran: prinsip multisensory dan
Individualisasi
Penataan
lingkungan belajar: bangunan
gedung memprioritaskan tiga
kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak
dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
Personil: guru plb, guru reguler, dokter ahli
anak, dokter ahli rehabilitasi medis, dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf,
psikolog, guru bimbingan dan penyuluhan, social worker, fisioterapist,
occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic.
f.
Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan
Lainnya
4.
Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan
Perilaku dan Emosi
Kebutuhan pembelajaran bagi anak hambatan
perilaku dan emosi yang harus diperhatikan oleh guru antara lain adalah:
Mengetahui
strategi pencegahan dan intervensi bagi individu yang beresiko mengalami
gangguan emosi dan perilaku.
Menggunakan
variasi teknik yang tidak kaku dan keras untuk mengontrol tingkah laku target
dan menjaga atensi dalam pembelajaran.
Menjaga
rutinitas pembelajaran dengan konsisten, dan terampil dalam problem solving
dan mengatasi konflik.
Merencanakan
dan mengimplementasikan reinforcement secara individual dan modifikasi
lingkungan dengan level yang sesuai dengan tingkat perilaku.
Mengintegrasikan
proses belajar mengajar (akademik), pendidikan afektif, dan manajemen perilaku
baik secara individual maupun kelompok.
Melakukan
asesmen atas tingkah laku sosial yang sesuai dan problematik pada peserta didik
secara individual.
Perlu
adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak.
Kurikulum
hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi oleh setiap
anak.
Adanya
kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak.
Perlu
adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan contoh
dari lingkungan.
5.
Kebutuhan Pembelajaran Anak Cerdas dan Bakat
Istimewa
Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas
istimewa dan bakat istimewa adalah sebagai berikut.
Program
pengayaan horisontal, meliputi:
Mengembangkan kemampuan eksplorasi.
Mengembangkan
pengayaan dalam arti memperdalam dan memperluas hal-hal yang ada di luar
kurikulum biasa.
eksekutif
intensif dalam arti memberikan kesempatan untuk mengikuti program intensif
bidang tertentu yang diminati secara tuntas dan mendalam dalam waktu tertentu.
Program
pengayaan vertikal, yaitu:
Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam
mengikuti program yang sesuai dengan kemampuannya, dan jangan dibatasi
oleh jumlah waktu, atau tingkatan kelas.
Independent
study, memberikan seluas-luasnya kepada anak untuk belajar dan menjelajahi
sendiri bidang yang diminati.
Mentorship, memadukan antara yang diminati anak gifted
dan tallented dengan para ahli yang ada di masyarakat.
4)
Kebutuhan Pembelajaran Anak dengan Hambatan
Autism
Kebutuhan
pembelajaran bagi anak anak autis adalah sebagai berikut:
Diperlukan
adanya pengembangan strategi untuk belajar dalam seting kelompok.
Perlu
menggunakan beberapa teknik di dalam menghilangkan perilaku-perilaku negatif
yang muncul dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara keseluruhan (stereotip).
Guru perlu
mengembangkan ekspresi dirinya secara verbal dengan berbagai bantuan.
Guru
terampil mengubah lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak,
sehingga tingkah laku anak dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.
-
Kebutuhan
Pembelajaran Anak dengan Hambatan Kesulitan Belajar Spesifik Peserta didik yang
mengalami hambatan belajar spesifik (disleksia, diskalkulia, disgrafia) perlu
adanya intervensi yang melibatkan seluruh indera dalam proses belajar
mengajarnya. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik multi
sensori. Berikut hal-hal yang harus dilakukan guru dalam menangani di dalam
kelas;
Perkenalkan
belajar alfabet secara sekuensial (berurutan) secara bertahap dan berurut.
Alfabet
diperkenalkan menggunakan huruf-huruf dari kayu atau plastik, sehingga anak
dapat melihat huruf, mengambilnya, merasakannya dengan mata terbuka atau
tertutup dan mengucapkan bunyinya.
Peserta
didik perlu tahu bahwa huruf /i/ muncul sebelum /k/, Alfabet dapat dibagi ke
dalam beberapa kelompok, yang membuat mudah anak mengingat di kelompok mana
huruf tersebut berada.
-
Menyortir
dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan tangan
dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan
bentuk-bentuk terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam
hubungannya dengan huruf lain.
Alasan
dari teknik ini karena saluran pembelajaran visual, auditori dan
taktil-kinestetik semua digunakan secara berkesinambungan. Teknik multisensori
juga melibatkan proses anak dalam hal (1) mengulang suara yang didengar; (2)
merasakan bentuk yang dibuat bunyi di mulut; (3) membuat bunyi dan
mendengarkan; dan (4) menulis huruf.
Visual
(penglihatan)
Peserta didik belajar
paling baik dengan cara melihat informasi. Karena itu, cara mulai yang baik
adalah dengan menggunakan kartu bergambar dengan kata-kata tertulis di bawahnya
(flash card). Pilihlah kata-kata yang sesuai dengan level belajar anak.
Selain itu, jika anak kesulitan dengan bunyi, tunjukkan di mana bunyi itu
dibuat di dalam mulut secara umum.
Auditori
(pendengaran)
Anak-anak auditori
belajar paling baik dengan cara mendengarkan apa yang diajarkan. Untuk anak
yang kesulitan pada masalah bunyi, ajarkan sepasang kata singkat dan mintalah
anak untuk mengatakan kata mana yang betul (tas/das). Juga, mintalah mereka
menulis huruf, kata, atau kalimat sementara guru mengucapkannya.
Taktil
(perabaan)
Anak-anak ini belajar
paling baik dengan proses ‘menyentuh’. Ini adalah anak-anak yang biasa terlihat
memisahkan bagian suatu benda dan kemudian menyatukannya kembali. Mereka
belajar paling baik dengan melalui sentuhan, sehingga sangatlah penting untuk
memasukkan gaya belajar ini ke dalam perintah-perintah guru.
Bentuk Layanan Segregasi
Sistem
layanan segregasi yaitu penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara
khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan umum. Dengan kata lain anak
berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus
seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB).
SLB
merupakan bentuk unit pendidikan dengan penyelenggaraan sekolah mulai dari
tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu
unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Ada beberapa sekolah atau layanan
pendidikan yang dapat dikatagorikan sistem segregasi ini, yaitu sebagai
berikut:
1.
Sekolah Khusus
Penyelenggaraan
sekolah khusus ini pada awalnya diselenggarakan sesuai dengan satu hambatan
saja, sehingga dikenal dengan SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu
(SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB
untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat
dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem
individualisasi.
Pada
tahun 2014, terjadi banyak perubahan terkait penyelenggaraan SLB. SLB E
(emosional disorder) secara faktual masih ada, tetapi dalam sistem Kurikulum
2013 sudah tidak menyinggung secara spesifik SLB E. Terdapat satu jenis anak
berkebutuhan khusus yakni Autis/Autism Spectrum Disorder (ASD) yang menjadi
perhatian dalam sistem pendidikan khusus sehingga sekarang ada SLB Autis.
Selain
ada SLB yang hanya mendidik satu hambatan saja, ada pula yang mendidik lebih
dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk Anak tunarungu dan
tunagrahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di sekolah tersebut
sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
Adapun regulasi yang
memayungi sekolah khusus ini adalah UU RI Nomor 2 Tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun
1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri
dari:
-
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama
pendidikan minimal 6 tahun.
-
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa
(SLTPLB) minimal 3 tahun.
-
Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3
tahun.
Di
samping satuan pendidikan di atas, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga
dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama
pendidikan satu sampai tiga tahun.
2.
Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah
Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan
fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal di asrama. Pengelolaan
asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB
tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit
asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas,
sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk
tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras
(SLB-E), serta SLB AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada
SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah
dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di
sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi
peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas
antar jemput.
3.
Sekolah Luar Biasa dengan Kelas Jauh
Kelas
jauh adalah lembaga yang disediakan untuk memberi layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas
jauh merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar
serta pemerataan kesempatan belajar.
Anak
berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan
sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di
kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi
tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut
berasal dari guru SLB- SLB di dekatnya. Dengan kata lain, kelas jauh tersebut
sebagai afiliansi dari SLB terdekat sebagai sekolah induk.
4.
Sekolah Luar Biasa dengan Guru Kunjung
Berbeda
halnya dengan kelas jauh, kelas kunjung adalah suatu layanan terhadap ABK yang
tidak siap mengikuti proses pembelajaran di SLB terdekat. Jadi, guru berfungsi
sebagai guru kunjung (itinerant teacher) yang datang ke rumah-rumah ABK
untuk melayani mereka belajar. Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB
terdekat tersebut.
Kelebihan dari sistem
layanan segregasi ini adalah (1) anak merasa senasib, sehingga dapat
menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat
menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi
dengan temannya yang sama-sama mengalami hambatan, (3) anak termotivasi dan
bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan
anak lebih mudah bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan
rasa kurang percaya diri.
Adapun kekurangannya
adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit
bergaul dan menjalin komunikasi dengan anak-anak pada umumnya, (2) anak merasa
terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak-anak kebutuhan khusus saja
sehingga pada giliranya dapat menghambat perkembangan sosialisasinya di
masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di sekolah
yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkebutuhan khusus.
Bentuk Layanan Integrasi/Terpadu
Sistem pendidikan
integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang
membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak-anak
pada umumnya. Keterpaduan tersebut menurut Suparno dan Purwanto (1991: 12-14)
dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan
secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas
dalam jumlah tertentu dari jumlah peserta didik keseluruhan. Hal ini untuk
menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus
melayani berbagai macam jenis anak berkebutuhan khusus.
Untuk membantu
kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu
disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan
bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri.
Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau
guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3
bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut yaitu (a) Kelas Biasa, (b)
Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus, dan (c) Bentuk Kelas Khusus.
1.
Kelas Biasa
Di
kelas biasa ini, ABK bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya terlibat
dalam proses belajar mengajar dan secara penuh menggunakan kurikulum dimana
sekolah tersebut berlaku. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya
berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi,
atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing
khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam
mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang
konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan,
metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan
yang digunakan dalam sekolah umum. Kalaupun terdapat penyesuaian untuk beberapa
kasus ringan saja atau sangat memungkinkan dilakukan oleh guru. Misalnya, untuk
anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu
disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian,
bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara
anak. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
2.
Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada
kelas ini, ABK belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum dimana
sekolah tersebut berlaku serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran
tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan
anak reguler.
Pelayanan
khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus
(GPK) dengan menggunakan pendekatan individual dan metode peragaan yang
sesuai.
Untuk keperluan tersebut di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak
tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga
keterpaduan sebagian.
3.
Kelas Khusus
ABK mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada
sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini
disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi.
Pada tingkat
keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di
kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian sama dengan yang digunakan
di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang
artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat
non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu
jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Pada
kelas khusus, biasanya terdapat beberapa peserta didik yang memiliki derajat
kekhususan yang relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran
individual (individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki
kekhususan. Tujuan pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak
agar tidak terjadi tinggal kelas/drop out atau untuk menemukan gejala
keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya kelas khusus
bersifat fleksibel.
Adapun
kelebihan model ini adalah sebagai berikut.
-
Peserta
didik berkebutuhan khusus dapat bermain bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya. Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal
antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan anak-anak pada umumnya, begitu
pula sebaliknya. Ini akan berdampak baik pada pertumbuhan sikap peserta
didik-peserta didik tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah
dewasa.
-
Peserta
didik berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih positif, karena di
sekolah umum ada lebih banyak peserta didik dibanding SLB.
-
Peserta didik berkebutuhan khusus dapat
membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
-
Peserta
didik berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang
dekat dengan tempat tinggalnya; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
-
Dari sisi
kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan khusus
akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan peserta didik pada umumnya.
-
Potensi
anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan pendekatan
individual atau kelompok kecil
Di samping
kelebihan terdapat juga kekurangannya, antara lain adalah sebagai berikut.
-
Anak
berkebutuhan khusus kadang-kadang masih mendapatkan stigma negatif dari
sebagian temannya sehingga dapat mengganggu perkembangan psikologisnya yang
berdampak pada perkembangan belajarnya.
-
Anak
berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk
bergaul dengan mereka yang bukan kategori anak berkebutuhan khusus.
-
Sebagian
orangtua tidak menerima bila anaknya dicap sebagai anak berkebutuhan khusus
apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama anak berkebutuhan khusus dalam kelas
khusus.
-
Peserta
didik anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran
dan kurikulum yang ada.
Bentuk Layanan Inklusif
Bentuk layanan
pendidikan inklusif yakni layanan pendidikan yang di dalam sekolah/kelas umum
terdapat peserta didik yang beragam, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang
tumbuh dan berkembang secara berbeda dibanding dengan anak-anak pada umumnya.
(ingat materi tentang keberagaman). Bentuk layanan ini prinsipnya adalah mereka
hadir bersama-sama, saling menghargai dan menerima perbedaan, semua bisa
berpartisipasi dalam kegiatan belajar sesuai
dengan kemampuannya
masing-masing dan diyakini semua anak dalam kelas bisa mencapai prestasi sesuai
kondisinya masing-masing.
Bentuk layanan yang
inklusif di sekolah umum menggunakan kurikulum yang ada di sekolah tersebut,
tetapi guru memungkinkan melakukan perubahan terkait dengan kondisi kelas yang
beragam. Guru sangat memungkinkan memodifikasi dan mengadaptasi kurikulum
ketika terdapat anak yang kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan belajar.
Seringkali disebut dengan kurikulum akomodatif atau juga kurikulum yang
fleksibel. (akan dipelajari selanjutnya pada materi sistem layanan
pembelajaran). Silakan pelajari juga materi di link sebagai berikut:
https://civitas.uns.ac.id/jokoyuwono/2020/07/04/bentuk-layanan-pendidikan-khusus-least-restrictive-environment-lre-hallahan-kauffman-1991/
Pada
proses belajar dalam kelas dengan peserta didik yang beragam (inklusif) guru
kelas atau guru mata pelajaran bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan
kegiatan belajar. Tidak menutup kemungkinan guru membutuhkan pertolongan GPK
untuk merancang kegiatan belajar sehingga semua anak bisa belajar di dalam
kelas yang sama.
Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
5)
Pengertian
Identifikasi
diartikan untuk menemukenali. Identifikasi ABK dimaksudkan sebagai usaha
seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk
mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (fisik,
intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis) dalam
pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak normal seusianya.
Identifikasi
anak berkebutuhan khusus dapat dilakukan berdasarkan gejala-gejala yang dapat
diamati (manifes) dan gejala yang tidak dapat diamati (latin) seperti (1)
gejala fisik, (2) gejala perilaku, dan (3) gejala hasil belajar. Gejala fisik
yang dapat diamati dan dijadikan sebagai acuan dalam proses pengidentifikasian,
misalnya adanya gangguan penglihatan, pendengaran, wicara, kekurangan gizi,
pengaruh obat-obatan dan minuman keras, atau semuanya yang menyangkut
terganggunya fungsi fisik. Gejala perilaku misalnya, perilaku sosial yang
negative seperti suka membolos, suka merusak, berkelahi, berbohong, malas atau
semua perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku
dimasyarakat. Sedangkan gejala hasil belajar dapat diketahui setelah dilakukan
pengetesan dan terlihat dari data hasil tes yang rendah yang mengakibatkan
tidak naik kelas bahkan dikeluarkan dari sekolah alias drop out (DO), atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan akademis. Apabila gejala-gejala
tersebut diatas ditemukan pada anak, maka patut ditandai dan dicurigai sebagai
anak berkebutuhan khusus. Proses semacam inilah yang disebut sebagai kegiatan
identifikasi (Riana Bagaskorowati, 2007).
6)
Tujuan dan Fungsi
Secara
umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap
mengenai kondisi anak dalam rangka penyusunan program pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan khususnya, sehingga anak terhindar dari problema belajar.
Sedangkan
fungsi dari identifikasi dalam pendidikan inklusif berfungsi sebagai pendekatan
untuk menemukan anak yang diduga berkelainan, jenis kelainannya apa, agar tidak
terjadi pernafsiran yang salah tentang kondisi objektif peserta didik.
g
Sasaran
Dalam
kontek ini sasaran identifikasi adalah semua peserta didik di sekolah inklusif
yang diduga menunjukkan adanya gejala penyimpangan/kelainan baik fisik,
perilaku, dan hasil belajar.
h
Strategi
Model A
4)
Menghimpun Data Anak
5)
Menandai anak yang diduga menunjukkan gejala
penyimpangan/kelainan
6)
Melakukan
identifikasi menggunakan instrumen sesuai dengan gejala penyimpangan/kelainan
anak
7)
Menganalisis data dan mengklasifikasikan dalam
jenis penyimpangan/ kelainannnya
8)
Melakukan case
conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menetapkan
jenis penyimpangan/kelainan dan tindakan lanjut yang akan dilakukan pada anak
tersebut.
9)
Mengkomunikasikan
hasil identifikasi kepada orang tua murid tentang jenis penyimpangan/kelaian
dan tindak lanjut yang akan dilakukan bersama.
Model B
g.
Melakukan
identifikasi kepada semua peserta didik pada kelas awal menggunakan instrumen
form 1 identifikasi umum (Form terlampir)
h. Melakukan analisis untuk menentukan peserta
didik yang menunjukkankan adanya gejala penyimpangan/kelainan.
i.
Melakukan
identifikasi khusus sesuai dengan gejala penyimpangan/ kelainan peserta didik
menggunakan instrumen form 2 (instrumen Form2 terlampir)
j.
Menganalisis dan mengklasifikasikan dalam
jenis penyimpangan/ kelainannnya.
k.
Melakukan case
conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menetapkan
jenis penyimpangan/kelainan dan tindakan lanjut yang akan dilakukan pada anak
tersebut.
g.
Mengkomunikasikan
hasil identifikasi kepada orang tua murid tentang jenis penyimpangan/kelaian
dan tindak lanjut yang akan dilakukan bersama.
Asesmen Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
2.
Pengertian
Beberapa
ahli mengemukakan pengertian asesmen seperti berikut ini: Lerner (Mulyono,
2001) mengemukakan bahwa assesmen adalah suatu proses pengumpulan informasi
selengkap-lengkapnya mengenai individu yang akan digunakan untuk membuat
pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan individu tersebut.
Selanjutnya Aianscow (Munawir Yusuf , 2007) menjelaskan bahwa assesmen
dilakukan berkenaan dengan pemberian informasi kepada sejawat (teman guru),
pencatatan pekerjaan yang telah dilakukan oleh anak didik, pemberian bantuan
pada guru untuk merencanakan pembelajaran pada anak, pengenalan terhadap
kekuatan dan kekurangan pada anak dan pemberian informasi kepada pihak-pihak
terkait (seperti orang tua, psikolog, dan para ahli lain) yang membutuhkan
informasi tersebut.
Sementara
itu secara khusus. Sementara itu secara khusus Mcloughlin dan lewis (Sunardi
dan Sunaryo, 2007) menjelaskan bahwa asesmen pendidikan anak berkelainan adalah
proses pengumpulan informasi yang relevan dengan kepentingan anak, yang
dilakukan secara sistematis dalam rangka pembuatan keputusan pengajaran atau
layanan khusus.
Dengan
demikian dapat dimaknai bahwa asesmen anak berkebutuhan khusus adalah suatu
proses pengumpulan informasi tentang anak secara menyeluruh yang berkenaan
dengan kondisi dan karakteristik kelainan, kelebihan dan kekurangan sebagai
dasar dalam penyusunan program pembelajaran dan program kebutuhan khusus yang
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak.
Identifikasi
dan asesmen merupakan tahapan atau rangkaian kegiatan dari suatu proses
pelayanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Identifikasi sering
disebut sebagai kegiatan penjaringan, sedangkan asesmen disebut penyaringan
(Direktorat PSLB, 2007). Kegiatan penjaringan biasanya belum tentu dilanjutkan
ke kegiatan penyaringan. Sementara itu, kegiatan penyaringan sudah tentu
dilakukan karena adanya kegiatan
penjaringan.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan identifikasi dapat dilakukan oleh guru dan pihak
lain yang dekat dengan anak, seperti orang tua dan keluarganya, sedangkan
asesmen biasanya perlu melibatkan tenaga profesional yang ahli dalam bidangnya,
seperti psikolog, sosiolog dan terapist.
3.
Jenis asesmen dalam pendidikan khusus
a.
Asesmen akademik
Asesmen
akademik adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi/kemampuan peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK) dalam bidang akademik. Bagi PDBK pada jenjang
preeschool, kemampuan akademik yang perlu digali terkait dengan kemampuan
membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan bagi PDBK pada jenjang pendidikan
dasar dan selanjutnya, kemampuan akademik yang perlu digali adalah terkait
dengan semua bidang studi/mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah tersebut.
b.
Asesmen non-akademik (kekhususan)
Asesmen
kekhususan dalam pendidikan khusus adalah suatu proses untuk mengetahui kondisi
PDBK yang berkaitan dengan jenis hambatan yang disandangnya secara mendalam
komprehensif dan akurat. (Akan dipelajari dalam materi ke 5 pada pertemuan ke 6
tentang pengenalan program kebutuhan khusus).
c.
Asesmen perkembangan
Asesmen
non akademik/perkembangan ini adalah suatu proses untuk mengatahui kondisi
perkembangan PDBK yang terkait dengan kemampuan intelektual, emosi, perilaku,
komunikasi yang sangat bermanfaat dalam mempertimbangkan penggunaan metode,
strategi maupun pemilihan alat bantu yang tepat baik dalam penyusunan
perencanaan pembelajaran (akademik) maupun dalam penyusunan program kebutuhan
khusus.
4.
Tujuan dan fungsi
Tujuan
utama kegiatan asesmen adalah memperoleh informasi tentang kondisi anak, baik
yang berkaitan dengan kemapuan akademik, non akademik dan kekhususan secara
lengkap, akurat dan obyektif.
Sedangkan
fungsi asesmen dalam kontek ini adalah untuk membantu guru dan terapis dalam
menyusun perencanaan pembelajaran dan program layanan kebutuhan khusus yang
tepat. Dalam hal ini hasil asesmen dapat difungsikan sebagai kondisi kemampuan
awal (baseline) anak sebelum diberikan layanan baik akademik maupun program
kebutuhan khusus.
3
Sasaran
Sejalan
dengan tujuan dan fungsi asesmen seperti diuraikan di atas, maka sasaran
asesmen adalah semua peserta didik yang pada fase identifikasi telah ditetapkan
sebagai peserta didik berkebutuhan khusus.
4
Strategi
c.
Menetapkan
jenis asesmen yang akan dilakukan (akademik, non-akademik/kekhususan atau
perkembangan)
d.
Memilih/mengembangkan instrumen asesmen yang
tepat (contoh instrumen terlampir)
e.
Melakukan asesmen sesuai dengan panduan yang
dipersyaratkan.
f.
Melakukan tabulasi, klasifikasi dan analisis
hasil asesmen.
g.
Melakukan case
conference terhadap temuan dan hasil analisis tersebut, untuk menentukan
baseline dan penetapan perencanaan pembelajaran/ program
pengembangan/interfensi yang akan dilakukan.
h.
Mendokumentasikan semua data hasil asesmen dan
kesepakatan hasil case conference.
Planning Matrix
6.
Pengertian
Program
layanan kebutuhan khusus didasarkan pada simpulan hasil asesmen secara
langsung. Hal ini tidak salah namun materi yang dipergunakan sebagai dasar
penyusunan program masih berupa potongan-potongan simpulan atas hasil asesmen
yang telah dilakukan. Quentin Iskov, Project Officer: Disabilities
Department of Education and Children’s
Services
(2012) menambahkan satu tahapan lagi sebelum
menyusun program intervensi, yaitu penyusunan planning matrix.
Planning matrix adalah mapping diskripsi tentang kondisi ABK secara individu
yang menggambarkan tentang kondisi actual hambatan karakteristiknya, dampak,
strategi layanan dan media yang diperlukan dalam intervensi. Deskripsi mapping
karakteristik kebutuhan khusus tersebut selanjutnya disusun skala prioritas
yang
menggambarkan
urutan urgensi masalah yang perlu segera ditangani. Oleh sebab itu dengan
adanya planning matrix ini, guru pendidikan khusus menjadi sangat terbantu,
karena untuk menetapkan program layanan kebutuhan khusus, tinggal menyusun
program layanan kebutuhan khusus tersebut sesuai dengan skala prioritas yang
telah diperoleh. Pada awalnya planning matrix ini dibuat untuk anak
autis spectrum disorder, namun dalam perkembangannya, ABK dengan
hambatan lainnya juga menjadi sangat terbantu dengan plaanning matrix ini.
Jenis hambatan/kelainan pada ABK yang selanjutnya dapat dirumuskan.
g.
Tujuan
Memetakan
kondisi aktual akademik maupun kekhususan ABK berdasarkan hasil asesmen yang
telah dilakukan
Menganalisis
dampak dari masing-masing aspek kondisi aktual ABK baik akademik maupun
kekhususannya.
Menganalisis
strategi layanan yang tepat pada ABK sesuai dengan kondisi dan kebutuhan khusus
ABK baik akademik maupun kekhususannya.
h.
Fungsi
Memudahkan
guru/terapis dalam menetapkan kondisi awal aktual (baseline) ABK baik aspek
akademik maupun kekhususan.
Membantu guru/terapis dalam mempuan mapping
kondisi ABK secara komprehensif.
Memudahkan
guru/terapis dalam menetapkan skala prioritas layanan kekhususan yang harus
segera dilakukan.
i.
Prosedur pengembangan planning matrix
Mengkategorikan data hasil asesmen berdasarkan
jenis hambatan/ kelaianan ABK.
Membuat
tabel mapping ABK berdasarkan jenis hambatan/kelainannya sesuai dengan temuan
asesmen.
Menuangkan
temuan kondisi aktual karakteristik ABK pada tabel mapping yang telah dibuat.
Menganalisis
dampak temuan kondisi aktual ABK dan dituang pada tabel yang telah dibuat.
5.
Menganalisis
strategi layanan pada setiap temuan kondisi aktual ABK dan dituangkan pada
tabel yang telah dibuat.
6.
Menganalisis
skala prioritas layanan berdasarkan berat ringannnya dampak yang telah
dituangkan pada tabel tersebut.
Adaptasi Kurikulum
Dalam Kurikulum 13,
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan
Standar Isi dan Standar Kompetensi lulusan, yang meliputi Kompetensi Inti (KI)
dan Kompetensi Dasar (KD). Untuk pengembangan kurikulum selanjutnya diserahkan
pada satuan pendidikan masing-masing yang nantinya dikenal sebagai Kurikulum
13. Substansi pengembangan kurikulum yang lebih rinci dilakukan berdasarkan
Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kelompok Mata Pelajaran, dan Standar
Kompetensi Mata Pelajaran. Kurikulum ini dikembangkan di tingkat satuan
pendidikan dengan mengingat kondisi daerah dan kondisi kemampuan peserta didik.
Kurikulum 13 adalah
kurikulum yang cocok bagi penyelenggaraan sekolah inklusi. Dengan kurikulum
ini, maka akan memberikan peluang terhadap tiap- tiap anak untuk
mengaktualisasikan segala potensi yang mereka miliki sesuai dengan bakat, kemampuan
dan
perbedaan yang ada pada
setiap anak. Sistem evaluasi pada kurikulum ini berbasis kompetensi yang
menggunakan prinsip ounthentic assessment, yang salah-satu bentuknya adalah
portofolio, memberikan peluang kepada guru untuk melakukan evaluasi dengan
lebih objektif dan adil sesuai dengan prinsip individual defferences.
Inklusi (ketercakupan)
selayaknya tidak dimaknai secara sempit pada aspek peserta didik saja. Namun
inklusi adalah ketercakupan tiga aspek di atas yaitu aspek hardware,
software, dan brainware. Dengan sinerginya ketiga aspek tersebut
bukan tidak mungkin sekolah inklusi akan menjadi benar sebagai awal
kesetaraan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pendidikan, sehingga
mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. education for all perlu
dukungan dari semua pihak.
Pertama adalah aspek
hardware, yaitu meliputi sarana dan prasarana yang mendukung aspek software.
Sarana dan prasarananya memiliki aksesibilitas yang ramah pada setiap peserta
didik.
Kedua adalah aspek software,
yaitu meliputi kurikulum, silabus, dan perangkat penunjang yang lain. Kurikulum
yang digunakan pada sekolah inklusi adalah kurikulum umum (reguler) yang
disesuaikan atau dimodifikasi sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik
peserta didik. Modifikasi ini dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi
waktu, materi atau isi, proses belajar mengajar atau pembelajaran, sarana
prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.
Ketiga adalah aspek brainware,
yaitu meliputi tenaga kependidikan, peserta didik, staf ahli, psikolog, dan
staf pendukung lainnya. Tenaga kependidikan atau guru di sekolah inklusi yaitu
guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Dalam perannya
guru tidak berdiri sendiri, namun kerjasama dari psikolog, dokter anak, bahkan
orang tua peserta didik pun turut andil dalam implementasi menuju sekolah
iklusi yang lebih baik.
Kurikulum yang
digunakan dalam penyelenggaraan program inklusif pada dasarnya adalah
menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian
karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat
bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka
dalam implementasinya di lapangan, kurikulum
reguler perlu dilakukan
modifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Adaptasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu duplikasi, modifikasi,
substitusi, dan omisi.
6.
Model Duplikasi
Duplikasi
artinya meniru atau menggandakan. Meniru berarti membuat sesuatu menjadi sama
atau serupa. Dalam kaitan dengan model kurikulum, duplikasi berarti
mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk PDBK (Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus) secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan
untuk peserta didik pada umumnya (regular). Jadi, model duplikasi adalah cara
dalam pengembangan kurikulum, dimana peserta didik-peserta didik berkebutuhan
khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada
umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat komponen utama kurikulum
yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.
7.
Model Modifikasi
Modifikasi
berarti merubah untuk disesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk
peserta didik berkebutuhan khusus, maka model modifikasi berarti cara pengembangan
kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan untuk peserta didik-peserta
didik regular diubah untuk disesuaikan dengan kemampuan peserta didik
berkebutuhan khusus. Dengan demikian, peserta didik berkebutuhan khusus
menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi
dapat diberlakukan (terjadi) pada empat komponen utama pembelajaran yaitu
tujuan, materi, proses dan evaluasi.
8.
Model Substitusi
Substitusi
berarti mengganti. Dalam kaitan dengan model kurikulum, maka substitusi berarti
mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain.
Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin diberlakukan kepada
peserta didik berkebutuhan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain
yang kurang lebih sepadan (memiliki nilai yang kurang lebih sama). Model
penggantian (substitusi) bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi,
proses atau evaluasi.
9.
Model Omisi
Omisi
berarti menghilangkan. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya
untuk mengilangkan sesuatu (bagian atau keseluruhan) dari kurikulum umum,
karena hal tersebut tidak mungkin diberikan kepada peserta didik berkebutuhan
khusus. Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum
tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus
karena sifatnya terlalu sulit atau tidak sesuai dengan kondisi anak
berkebutuhan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada
materi pengganti yang sepadan, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi
pengganti.
Untuk
melakukan modifikasi dan pengembangan kurikulum dalam program inklusif harus
mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi
kurikulum dalam program inklusif, antara lain sebagai berikut.UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya: Pasal 5 ayat (2): warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pada model kurikulum
ini peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum umum, sama seperti
peserta didik lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih
diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan
belajarnya. Duplikasi dilakukan pada tujuan, isi, proses dan evaluasi.
5)
Duplikasi
tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak
regular juga diberlakukan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian,
maka standar kompetensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk peserta didik
regular juga diberlakukan untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Demikian
juga dengan standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD) dan juga indicator
keberhasilan.
6)
Duplikasi
isi/materi berarti materi-meteri pembelajaran yang diberlakukan kepada peserta
didik regular (umum) juga diberlakukan sama kepada peserta didik-peserta didik
berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus memperoleh
informasi, materi, pokok bahasan atau
sub-pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada peserta didik-peserta
didik regular.
-
Duplikasi
proses berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kegiatan atau
pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada peserta
didik-peserta didik regular. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam
metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media belajar, atau
sumber belajar.
-
Duplikasi
evaluasi, berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani proses evaluasi
atau penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada peserta didik-peserta
didik regular. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian,
kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat
atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.
Strategi Modifikasi Kurikulum
Modifikasi Tujuan dalam
pengembangan kurikulum bertujuan untuk 1) Membantu peserta didik dalam
mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami semaksimal
mungkin dalam setting sekolah inklusif; 2) Membantu guru dan orang tua dalam
mengembangkan program pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik
yang diselenggarakan di sekolah maupun di rumah; dan 3) Menjadi pedoman bagi
sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program
pendidikan inklusif. Penjabaran dari modifikasi tersebut adalah:
-
Modifikasi Tujuan
Modifikasi tujuan
berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalamkurikulum umum dirubah untuk
disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Sebagai
konsekuensi dari modifikasi tujuan, maka peserta didik berkebutuhan khusus akan
memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan peserta didik-peserta
didik regular, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL),
kompetensi inti (SK), kompetensi dasar (KD) maupun indikator.
-
Modifikasi Isi
Modifikasi
isi berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untukpeserta didik
regular dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi peserta didik berkebutuhan
khusus. Dengan demikian, peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan sajian
materi yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan
keluasan, kedalaman dan atau tingkat kesulitan. Artinya, peserta didik berkebutuhan
khusus mendapatkan materi pelajaran yang tingkat kedalaman, keluasan dan
kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada
peserta didik regular.
-
Modifikasi Proses
Modifikasi proses
berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaranyang dijalani oleh peserta
didik berkebutuhan khusus dengan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya.
Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk peserta
didik-peserta didik regular tidak diterapkan untuk peserta didik berkebutuhan
khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan
kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan
dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar,
media belajar, sumber belajar dan lain-lain.
-
Modifikasi Evaluasi
Modifikasi evaluasi
berarti ada perubahan dalam system penilaianuntuk disesuaikan dengan kondisi
peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, peserta didik berkebutuhan
khusus menjalani sistem evaluasi yang berbeda dengan peserta didik-peserta
didik lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam
soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau
tempat evaluasi dan lain-lain. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi
adalah perubahan dalam criteria kelulusan, system kenaikan kelas, bentuk
raport, ijazah dan lain-lain.
Ada empat kemungkinan
model kurikulum yaitu duplikasi, modifikasi, substitusidan omisi,
dan ada empat komponen utama kurikulum yaitu tujuan, materi, proses dan
evaluasi. Mengembangkan kurikulum untuk peserta didik
berkebutuhankhusus pada dasarnya adalah mengawinkan antara model kurikulum
dengan komponen kurikulum. Setiap satu komponen dari model kurikulum dipadukan
dengan setiap komponen dari komponen kurikulum, sehingga akan terjadi 16
kemungkinan perpaduan (4 x 4). Lihat gambar skematik berikut:
Gambar
di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan model kurikulum
untuk peserta didik berkebutuhan khusus, yaitu 4 kemungkinan model untuk tujuan
(1,2,3,4) empat kemungkinan model untuk materi (5,6,7,8) 4 kemungkinan model
untuk proses (9,10,11,12) dan 4 kemungkinan model untuk evaluasi (13,14,15,16).
(Budianto)
Ketika
seorang guru akan merancang kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus,
maka akan muncul 16 pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah tujuan
pembelajaran yang akan diberlakukan kepada peserta didik berkebutuhan khusus
harus sama dengan peserta didik lainnya? Ataukah dimodifikasi? Atau diganti
(substitusi)? Atau dihilangkan (omisi)? Pertanyaan serupa diajukan berkenaan
dengan materi pelajaran. Kemudian berkenaan dengan proses dan terakhir terkait
dengan cara evaluasi.
Ada
kemungkinan bahwa tujuan pembelajarannya disamakan (duplikasi), tetapi
materinya harus dimodifikasi. Kemungkinan lain adalah tujuan
pembelajarannyadimodifikasi, materinya juga dimodifikasi, tetapi prosesnya
disamakan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran, materi, proses
dan juga evaluasi semuanya harus dimodifikasi. Modifikasi atau tidaknya suatu
komponen sangat bergantung kepada kondisi, sifat atau kadar dari komponen
tersebut serta tingkat hambatan yang dialami oleh peserta didik berkebutuhan
khususnya. Semakin berat tujuan atau materi pembelajaran yang ada, maka
semakin perlu untuk dimodifikasi. Dan semakin
berat hambatan intelektual peserta didik, juga semakin perlu modifikasi
dilakukan. (Budianto)
Program Pembelajaran Individual (PPI)
Pendahuluan
Sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif para peserta didiknya memiliki kemampuan yang heterogen, karena
peserta didik di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di samping anak-anak
umum juga terdapat anak-anak berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan
khusus ini memiliki keragaman kelainan baik fisik, intelektual, sosial,
emosional, dan atau sensoris neurologis.
Pembelajaran di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif yang kemampuan peserta didiknya sangat
heterogen, berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum yang memiliki kemampuan
homogen. Para guru umum, pada umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar peserta
didik yang mengalami kelainan atau berkebutuhan khusus, sehingga sering kali
mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan khusus.
Kegiatan pembelajaran
dilaksanakan dengan maksud agar peserta didik menguasai kompetensi dasar mata
pelajaran. Agar kompetensi dasar dapat tercapai secara tuntas guru perlu
memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di
kelas inklusi secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku
bagi peserta didik pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif
terdapat peserta didik dengan kebutuhan khusus yang mengalami kelainan baik
fisik, intelektual, sosial, emosional, dan atau sensoris neurologis, maka guru
yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum
pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran khusus
sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu
pelaksanaan kegiatan pembelajaran harus dirancang dengan baik, disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap individu peserta didik dan didukung oleh
kompetensi pendidik, media, sumber dan strategi pembelajaran yang memadai,
sesuai dengan standar pelayanan.
Hal-Hal Penting dalam Membuat PPI
Para guru umum, pada
umumnya tidak dipersiapkan untuk mengajar peserta didik berkebutuhan khusus,
sehingga seringkali mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan anak berkebutuhan
khusus. Beberapa alternatif program pelayanan yang dapat dipilih sesuai dengan
kebutuhan peserta didik di antaranya adalah: a. Layanan pendidikan penuh, b.
Layanan pendidikan yang dimodifikasi, c. Layanan pendidikan individualisasi .
Kegiatan pembelajaran
hendaknya dirancang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, kemampuan dan
karakteristik peserta didik, serta mengacu kepada kurikulum yang dikembangkan.
Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif antara lain seperti di bawah ini.
-
Menetapkan tujuan
-
Merencanakan pengelolaan kelas; termasuk
mengatur lingkungan fisik dan sosial
-
Menetapakan
dan pengorganisasian bahan/materi; topik apa yang ingin diajarkan kepada
peserta didik
-
Merencanakan
strategi pendekatan kegiatan pembelajaran; bagaimana bentuk kegiatannya, apakah
peserta didik mendapat kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran
-
Merencanakan
prosedur kegiatan pembelajaran; bagaimana bentuk dan urutan kegiatannya, apakah
kegiatan itu sesuai untuk semua peserta didik, dan bagaimana peserta didik
mencatat, mendokumentasikan, dan menampilkan hasil belajarnya
-
Merencanakan
penggunaan sumber dan media belajar; sumber belajar mana yang akan digunakan,
media apa yang sesuai dan tidak membahayakan peserta didik.
-
Merencanakan
penilaian; bagaimana cara peserta didik telah menyelesaikan tugasnya dalam
suatu proses pembelajaran, dan apa bentuk tindak lanjut yang diinginkan.
Kegiatan pembelajaran
dalam seting inklusif akan berbeda baik dalam strategi, kegiatan, media, dan
metode. Dalam seting inklusif, guru hendaknya dapat mengakomodasi semua
kebutuhan peserta didik di kelas yang bersangkutan termasuk membantu mereka
memperoleh pemahaman yang sesuai dengan gaya belajarnya masing-masing.
Hambatan belajar dapat
berasal dari kesulitan menentukan strategi belajar dan metode belajar lainnya
sebagai akibat dari faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau
gabungan dari beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensoris
seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam
memperoleh masukan informasi dari luar. Disfungsi minimal otak mungkin akan
berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.
Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran pada model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan
kegiatan pembelajaran pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler,
bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda
secara signifikan; namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar
antara peserta didik luar biasa dengan peserta didik normal biasanya tidak
sama, bahkan antara sesama peserta didik luar biasa pun dapat berbeda.
Merencanakan kegitan
pembelajaran dalam pendidikan inklusif yaitu: (1) melaksanakan pembelajaran
yang mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik termasuk peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK), (2) memiliki desain pembelajaran yang lebih peka
dalam mempertimbangkan keragaman peserta didik agar pembelajarannya relevan dengan
kemampuan dan kebutuhan peserta didik, (3) melaksanakan asesmen sebelum
pelaksanaan pembelajaran yaitu proses pengumpulan informasi tentang seorang
peserta didik yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang
berhubungan dengan peserta didik tersebut, (4) memiliki rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), satuan pendidikan memiliki program pembelajaran individual
(PPI) yang disusun sesuai dengan kebutuhan peserta didik, (5) merancang atau
menyusun bahan ajar yang disesuaikan dengan keberagaman peseta didik, (6) mampu
menggunakan berbagai pendekatan mengajar yang sesuai dengan kebutuhan semua
peserta didik termasuk peserta didik berkebutuhan khusus, dan (7) menyediakan
layanan program khusus bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus,
termasuk peserta didik yang berkesulitan belajar atau peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Berbagai pendekatan dalam kelompok
1.
Pembelajaran langsung pada seluruh kelas
Pendekatan
ini cocok untuk memperkenalkan berbagai topik. Guru menyiapkan beberapa
pertanyaan untuk dijawab peserta didik sesuai dengan kemampuannya. Guru dapat
menggunakan kelas untuk bercerita atau menunjukkan karya mereka seperti membuat
puisi, lagu, bercerita atau membuat permainan secara bersama-sama. Guru harus
berupaya menciptakan strategi pembelajaran dengan materi yang sesuai yang dapat
mengakomodasi semua keragaman. Untuk dapat mendorong semua peserta didik aktif,
guru dapat memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok atau memberikan
tugas yang sama dengan hasil yang diharapkan berbeda.
2.
Pembelajaran Individual
Pembelajaran
individual diberikan pada peserta didik tertentu untuk membantu mereka
menyelesaikan masalahnya seperti pada peserta didik berbakat dengan mendorong
mereka memberikan tugas yang lebih menantang.
3.
Pembelajaran untuk kelompok kecil
Guru
membagi peserta didik dalam kelompok kecil dengan menggunakan strategi yang
efektif yang dapat memenuhi semua kebutuhan peserta didik. Guru dapat mendorong
peserta didik agar dapat bekerja lebih kooperatif.
4.
Pembelajaran yang kooperatif
Pembelajaran
yang kooperatif terjadi ketika peserta didik berbagi tanggungjawab untuk
mencapai tujuan bersama. Guru hendaknya berupaya menghindari pembelajaran yang
kompetitif. Dalam pembelajaran kooperatif, guru memegang peranan penting untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar sehingga peserta didik
merasa mampu mengatasi permasalahan mereka sendiri dan merasa dihargai.
Pembelajaran yang kooperatif dapat membantu peserta didik meningkatkan
pemahaman dan rasa senang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,
terhadap kelompoknya, dan terhadap pekerjaannya. Setiap peserta didik hendaknya
diberi kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilannya seperti peserta
didik perempuan menjadi presenter, dan peserta didik laki-laki menjadi notulis
dan kegiatan lainnya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari aktivitas
kerja kelompok yang kooperatif.
Penyusunan Program Pembelajaran Individual
Secara sistematis
format identitas, Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Tujuan,
Indikator, materi pembelajaran, alat/media dan Penilaian.Guru kelas atau guru
bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru Pendidikan Luar Biasa (PLB)
atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi
peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana pembelajaran reguler, modifikasi
pembelajaran serta program pengajaran individual (PPI) untuk anak berkebutuhan
khusus.
PPI merupakan rencana
pengajaran yang dirancang untuk satu orang peserta didik yang berkebutuhan
khusus atau yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa. PPI harus merupakan
program yang dinamis artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan
peserta didik, dan disusun oleh sebuah tim terdiri dari orang tua/wali murid,
guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus/PLB, dan peserta didik
yang bersangkutan yang disusun secara bersama-sama. Idealnya PPI tersebut disusun
oleh tim terdiri dari Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Tenaga ahli dan Profesi
terkait, orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran dan guru
pendidikan khusus/PLB, serta peserta didik yang bersangkutan.
Rencana program
Pembelajaran Individual (PPI)diperuntukkan bagi individu yang memang tidak
memungkinkan menggunakan kurikulum reguler maupun modifikasi. Tingkat kebutuhan
pelayanan khususnya termasuk sedang atau agak berat. Mereka diberikan kurikulum
PPI yang dikembangkan oleh tim sekolah, orangtua, dan profesi lain. Tempat
pembelajaran tidak harus di kelas reguler, dapat di kelas khusus yang ada di
sekolah reguler sesuai dengan kemampuan peserta didik. Proses pembelajaran dan
penilaian menggunakan standar yang berbeda dengan program tambahan.
Program Tambahan yang diperlukan (sesuai
kebutuhan)
a.
Bimbingan Keterampilan khusus sesuai
hambatannya dilaksanakan oleh guru kelas.
b.
Bimbingan
keterampilan khusus sesuai hambatannya dilaksanakan oleh GPK (di kelas/di luar
kelas),
c.
Bimbingan
akademik di luar kelas (remedial teaching) oleh guru kelas/GPK/ lainnya.
Program pengayaan horisontal oleh guru kelas/ GPK.
d.
Program
percepatan belajar oleh guru kelas/Bd. Studi dengan SKSProgram pengembangan
bakat istimewa/ keterampilan vokasinal
e.
Program intervensi dengan melibatkan profesi
lain
Di dalam pembuatan PPI penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip
dasarnya dan komponen dalam PPI. Adapun beberap prinsip-prinsip dan komponen
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Berorientasi pada peserta didik
b.
Sesuai potensi dan kebutuhan anak
c.
Memperhatikan kecepatan belajar masing-masing
d.
Mengejar ketertinggalan dan
mengoptimalkankemampuan
Komponen PPI secara garis besar meliputi:
a.
Deskripsi singkat kemampuan peserta didik
sekarang,
b.
Tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka
pendek (khusus),
c.
Rincian
layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang terkait, termasuk Seberapa
besar peserta didik dapat berpartisipasi di kelas reguler,
d.
Sasaran
e.
Metode
f.
Ketercapaian sasaran
g.
Evaluasi
h.
Pembelajaran Akomodatif
Pengertian
Pengertian akomodasi
dalam kamus (Lerner & Kline, 2006) adalah penyesuaian dan modifikasi
program pendidikan untuk memenuhi kebutuhan anak dengan kebutuhan khusus.
Heyden (2004) memaknai akomodasi sebagai perubahan yang dilakukan supaya
peserta didik berkebutuhan khusus dapat belajar di ruang kelas biasa. Jadi
akomodasi dapat diartikan sebagai perubahan berupa penyesuaian dan modifikasi
yang diberikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus sesuai dengan
kebutuhannya.
Pembelajaran merupakan
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Piaget (dalam Carpendale, Muller,&Bilbok, 2008: 799),
berpendapat bahwa pengetahuan dibangun atas dua proses yakni scheme, proses
asimilasi dan proses akomodasi. Akomodasi adalah proses dimana anak memperluas
dan memodifikasi representasi-representasi mental mereka tentang dunia,
pengalaman-pengalaman baru.
Sedangkan Kaufmann dan
Hallahan (2006: 57) mengatakan tentang akomodasi, “... changes in the
delivery of instruction, type of student performance, or method of assessment
which do not significantly change the content or conceptual difficulty of the
curriculum.”
Pendapat tersebut
memaknai akomodasi sebagai perubahan dalam pengantar pembelajaran yang
dilakukan supaya metode ataupun penilaian yang secara signifikan tidak mengubah
konten atau konsep dari kurikulum. Maka dari itu, akomodasi pembelajaran adalah
upaya pendidik yang dilakukan dalam pembelajaran supaya peserta didik dalam
kelasnya mampu menerima informasi yang diberikan guru sesuai dengan kemampuan
peserta didik tersebut.
Kesiapan Guru
Berkenaan intervensi
guru dalam pembelajaran untuk peserta didik ABK, Kaufman dan Hallahan (2006:
19) memberikan poin-poin penting yang baik dilakukan oleh guru, yaitu:
1.
Memaksimalkan akomodasi kebutuhan individu
peserta didik
Guru
berhadapan dengan berbagai peserta didik yang memiliki keragaman di dalam
kelas. Oleh karena itu guru harus memiliki kemampuan untuk menemukan kebutuhan
individual yang mungkin berbeda dibandingkan dengan kebutuhan rata-rata peserta
didik normal. Kemampuan dalam fleksibilitas, adaptasi, akomodasi, dan perhatian
khusus diharapkan dimiliki oleh setiap guru.
2.
Evaluasi kemampuan dan ketidakmampuan peserta
didik
Guru harus mampu menganalisis dan melaporkan
kemampuan peserta didik secara spesifik yang dapat ditunjukkan dalam bidang
akademik maupun tidak.
3.
Merujuk pada evaluasi
Guru
harus mampu mengobservasi perilaku dan kebiasaan peserta didik yang diduga
memiliki kebutuhan khusus. Dengan begitu, sekolah mampu mendokumentasikan dan
merancang strategi dalam pembelajaran untuk peserta didik berkebutuhan khusus.
4.
Berpartisipasi dalam pertemuan dengan para
ahli
Guru harus mau dan mampu untuk bekerja sama
dengan ahli profesional dalam menetapkan seorang peserta didik ke dalam
katagori kebutuhan khusus.
5.
Berpartisipasi dalam perancangan program
individu
Rancangan
Program Individu harus dibuat untuk setiap anak berkebutuhan khusus.
6.
Menjalin komunikasi dengan orang tua atau wali
Guru harus mau berkontribusi dalam komunikasi
dengan orang tua mengenai masalah yang dihadapi peserta didik, penempatan, dan
perkembangan yang diamalinya.
7.
Berkolaborasi
dengan ahli profesional dalam memaksimalkan kemampuan peserta didik Secara umum
guru diharapkan bertindak secara profesional dan bertanggung jawab dengan cara
berkerja sama dengan ahli untuk memahami peserta didik berkebutuhan khusus.
Sehingga para ahli dapat menyarankan atau mengevaluasi tindakan yang telah
dilakukan kepada anak berkebutuhan khusus.
Dari pendapat-pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa akomodasi pembelajaran adalah cara atau upaya
yang dilakukan pendidik dalam membangun pengetahuan untuk peserta didiknya
sesuai dengan kebutuhan anak dan tahap perkembangannya. Termasuk untuk peserta
didik berkebutuhan khusus dapat belajar di kelas biasa. Dengan upaya yang
dilakukan pendidik tersebut, diharapkan peserta didik berkebutuhan khusus dapat
menangkap informasi dalam pembelajaran semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan
yang mereka miliki. Upaya pemberian layanan akomodasi dapat terlaksana dengan
lebih optimal apabila guru dapat melakukan asesmen sendiri. Dari proses asesmen
yang dilakukan oleh guru, pemberian layanan akomodasi dapat sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan tahap perkembangan anak, dengan begitu pemberian
akomodasi terlaksana dengan lebih optimal.
Kaufman dan Hallahan
(2006: 57) mengungkapkan bahwa akomodasi yang sering dilakukan oleh guru dalam
pembelajaran meliputi perubahan dalam waktu, input, output, partisipasi, dan
tingkat dukungan.
Contoh akomodasinya adalah penambahan waktu dalam pemecahan soal matematika,
kemudian dalam pelajaran sejarah dapat menggunakan bagan untuk menunjukkan
poin-poin penting, dan sebagainya.
Aspek yang Diakomodasi
Sedangkan akomodasi yang bersifat umum
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Akomodasi dalam hal materi
Peserta
didik yang berkebutuhan belajar cenderung memerlukan penyesuaian lebih ketika
mengikuti materi pelajaran. Terutama anak yang memiliki kebutuhan khusus yang
kekurangan dalam hal kognisi cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak
normal lainnya.
Menurut Swason (dalam Pujaningsih, 2010:
200-201), bentuk pengajaran yang baik untuk anak berkebutuhan khusus lamban
belajar adalah:
a)
Bertahap
Bertahap merupakan suatu proses yang dilakukan
dengan beberapa langkah atau urutan peningkatan.
b)
Drill
Meliputi
pengulangan dan praktik.Pembelajaran dalam bentuk drill dilakukan dengan
dilakukan pengulangaan setiap hari, pengulangan dalam latihan, dan pemberian
pembahasan materi secara bertahap.
c)
Pembagian materi
Materi yang diberikan dalam satu pembelajaran
tidak diberikan secara langsung di awal. Namun, dibagi menjadi beberapa bagian.
Materi
tersebut diberikan kepada peserta didik satu persatu sehingga dapat membantu
peserta didik untuk memahami sedikit demi sedikit, pada akhirnya materi itu
disatukan dan digabungkan di akhir menjadi satu kesatuan.
d)
Pertanyaan dan jawaban langsung
Pertanyaan
dan jawaban langsung adalah saat dimana guru bertanya kepada peserta didik slow
learner secara langsung dan peserta didik diminta untuk menjawab pertanyaan
tersebut secara langsung. Pertanyaan langsung yang diberikan guru ke peserta
didik dapat memfokuskan peserta didik untuk tetap memperhatikan materi pelajaran.
Selain itu, guru dapat mengetahui sejauh mana pemahaman peserta didik.
e)
Kontrol tingkat kesulitan
Kontrol
tingkat kesulitan dapat dilakukan dengan memperhatikan tingkatan pengetahuan.
Tingkat kesulitan dimulai dari tingkat yang paling mudah, meningkat menuju
tingkat yang lebih sulit.
f)
Penggunaan teknologi
Guru
memberikan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran yang ada dengan
semaksimal mungkin. Sehingga, dalam pembelajaran peserta didik terbantu dalam
menangkap informasi yang ada. Teknologi yang dapat digunakan seperti
kalkulator, komputer, LCD, OHP, dan lain-lain.
g)
Pemberian contoh pemecahan masalah oleh guru
Guru
memberikan contoh dan langkah dalam pemecahan masalah. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberikan variasi pembelajaran menggunakan berbagai pendekatan.
h)
Pembelajaran pada kelompok kecil
Pembelajaran
dalam kelompok kecil dapat membantu peserta didik untuk lebih memahami
pembelajaran. Tutor sebaya dalam kelompok kecil dapat saling membantu peserta
didik untuk memahami informasi dan memecahkan masalah yang diberikan.
Pembentukan kelompok memungkinkan kerjasama antar peserta didik dan saling
membantu ketika mengalami kesulitan, selain itu pengelompokkan juga mampu
menigkatkan partisipasi peserta didik.
i)
Pemberian isyarat-isyarat tertentu.
Untuk peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus dalam segi fisik, pemberian isyarat-isyarat tertentu menjadi suatu hal
pokok yang tidak boleh dilupakan.
Pemberian
akomodasi dalam hal materi tersebut diharapkan dapat memaksimalkan peserta
didik dalam menerima informasi sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Penguasaan
materi semaksimal mungkin akan membantu peserta didik dalam peningkatan
prestasi akademik.
2.
Pemberian tugas dan penilaian
Guru
memberi bantuan saat anak mengajarkan tugas atau guru memberikan tugas soal
dengan urutan tingkat kesulitan dari yang rendah ke tingkat kesulitan yang
lebih tinggi. Hal ini dilakukan secara bertahap. Pemberian tugas dengan
peningkatan urutan tingkat kesulitan dapat menuntun peserta didik dalam
membangun konsep yang matang. Dengan konsep yang matang diharapkan dapat
mengupayakan peserta didik dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya.
Alternatif dalam mengevaluasi anak
berkebutuhan khusus dalam kelas reguler dapat dilakukan dengan cara berikut:
a.
Evaluasi sesuai dengan standar dan dengan cara
yang sama dengan peserta didik lain.
b.
Evaluasi
sesuai dengan standar namun disertai dengan akomodasi tertentu. Evaluasi ini
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik anak.
c.
Evaluasi alternatif dengan standar kesulitan
yang sama dengan peserta didik lain.
d.
Evaluasi alternatif dengan standar kesulitan
yang disesuaikan dengan kemampuan anak.
Akomodasi
dalam proses evaluasi dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu:
a.
Penyampaian soal, guru menyampaikan soal
dengan mengulang intruksi, membacakan.
b.
Cara
menjawab soal, misal: peserta didik tidak harus menuliskan jawaban namun ia
dapat menandai jawaban sesuai di buku.
c.
Tempat,
misal untuk peserta didik dengan perhatian terbatas, dapat mengikuti ulangan di
ruangan terpisah yang agak sepi.
d.
Waktu: pemberian waktu yang lebih banyak
dengan jeda untuk istirahat.
3.
Tuntutan Waktu
Lingkungan
belajar yang menyenangkan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik,
termasuk anak yang berkebutuhan khusus. Dengan motivasi tinggi anak akan senang
untuk belajar dan berusaha untuk memahami materi yang disampaikan.
Hal
yang dapat guru lakukan dalam memberikan penyampaian materi agar menarik
perhatian peserta didik adalah dengan membuat permainan atau kegiatan
menyenangkan lainnya. Anak yang memiliki kebutuhan khusus pada umumnya
memerlukan tuntutan waktu dan tambahan waktu yang lebih banyak. Oleh karena itu
merupakan sebuah tantangan untuk guru untuk dapat memberikan akomodasi dalam
tuntutan waktu yang tepat.
4.
Lingkungan belajar
Steven
(dalam Pujaningsih, 2010: 201) mengemukakan bahwa guru dapat membantu mengatasi
permasalahan anak-anak dengan pengaturan kelas yang baik. Lingkungan belajar
yang diliputi dengan belajar dengan bekerja sama, dapat meningkatkan motivasi
yang akan mempengaruhi peningkatan prestasi termasuk kepada anak yang
berkebutuhan khusus.
Akomodasi
tidak mengubah desain umum kurikulum, seperti konsep pengetahuan dan konsep
yang sebuah subjek. Akomodasi adalah modifikasi metode intsruksi untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik dalam menyerap pengetahuan. Jadi informasi yang
diterima peserta didik tetaplah sama.
Kemudian Thurlow (2005:5) juga mengemukakan
tentang akomodasi yang diberikan untuk anak dengan kebutuhan khusus dapat
dikatagorikan menjadi:
a.
Akomodasi
penyajian, termasuk pemberian huruf Braille, membaca keras,
reading/re-reading/clarification of directions, dan sign interpretation.
b.
Sarana dan
prasarana akomodasi seperti peralatan amplifikasi, audiovideo-kaset, kalkulator,
dan peralatan lainnya;
c.
Akomodasi
respon termasuk penggunaan komputer, dokumen, pengecekpengucapan, dan penulisan
di lembar tes;
d.
Perencanaan
dan waktu akomodasi (termasuk perpanjangan waktu, pengulangan tes, tes pada
waktu peserta didik mampu, dan penggunaan jam istirahat); dan
e. Akomodasi lingkungan (termasuk administrasi individu, pembagian ruangan,
administrasi
kelompok kecil, dan administrasi rumah peserta didik.
Penilaian Dan Hasil Belajar
Penilaian
hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk
menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah
ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi
mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses.
Konsep,
pelaksanaan, dan pengembangan instrumen penilaian yang berkaitan dengan
penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketiga aspek penilaian ini
harus dilakukan guru dalam proses belajar mengajar, baik formatif maupun
sumatif. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang proses
dan hasil belajar peserta didik. Penilaian dilakukan dengan cara menganalisis
dan menafsirkan data hasil pengukuran capaian kompetensi peserta didik yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi
yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Jenis-jenis Penilaian
a.
Penilaian oleh guru
Jenis-jenis penilaian yang dapat
dilakukan oleh guru yaitu,
1)
Penilaian harian (PH), penilaian
yang dilakukan oleh guru terhadap PDBK dapat berupa ulangan harian untuk
mengetahui pencapaian Kompetensi Dasar (KD)
2)
Penilaian Tengah Semester (PTS),
penilaian yang diakukan oleh guru terhadap PDBK dilaksanakan pada tengah
semester atau setelah proses pemebelajaran 8 hingga 9 minggu untuk mengetahui
pencapaian KD.
3)
Penilaian Akhir Semester (PAS),
penilaian ini dilakukan setelah pembelajaran semester ganjil selesai untuk
mengetahui pencapaian KD pada semester ganjil.
4)
Penilaian Akhir Tahun penilaian ini
dilakukan setelah pembelajar semester genap, untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik di akhir semester genap. Cakupan PAT meliputi seluruh
KD pada semester genap.
5)
Carilah sumber yang relevan dengan pembahasan di atas!
b. Penilaian oleh Sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan
Pendidikan.Penilaian yang dilakukan oleh sekolah berupa Ujian Sekolah kegiatan
yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai
pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
Aspek-aspek Penilaian
A. Penilaian
Sikap
1.
Pengertian Penilaian Sikap
Penilaian
sikap adalah kegiatan untuk mengetahui kecenderungan perilaku spiritual dan
sosial peserta didik dalam kehidupan sehari-hari di dalam dan di luar kelas
sebagai hasil pendidikan. Penilaian sikap memiliki karakteristik yang berbeda
dengan penilaian pengetahuan dan keterampilan, sehingga teknik penilaian yang
digunakan juga berbeda. Dalam hal ini, penilaian sikap ditujukan untuk
mengetahui capaian dan membina perilaku peserta didik sesuai butir-butir nilai
sikap dalam KD dari KI-1 dan KI-2.
Dalam pelaksanaan penilaian
sikap diasumsikan setiap peserta didik memiliki perilaku yang baik. Jika tidak
dijumpai perilaku yang sangat baik atau kurang baik, maka nilai sikap peserta
didik tersebut adalah baik dan sesuai dengan indikator yang diharapkan.
Perilaku sangat baik atau kurang baik yang dijumpai selama proses pembelajaran
dimasukkan ke dalam jurnal.
2. Teknik
Penilaian Sikap
Penilaian sikap dilakukan
dengan menggunakan teknik observasi oleh guru (selama proses pembelajaran pada
jam pelajaran dan di luar jam pelajaran). Rangkuman hasil penilaian sikap oleh
guru dideskripsikan. Penilaian sikap dilakukan dengan menggunakan teknik
observasi oleh guru (selama proses pembelajaran pada jam pelajaran), guru
bimbingan
konseling (BK), dan wali kelas
(selama peserta didik di luar jam pelajaran) yang ditulis dalam buku jurnal
(selanjutnya disebut jurnal), yang mencakup catatan anekdot (anecdotal record),
catatan kejadian tertentu (incidental record), dan informasi lain yang
valid dan relevan.
Penilaian diri atau penilaian
antar teman dilakukan oleh peserta didik sebagai penunjang yang sifatnya alat
konfirmasi. Hasil akhir penilaian sikap diolah menjadi deskripsi sikap yang
dituliskan di dalam rapor.
Penilaian aspek sikap dilakukan
melalui observasi, penilaian diri, penilaian antarteman, jurnal selama proses
pembelajaran berlangsung, dan tidak hanya di dalam kelas.
a. Observasi
Merupakan teknik penilaian yang
dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan format observasi yang berisi
sejumlah indikator perilaku yang diamati. Hal ini dilakukan saat pembelajaran
maupun di luar pembelajaran.
b. Penilaian
Diri (self assessment)
Penilaian diri dalam penilaian
sikap merupakan teknik penilaian terhadap diri sendiri (peserta didik) dengan
mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam berperilaku.
Hasil penilaian diri dapat digunakan sebagai data konfirmasi perkembangan sikap
peserta didik. Selain itu penilaian diri peserta didik juga dapat digunakan
untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dan meningkatkan kemampuan refleksi
atau mawas diri.
Instrumen penilaian diri dapat
berupa lembar penilaian diri yang berisi “Butir-butir Pernyataan Sikap Positif
yang Diharapkan” dengan kolom “Ya” dan “Tidak” atau dengan Likert Scale.
Satu lembar penilaian diri dapat digunakan untuk penilaian sikap spiritual dan
sikap sosial sekaligus.
c. Penilaian
Antar teman (peer assessment)
Penilaian teman sebaya atau antar peserta didik merupakan
teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait
dengan pencapaian kompetensi (sikap tertentu). Instrumen yang digunakan berupa
lembar penilaian antar peserta didik. Penilaian teman sebaya dilakukan oleh
peserta didik terhadap 3 (tiga) teman sekelas atau sebaliknya. Penilaian ini
dilakukan secara berkala setelah proses
pembelajaran.
d. Penilaian
Jurnal
Jurnal merupakan kumpulan
rekaman catatan guru dan/atau tenaga kependidikan di lingkungan sekolah tentang
sikap dan perilaku positif atau negatif, selama dan diluar proses pembelajaran
mata pelajaran. Penilaian Jurnal adalah penilaian guru dan/atau tenaga
kependidikan atas catatan hasil pengamatan tentang kekuatan/kelemahan/ kejadian
luar biasa peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku di dalam dan
di luar kelas. Adapun format penilaiannya dapat ditambahkan beberapa kolom,
seperti: Tanggal, Kejadian, dan Tindak Lanjut.
B. Penilaian
Pengetahuan
1. Pengertian
Penilaian Pengetahuan
Penilaian
pengetahuan adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui penguasaan peserta
didik yang meliputi pengetahuan faktual, konseptual, maupun prosedural serta
kecakapan berpikir tingkat rendah hingga tinggi. Penilaian pengetahuan
dilakukan dengan berbagai teknik penilaian. Guru memilih teknik penilaian yang
sesuai dengan karakteristik kompetensi yang akan dinilai
2. Teknik
Penilaian Pengetahuan
Berbagai teknik penilaian
pengetahuan dapat digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing KD.
Teknik yang biasa digunakan antara lain tes tertulis, tes lisan, dan penugasan.
Berikut disajikan uraian mengenai pengertian, langkah-langkah, dan contoh
kisi-kisi dan butir instrumen tes tertulis, lisan, penugasan, dan portofolio
dalam penilaian pengetahuan.
a.
Tes Tertulis
Tes tertulis adalah tes yang
soal dan jawaban disajikan secara tertulis berupa pilihan ganda, isian,
benar-salah, menjodohkan, dan uraian. Instrumen tes tertulis dikembangkan atau
disiapkan dengan mengikuti langkah-langkah berikut:
1)
Menetapkan tujuan tes.
2)
Menyusun kisi-kisi.
3)
Menulis soal berdasarkan kisi-kisi dan kaidah penulisan
soal.
4)
Menyusun panduan penskoran.
b.
Tes Lisan
Tes lisan berupa
pertanyaan-pertanyaan, perintah, kuis yang diberikan pendidik secara lisan dan
peserta didik merespon pertanyaan tersebut secara lisan. Jawaban tes lisan
dapat berupa kata, frase, kalimat maupun paragraf. Tes lisan bertujuan
menumbuhkan sikap berani berpendapat, menegecek penguasaan pengetahuan untuk
perbaikan pembelajaran, percaya diri, dan kemampuan berkomunikasi secara
efektif. Dengan demikian, tes lisan dilakukan pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Tes lisan juga dapat digunakan untuk melihat ketertarikan siswa
terhadap materi yang diajarkan dan motivasi peserta didik dalam
belajar.Langkah-langkah pelaksanaan tes lisan sebagai berikut.
1) Melakukan
analisis KD sesuai dengan muatan pelajaran.
2) Menyusun
kisi-kisi
3) Menyiapkan
pertanyaan, perintah yang akan disampaikan secara lisan.
c. Penugasan
Penugasan adalah pemberian
tugas kepada peserta didik untuk mengukur dan/atau memfasilitasi peserta didik
memperolehatau meningkatkan pengetahuan. Penugasan yang berfungsi untuk
penilaian dilakukan setelah proses pembelajaran (assessment of learning).
Sedangkan penugasan sebagai metode penugasan bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan yang diberikan sebelum dan/atau selama proses pembelajaran (assessment
for learning). Tugas dapat dikerjakan baik secara individu maupun kelompok
sesuai karakteristik tugas yang diberikan, yang dilakukan di sekolah, di rumah,
dan di luar sekolah.
C. Penilaian
Aspek Keterampilan
1. Pengertian Penilaian
Keterampilan
Penilaian keterampilan adalah
penilaian untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa
terhadap
kompetensi dasar pada KI-4. Penilaian keterampilan menuntut siswa
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu. Penilaian ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah pengetahuan
yang sudah dikuasai siswa dapat digunakan untuk mengenal dan menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sesungguhnya (real life).
2. Teknik Penilaian Keterampilan
Penilaian keterampilan dapat
dilakukan dengan berbagai teknik antara lain penilaian praktik/kinerja, proyek,
dan portofolio. Teknik penilaian lain dapat digunakan sesuai dengan
karakteristik KD pada KI-4 pada mata pelajaran yang akan diukur.Instrumen yang
digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang
dilengkapi rubrik.
a. Penilaian
Kinerja
Penilaian kinerja adalah
penilaian yang menuntut respons berupa keterampilan melakukan suatu aktivitas
atau perilaku sesuai dengan tuntutan kompetensi.
Pada penilaian praktik menuntut
peserta didik untuk melakukan suatu tugas pada situasi yang sesungguhnya yang
mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya tugas
berjalan mengikuti pola, berlari berpasangan,memainkan alat musik, menggunakan
mikroskop, menyanyi, bermain peran, menari.
b. Penilaian
Projek
Penilaian projek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman,
kemampuan mengaplikasi, kemampuan menyelidiki dan kemampuan menginformasikan
suatu hal secara jelas. Penilaian projek dilakukan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai pelaporan. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau
tahapan yang perlu dinilai, seperti: penyusunan desain, pengumpulan data,
analisis data, dan penyiapan laporan tertulis/lesan. Untuk menilai setiap tahap
perlu disiapkan kriteria penilaian atau rubrik. Peniliaan projek dilakukan
diakhir setiap tema (khusus untuk SDLB). Pelaksanaan penilaian projek untuk
peserta didik SDLB/ SMPLB/SLB disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
peserta didik serta amat diperlukan rangsangan/ bantuan/ bimbingan guru.
c. Penilaian
Produk
Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik
membuat produk-produk, teknologi, dan seni, seperti: makanan (contoh: tempe,
kue, asinan, baso, dan nata de coco), pakaian, sarana kebersihan
(contoh: sabun, pasta gigi, cairan pembersih dan sapu),alat-alat
teknologi (contoh: adaptor ac/dc dan bel listrik), hasil karya seni (contoh:
patung, lukisan dan gambar), dan barang-barang terbuat darikain, kayu, keramik,
plastik,
atau logam.
d. Penilaian
Portofolio
1)
Pengertian
Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya
peserta didik secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran.
Akhir suatu periode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru dan
peserta didik sendiri. Berdasarkan informasi perkembangan tersebut, guru dan
peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan
kemampuan peserta didik dan terus menerus melakukan
perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat memperlihatkan dinamika kemampuan
belajar peserta didik melalui sekumpulan karyanya, antara lain: karangan,
puisi, surat, komposisi musik, gambar, foto, lukisan, resensi buku/literatur,
laporan penelitian, sinopsis dan karya nyata individu peserta didik yang
diperoleh dari pengalaman.
Portofolio dalam proses penilaian pembelajaran sering
dimaknai sebagai suatu koleksi hasil kinerja peserta didik berupa artefak yang
mengungkapkan tahapan perkembangan. Artefak-artefak itu dihasilkan dari
pengalaman belajar atau proses pembelajaran peserta didik dalam periode waktu
tertentu. Dengan demikian, portofolio dapat diartikan sebagai suatu koleksi
pribadi hasil pekerjaan seorang peserta didik yang menggambarkan taraf
pencapaian kompetensi, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta
didik.
2)
Jenis Portofolio
Berbagai jenis portofolio, antara
lain:
a) Portofolio
Pribadi Peserta Didik yang Bersifat Rahasia (Anecdotal Record)
b) Portofolio
Pembelajaran Peserta didik
c) Portofolio
Catatan Khusus Peserta didik Jangka Panjang
3) Bentuk Portofolio
Berbagai bentuk portofolio.
a)
Berupa buku ukuran besar yang bisa
dilihat peserta didik dengan dipangku (lapbook). Lapbook ini bisa
dimasukkan berbagai hasil karya terkait dengan produk seni (gambar, kerajinan
tangan, dan sebagainya).
b) Berupa album
berisi foto, video, audio.
c)
Berupa stopmap/bantex berisi
tugas-tugas imla/dikte dan tulisan (karangan, catatan) dan sebagainya.
d)
Buku Kelas I – Kelas VI yang disusun
berdasarkan Kurikulum 2013, juga merupakan portofolio peserta didik.
Bentuk Laporan Hasil Belajar
Bentuk pelaporan hasil pembelajaran
peserta didik berkebutuhan khusus:
a.
Bagi peserta didik yang menggunakan
model kurikulum reguler penuh, maka model laporan hasil belajarnya (raport)
menggunakan model raport reguler yang sedang berlaku.
b.
Bagi peserta didik yang menggunakan
model kurikulum yang di modifikasi, maka model laporan hasil belajarnya
(raport) menggunakan raport reguler yang dilengkapi dengan deskrifsi (narasi)
yang menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.
c.
Bagi peserta didik yang menggunakan
kurikulum yang diindividualisasikan, maka menggunakan model raport kuantitatif
yang dilengkapi dengan deskripsi (narasi). Penilaian kuantitatif didasarkan
pada kemampuan dasar (baseline).
d.
Model rapot pada pendidikan inklusif
pada dasarnya sama dengan sekolah reguler di semua satuan pendidikan meliputi
SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK, perbedaannya terletak pada jenis satuan pelajaran
dan program khusus.
-
PENGANTAR KEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI
PENANGANAN PEMBELAJARAN AKADEMIK DI SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF
§Pengertian
Program Kebutuhan khusus
Program kebutuhan khusus
merupakan suatu layanan intervensi dan/atau pengembangan yang dilakukan sebagai
bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang dialami anak berkebutuhan
khusus dengan tujuan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses dalam
mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Program kebutuhan
khusus bukan mata pelajaran, tetapi wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta
didik.
Dalam
Permendikbud 157 tahun 2014 pasal 10 disebutkan bahwa Program kebutuhan khusus
pada kurikulum pendidikan regular dan pada kurikulum pendidikan khusus
dikembangkan sebagai penguatan bagi peserta didik berkelainan atau berkebutuhan
khusus untuk meminimalkan hambatan dan meningkatkan capaian kompetensi secara optimal.
Dari
dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan umum Program Kebutuhan
Khusus adalah untuk meminimalkan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses
dalam mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Tujuan khusus
dari Program Kebutuhan Khusus akan dijelaskan pada sub materi berikutnya.
Penerapan program kebutuhan
khusus di sekolah penyelengara inklusif tidak terbatas ruang dan kelas, dan
diberikan berdasarkan skala proritas. Penerapannya menyatu dengan pembelajaran
yang diterima. Tidak ada jam khusus untuk mengintervensi program kebutuhan
khusus. Apabila dirasa penting peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima
program kebutuhan khusus maka, peserta didik berkebtuhan khusus ditangani oleh
orthopedagog atau Guru SLB.
5.Jenis
Program Kebutuhan Khusus.
Dalam
Dalam Permendikbud 157 tahun 2014 dan Perdirjen No 10 tahun 2017 disebutkan
bahwa program kebutuhan khusus ada 5 jenis, yaitu:
3. Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi untuk
Tunanetra
4. Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama untuk Tunarungu
5. Pengembangan Diri untuk Tunagrahita
6. Pengembangan Diri dan Gerak untuk peserta didik Tunadaksa; dan
4.
Pengembangan
Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku untuk peserta didik Autis
- Tujuan Umum Program Kebutuhan Khusus
Program
kebutuhan khusus memiliki tujuan secara umum yaitu memfasilitasi anak yang
mengalami hambatan pada salah satu atau beberapa aspek tertentu yang dialihkan,
digantikan, kepada fungsi lain yang memungkinkan dapat menggantikan fungsi yang
hilang atau yang lemah.
Dimana
peserta didik berkebutuhan khusus dibimbing untuk mengembangkan keterampilan
hidupnya. Keterampilan hidup (life skills) adalah kemampuan untuk
beradaptasi dan menunjukkan perilaku positif yang pada akhirnya memampukan
individu untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari dengan
efektif
- Pengantar Pembelajaran Akademik di Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inkluisf.
Pendidikan
inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya.
Berdasarkan difinisi dan turunan dari UU
tentang pendidikan Inklusi anak yang tergolong ABK adalah mereka dengan
kesulitan belajar, anak lambat belajar, anak dengan ganguan autis, anak dengan
gangguan intelektual, anak dengan gangguan fisik dan motorik, anak dengan
gangguan emosi dan perilaku, anak berkelainan majemuk dan anak berbakat. [4]
Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus MENERIMA/mengakomodasi semua
anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial,
emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak
berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa,
minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah
yang dimaksud dengan one school for all”.
Anak
berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki gangguan satu atau lebih Dari
proses dasar yang mencakup pemahan penggunaan bahasa lisan atau tulisan,
gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak
sempurna dalam mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja
atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan
perceptual,luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan
pembelajaran disekolah, kita dihadapkan pada sejumlah karakteristik siswa yang
beraneka ragam. Ada peserta didik yang dapat menempuh kegiatan belajarnya
secara lancar dan berhasil tanpa adanya kesulitan, namun disisi lain tidak
sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar peserta didik ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan
tertentu untuk mencapai hasil belajar dan dapat bersifat psikologis,
sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dalam menyebabkan
prestasi belajar yang dicapainya berada dibawah semestinya. Kesulitan belajar
peserta mencangkup pengertian yang luas, diantaranya: (a) learning disorder,
(b) learning disfunction, (c) under achiever, (d) slow learner, (e) learning
disabilities.
§
Tujuan Penanganan Pembelajaran Akademik Di Sekolah Inklusif
Banyak factor yang mempengaruhi taraf
intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang guru, salah satu tugas serta
kewajiban yang harus dipenuhi adalah membantu mempengaruhi kemampuan
intelektual siswa agar dapat berfungsi secara optimal dan mencoba melengkapi
program pengajaran yang ditujukan bagi mereka yang lambat dalam belajar.
Adapun
cara yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan memperhatikan kondisi
kesehatan fisik siswa, membantu pengembangan sifat-sifat positif pada diri
siswa, memperbaiki kondisi motivasi siswa, menciptakan kesempatan belajar yang
lebih baik bagi siswa. Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada
diri siswa seperti percaya diri, perasaan diri dihargai, guru dapat melakukan
dengan cara menaruh respect terhadap pertanyaan-pertanyaan serta
gagasan-gagasan yang diajukan siswa sehingga dapat membantu meningkatkan
keyakinan diri siswa serta perasaan bahwa dirinya dihargai. Selain itu agar
perasaan-perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik atau salah paham dapat
dihindari oleh siswa. Sedangkan untuk memperbaiki kondisi motivasi siswa, guru
dapat melakukannya dengan memberikan insentif atas keberhasilan yang diraih
siswa yaitu dapat berupa pujian atau nilai yang baik. Selain itu guru juga
dapat memberikan kesempatan melaksanakan tugas-
tugas
yang relevan, seperti di dalam kelompok diskusi, di depan kelas, pembuatan
karya tulis, dan lain-lain untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik
bagi siswa.
Pengembangan OMSK bagi PDBK Tunanetra
Pengembangan OMSK
adalah sejumlah pengembangan keterampilan yang dibutuhkan tunanetra untuk
menutupi atau mengganti keterbatasan sebagai akibat langsung dari adanya
hambatan penglihatan.
1.
Pengembangan Orientasi Mobilitas
Pengembangan
kemampuan orientasi mobilitas adalah merupakan pengembangan kemampuan, kesiapan
dan kemampuan bergerak dari satu posisi/tempat ke satu posisi/tempat lain yang
dikehendaki dengan baik, tepat, efektif, dan selamat. Melalui Pengembangan
Orientasi Mobilitas, Peserta didik diharapkan mampu memasuki setiap lingkungan
yang dikenal maupun tidak dikenal dengan efektif, aman, dan baik, tanpa banyak
meminta bantuan orang lain.
2.
Pengembangan Sosial
Pengembangan
Kemampuan sosial merupakan pengembangan kemampuan membina hubungan antar manusia
dan lingkungannya serta perilaku manusia dalam melaksanakan aktivitasnya
sehari-hari secara mandiri tanpa banyak dibantu orang lain. Tujuan Pengembangan
sosial ini adalah agar peserta didik mampu berinteraksi, beradaptasi dan
berpartisipasi aktif dalam kehidupan pribadi dan sosial di lingkungan keluarga
di sekolah dan masyarakat luas.
3.
Pengembangan Komunikasi
Pengembangan
komunikasi bagi peserta didik tunanetra bertujuan agar mereka mampu bersikap
baik dan benar dalam berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat secara ekspresif
menyenangkan baik menggunakan alat komunikasi manual maupun elektronik.
Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi dan
Irama bagi PDBK Tunarungu
Pengembangan
Komunikasi, Persepsi Bunyi dan Irama biasa dikenal dengan istilah PKPBI merupakan
pengembangan kemampuan komunikasi dan pengembangan kemampuan penghayatan bunyi
dan irama. Pengembangan Komunikasi Peserta didik tunarungu bertujuan
antara lain agar mereka
mempunyai kemampuan ucapan fonem, kata, kalimat dan bahasa yang benar, dan agar
peserta didik tunarungu memiliki keyakinan bahwa bunyi/suara yang mereka
keluarkan memiliki makna. Pengembangan kemampuan komunikasi antara lain
dilakukan dengan latihan pelemasan dalam bentuk senam mulut dan bibir, latihan
pernafasan, latihan pembentukan suara dan bahasa (fonem, kata, kalimat).
Pengembangan Persepsi
Bunyi dan Irama adalah pembinaan penghayatan bunyi yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja, sehingga kemampuan dengar yang masih dimiliki serta
perasaan vibrasi yang dimiliki peserta didik tunarungu dapat dipergunakan
sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi
bermakna.
Sesuai dengan tahapan
proses mendengar manusia, maka ruang lingkup program pengembangan kemampuan
persepsi bunyi dan irama bagi peserta didik tunarungu meliputi tiga tahap
yaitu; tahap deteksi bunyi adalah kemampuan menyadari ada dan tidak ada bunyi,
tahap diskriminasi bunyi adalah kemampuan membedakan bunyi, dan tahap
identifikasi bunyi yaitu kemampuan mengenal bunyi.
Pengembangan Diri bagi PDBK Tunagrahita
Program Pengembangan
Diri (PPD) merupakan hal yang sangat penting untuk peserta didik tunagrahita
dalam melakukan pengembangan dirinya sendiri yang meliputi: merawatdiri,
mengurus diri, menolong diri, komunikasi, bersosialisasi, keterampilan hidup,
dan mengisi waktu luang di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. PPD
diarahkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik tunagrahita dalam
melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kehidupan dirinya sendiri sehingga
mereka tidak membebani orang lain. Dalam pelaksanaan program pengembangan diri
perlu adanya standar kemampuan untuk dapat mencapai kemampuan minimal yang
menggambarkan keterampilan yang dicapai, hal ini sebagai dasar untuk mengetahui
peningkatkan, dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari atau pengembangan diri
peserta didik tunagrahita.
Menurut Depdiknas
(2009) terdapat tiga istilah untuk anak tunagrahita yaitu: 1) mengurus diri
atau merawat diri (self care), 2) menolong diri (self help), dan
3) kegiatan sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL). Tujuan
pengembangan diri antara lain agar anak: a) dapat hidup wajar dan
mampu menyesuaikandiri dalam kleuarga, teman
sebaya baik di sekolah maupun di masyarakat,
b) dapat menjaga kebersihan dan kesehatan dirinya
sendiri tanpa bantuan orang lain, c) dapat mengurus keperluannya sendiri dan
dapat memecahkan masalah sendiri, d) dapat membantu orangtua dalam mengurus
rumah tangga, baik dalam kebersihan ketertiban dan pemeliharaan, e)mampu
berpartisipasi dalam menciptakan kehidupan keluarga yang sejahtera.
Pendekatan yang
digunakan dalam pembelajaran pengembangan diri bersifat perbaikan tingkah laku
(behavior modification). Sedangkan teknik yang perlu diperhatikan dalam
mengajarkan suatu tingkah laku atau keterampilan kepada anak tunagrahita yaitu:
1) memberi contoh (modelling), 2) menuntun/mendorong (promting),
3) mengurangi tuntunan (fading), 4) pentahapan (shaping).
Adapun prinsip
pengembangan diri meliputi: a) dilaksanakan ketika kebutuhan muncul, b) berikan
ketika anak makan, mandi, berpakaian, menanggalkan pakaian, ke toilet, dll, c)
bahan yang diajarkan hendaknya dirumuskan secara operasional misal: “anak
belajar berpakaian” menjadi “anak belajar memakai baju”, d) bahan yang baru
hendaknya bersambung dengan bahan sebelumnya, misal belajar mengancingkan baju
merupakan kelanjutan dari belajar mengenakan baju, e) satuan-satuan bahan yang
kecil hendaknya terdiri atas perbuatan-perbuatan, misal: mengancingkan,
menanggalkan, memasang, dsb, f) reinforce hendaknya sesuai dengan
kesukaan anak yang diajar saat itu dan mempunyai nilai beda dari anak yang
belum berhasil, g) reinforce hendaknya diberikan setelah anak melakukan
satu langkah kegiatan betul (trial), h) hindari segala sesuatu yang
dapat mengalihkan perhatian anak, i) gunakan bahasa yang sederhana, berikan
instruksi satu demi satu, bila perlu dilengkapi dengan mimik dan isyarat, j)
tentukan kriteria untuk tiap-tiap pertemuan, anak dianggap berhasil apabila
kegiatan dilakukan tanpa bantuan, k) pelihara konsistensi bila materi itu di
bina oleh guru lain, guru tersebut hendaknya sama dengan guru yang terdahulu
(Depdiknas. 2009. Modul Training of Trainerss Pendidikan Inklusif).
Pengembangan Diri dan Gerak bagi PDBK
Tunadaksa
Pengembangan diri dan
gerak adalah merupakan segala usaha, bantuan yang berupa bimbingan, latihan,
secara terencana dan terprogram terhadap peserta didik tunadaksa, dalam rangka
membangun diri baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga
terwujudnya
kemampuan mengurus
diri, menolong diri, merawat diri, dan mobilisasi (bergerak-berpindah tempat)
dalam kehidupan sehari-hari baik di keluarga maupun di dimasyarakat secara
memadai.
Fungsi dari
pengembangan diri dan gerak untuk peserta didik tunadaksa adalah sebagai
berikut: a). Mengembangkan kemampuan anggota badan yang mengalami kesulitan
bergerak agar dapat berfungsi secara optimal, b). Mengembangkan dan melatih
peserta didik secara berkesinambungan agar mampu mengatasi kebutuhan hidupnya,
c). Membina peserta didik agar memahami dan menyadari hubungan antara
guru/pelatih dengan pribadinya agar terjalin kontak atau hubungan secara
harmonis, d). Mengembangkan gerak otot serasi, sehat, dan kuat sehingga mampu
melakukan gerakan sesuai dengan fungsinya, dan e). Mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan mampu mengatasi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan dari
pengembangan diri dan gerak bagi peserta didik tunadaksa adalah: a). agar gerak
otot serasi , seimbang, sehat, dan kuat, sehingga mampu melakukan gerakan
sesuai dengan fungsinya, b). agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
mampu mengatasi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, dan c). agar peserta
didik tunadaksa memiliki pengetahuan, sikap, nilai dan kemampuan senso-motorik
agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pengembangan Interaksi Komunikasi, dan
Perilaku bagi PDBK Autis
Pengembangan interaksi,
komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik autis merupakan segala usaha,
bantuan yang berupa bimbingan, latihan, secara terencana dan terprogram
terhadap peserta didik autis, dalam rangka membangun diri baik sebagai individu
maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya kemampuan untuk hidup
mandiri di tengah masyarakat.
Tujuan program
pengembangan interaksi, komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik autis
antara lain untuk:
a.
Mengembangkan kecakapan berkomunikasi baik
lisan maupun tertulis melalui pembiasaan dan latihan yang terus-menerus tentang
pentingnya berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Meningkatkan kemampuan bersosialisasi peserta
didik autis dengan lingkungan sekitarnya.
c.
Mengembangkan perilaku adaptif
Strategi Penanganan Pembelajaran Akademis Di
Sekolah Inklusif
Pada materi sebelumnya
telah dibahas tentang pengembangan program kebutuhan khusus sebagai upaya untuk
mengatasi permasalahan PDBK dan mengoptimalkan potensi PDBK dalam hal
keterampilan hidup. Selain permasalahan keterampilan hidup, PDBK yang belajar
di sekolah Inklusif juga mengalami permasalahan pembelajaran akademis. Hal ini
disebabkan karena dari sisi internal setiap PDBK mempunyai kebutuhan belajar
yang tidak sama dengan anak reguler, dan dari sisi eksternal di sekolah
inklusif di Indonesia untuk saat ini banyak yang belum siap menerima PDBK
secara menyeluruh.
Ada beberapa strategi
yang bisa diterapkan untuk mengatasi permasalahan pembelajaran akademis,
diantaranya adalah dengan penerapan pendekatan remedial dan akomodasi
kurikulum. Remedial dalam KBBI berarti bersifat menyembuhkan atau berhubungan
dengan perbaikan atau membuat menjadi baik. Jika dikaitkan dengan pembelajaran
terutama pembelajaran PDBK, maka remedial dapat diartikan sebagai suatu
pendekatan pembelajaran tersendiri yang diberikan kepada seorang atau
sekelompok peserta didik berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan belajar
dengan tujuan agar terjadi perbaikan pembelajaran.
Pendekatan remedial
memiliki tujuan agar peserta didik memperoleh prestasi belajar yang memadai
melalui proses penyembuhan, perbaikan atau pembetulan dalam pemahaman diri,
cara belajar, menggunakan alat belajar, perubahan sikap, dan pelaksanaan
tugas-tugas. Prinsip utama pendekatan remedial yaitu harus mengutamakan prinsip
pembelajaran yang menyenangkan.
Hal penting yang yang
harus diperhatikan selain Pemberian Program Remedial untuk pembelajaran PDBK di
sekolah Inklusif adalah akomodasi atau penyesuaian kurikulum bagi PDBK.
Kurikulum adalah seperangkat rencana pembelajaran yang didalamnya menampung
pengaturan tentang tujuan, isi, proses, dan evaluasi.
Kurikulum yang
digunakan oleh PDBK di sekolah inklusif tidak harus disamakan dengan kurikulum
peserta didik regular, Kurikulum bagi PDBK di sekolah inklusif adalah kurikulum
akmodatif yang merupakan hasil analisis dari kurikulum regular disesuaikan
dengan kebutuhan dan karakteristik belajar PDBK. Dari Hasil Analisis tersebut
bisa terlihat apakah kurikulum reguler bisa langsung
diterapkan, perlu dimodifikasi, diganti atau
bahkan atau bahkan ditiadakan, hal ini tergantung kebutuhan dan karakteristik
PDBK yang ada.
Unit Layanan Disabilitas (ULD)
-
Pengertian
ULD
merupakan lembaga yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang.
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-undang nomor 8 tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas. Menurut UU tersebut ULD merupakan unit yang menyediakan
layanan dan fasilitas untuk penyandang disabilitas. ULD tidak hanya terdapat di
bidang pendidikan saja, melainkan terdapat di berbagai bidang, antara lain di
lembaga permasyarakatan, di bidang ketenagakerjaan, di perguruan tinggi, dan
tentu saja di bidang pendidikan. Bahkan, jika satu perguruan tinggi tidak
memiliki ULD, akan segera mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Sanksi paling
ringan berupa teguran, sanksi terberat berupa pencabutan izin operasional.
Pada
bidang pendidikan, ULD secara eksplisit disebutkan dibentuk untuk mendukung
penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah. Pembentukkannya
diinisiasi oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi pembentukan ULD di daerahnya masing-masing. Di beberapa daerah,
saat ini telah terbentuk ULD-ULD. Tujuan utama pembentukan ULD adalah untuk
mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju
kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.
-
Fungsi Unit Layanan Disabilitas
Fungsi ULD dalam bidang pendidikan, secara
rinci disebutkan dalam undang-undang tentang penyandang disabilitas dinyatakan
sebagai berikut.
Meningkatkan
kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah reguler dalam menangani
peserta didik penyandang disabilitas.
Menyediakan
pendampingan kepada peserta didik penyandang disabilitas untuk mendukung
kelancaran proses pembelajaran.
Mengembangkan program kompensatorik.
Menyediakan
media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan peserta didik penyandang
disabilitas.
Melakukan
deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik
penyandang disabilitas.
-
Menyediakan data dan informasi tentang
disabilitas.
-
Menyediakan layanan konsultasi.
-
Mengembangkan
kerja sama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan peserta didik penyandang disabilitas.
ULD
dapat memfasilitasi untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan di sekolah umum atau sekolah inklusif dalam menangani peserta
didik penyandang disabilitas. Kompetensi yang perlu ditingkatkan merupakan
kompetensi yang dibutuhkan untuk melayani peserta didik penyanfang disabilitas.
Fungsi fasilitasi ini, menunjukkan ULD diberi kewenangan untuk melakukan
pelatihan, workshop, lokakarya, seminar, dan lain sebagainya. Fasilitator
peningkatan kompetensi guru dan tanaga kependidikan tersebut, bisa dari
internal ULD, maupun dari tenaga ahli dari eksternal.
Menyediakan
pendampingan kepada peserta didik penyandang disabilitas untuk mendukung
kelancaran proses pembelajaran. Tugas pendampingan kepada peserta didik menjadi
salah satu tugas utama ULD. Konsekuensi logis dari tugas tersebut, ULD harus
memiliki data peserta didik di setiap sekolah di wilayah tugasnya. Data tentang
jumlah dan ragam disabilitas di setiap sekolah. Melalui pemanfaatan teknologi,
sebaiknya setiap ULD memiliki akses terhadap keberadaan peserta didik
berkebutuhan khusus di setiap sekolah. sehingga, bentuk layanan pendampingan
yang diberikan dapat lebih terorganisasikan dengan baik. Tekait dengan data
peserta didik berkebutuhan khusus di setiap sekolah, ULD dapat terhubung dengan
setiap sekolah melalui operator-operator sekolah. keberadaan data yang mudah
diakses, akan memperkuat layanan pemdampingan peserta didik oleh ULD.
Selain
kepada peserta didik pemberian pendampingan juga diberikan kepada seluruh warga
sekolah. khususnya terkait dengan konsep akomodasi yang layak begi peserta
didik berkebutuhan khusus. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan
penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau
pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang
Disabilitas berdasarkan kesetaraan.
ULD
menjadi salah satu lembaga di daerah yang memiliki kewenangan untuk
mengembangkan program kompensatorik bagi peserta didik berkebutuhan khusus di
setiap
sekolah.
program kompensatoris yang dimaksud adalah program kekhususan bagi peserta
didik sesuai dengan hambatan dan kebutuhan belajar masing. Masing. Program
kekhususan berorientasi pada dua hal, yaitu pemenuhan belajar dan layanan
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Program
pemenuhan belajar berkaitan dengan program pembelajaran yang bersifat akademik
yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Sedangkan pemenuhan kebutuhan.
Berikut
adalah program pemenuhan kebutuhan dan layanan pengembangan bagi peserta didik
penyandang disabilitas.
Ragam Disabilitas |
Program pengembangan |
|
|
Disabilitas fisik |
- Pengembangan diri |
|
-
Pengembangan gerak (motorik) disesuaikan dengan |
|
hambatan fisik peserta didik. |
|
|
Disabilitas intelektual |
- Pengembangan diri |
|
-
Pengembangan kecakapan hidup |
|
-
Pengembangan ADL (Activity of Daily Living) |
|
|
Disabilitas mental |
- Pengembangan diri |
|
-
Pengembangan kecakapan hidup |
|
-
Pengembangan ADL (Activity of Daily Living) |
|
|
Disabilitas sensori |
|
Hambatan penglihatan |
-
Pelatihan menulis dan membaca huruf Braille |
|
-
Pengembangan orientasi dan mobilitas |
|
-
Pengembangan sosial dan komunikasi |
Hambatan pendengaran |
-
Pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama |
Hambatan berbicara |
-
Pengembangan komunikasi persepsi bunyi dan irama |
|
|
Fungsi
lainnya ULD adalah menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang
diperlukan peserta didik penyandang disabilitas. Ada dua hal yang menjadi
prioritas, yaitu media pembelajaran dan alat bantu. Kedua hal tersebut sangat
berkaitan dengan penyediaan akomomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas.
Media pembelajaran berkaitan dengan kemudahan peserta didik untuk berkembang
dan memiliki kemampuan dalam bidang akademik. penyediaan akomodasi yang layak,
semestinya termasuk penyediaan alat peraga pembelajaran. Pada waktu-waktu
tertentu guru akan kesulitan membelajarkan bahwa bumi itu bulat, kalau tidak
disertai dengan alat peraga yang memadai.
Penyediaan
alat bantu bagi penyandang disabilitas berkenaan dengan penyediaan sarana dan
alat untuk mobilitas peserta didik. Misalnya, bagi peserta didik yang memiliki
hambatan fisik untuk berjalan, maka perlu diupayakan untuk menyediakan kursi
roda (wheelchair), misalnya. Tentu bukan hanya alatnya saja, melainkan
dengan sarananya juga yang harus disertakan, yaitu pembuatan ramp di
lingkungan sekitar sekolah.
Melakukan
deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik
penyandang disabilitas. ULD selayaknya mesti menyediakan tenaga ahli untuk
membantu guru-guru dalam melakukan deteksi dan intervensi dini bagi peserta
didik yang disuga menyandang disabilitas. Pelaksanaan deteksi dan intervensi
dini pada fase prasekolah menjadi tahapan yang paling krusial. Karena pada saat
inilah anak berkebutuhan khusus secara spesifik dapat diketahui
karakteristiknya. Dalam konteks keahlian, guru tidak punya kewenangan untuk
memberikan label tertentu pada anak berkebutuhan khusus. Tidak demikian pada
petugas yang diutus oleh ULD. Petugas-petugas yang menjadi representasi ULD
sejatinya merupakan para profesional yang ahli di bidangnya masing-masing.
Misalnya sebagai Terapist, Dokter, dan atau Psikolog.
Penyediaan
data dan informasi manjadi salah satu yang akan meningkatkan kredibilitas ULD.
Segala sesuatu yang menjadi kebijakan ULD harus didasarkan pada data yang valid
dan sahih. Kerja sama dengan pihak sekolah atau madrasah menjadi hal yang
sangat dimungkinkan. Setiap sekolah mempunyai tim atau petugas yang mengelola
data dan informasi seklah, yaitu operator sekolah. Melalui operator sekolah
inilah, data-data dan informasi-informasi tentang peserta didik berkebutuhan
khusus bisa diperoleh. ULD juga bisa membantu guru dan tenaga kependidikan
lainnya yang ada di sekolah untuk dapat mengelola data dan informasi yang
terkait dengan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolahnya masing-masing.
Fungsi
lainnya dari ULD adalah menyediakan layanan konsultasi bagi semua pihak yang
berkaitan dengan layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
Layanan konsultasi ini meliputi pengembangan peserta didik, deteksi dan
intervensi, identifikasi dan asesmen. Layanan peningkatan pembelajaran semasa
peserta didik mengikuti program di
sekolah,
dan layanan program pendidik transisi bagi peserta didik menjelang meninggalkan
bangku sekolah.
ULD
dapat membantu sekolah untuk mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga
lain dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik penyandang
disabilitas. Kerja sama dengan kelompok dan komunitas tertentu yang relevan
dengan potensi peserta didik sangat dimungkinkan. Ketika di suatu daerah belum
terwujud sistem yang mengatur tentang layanan pendidikan dan penyediaan
akomodasi yang layak bagi peserta didik, maka ULD dapat mendorong terciptanya
akomodasi yang layak di wilayak kerjanya.
Pusat Sumber (Resource Center)
6.
Pengertian pusat sumber dalam konteks
pendidikan inklusif
Pertanyaan
ini dilatarbelakangi banyaknya istilah pusat sumber. Oleh karena itu, perlu
lebih dijelaskan pusat sumber dalam konteks apa. Pusat sumber dalam konteks
pendidikan khusus dan pendidikan inklusif adalah lembaga khusus yang ditunjuk
oleh pemerintah (pemerintah pusat/pemerintah daerah) sebagai pusat sumber dalam
pengembangan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif. Pusat sumber ini dapat
dimanfaatkan oleh semua pihak yang berhubungan anak berkebutuhan khusus,
khususnya dalam penangan dan pendidikannya. Dengan demikian pusat sumber dapat
menjadi sumber bagi orang tua, keluarga, sekolah biasa/sekolah luar biasa,
masyarakat dan pemerintah serta pihak lain yang berkepentingan.
Saat
ini yang dimaksud dengan pusat sumber dalam konteks pendidikan khusus dan
pendidikan inklusif adalah sekolah-sekolah khusus atau SLB yang ditunjuk oleh
Dinas Pendidikan setempat. SLB yang menjadi pusat sumber merupakan SLB Inti
atau SLB Pembina yang berada di kabupaten atau kota setempat. Meski
keberadaannya tidak selalu ada di setiap kabupaten atau kota. Meskipun pusat
sumber itu berada di sekolah khusus tertentu tidak serta merta pengurusnya
berasal dari sekolah tersebut. Pengurus pusat sumber memungkinkan berasal dari
lembaga-lembaga yang berbeda. Berikut contoh kepengurusan pusat sumber di DI
Yogyakarta.
7.
Fungsi Pusat Sumber
Fungsi
pusat sumber dalam implementasi pendidikan inklusif di sekolah inklusif adalah:
Sebagai
inisiator yang aktif dalam pelaksanaan pengembangan layanan pendidikan bagi
peserta didik berkebutuhan khusus, baik di sekolah inklusif maupun di sekolah
khusus.
Sebagai
sumber dukungan dalam pengembangan proses pembelajaran bagi peserta didik
berkebutuhan khusus, baik di sekolah inklusif maupun di sekolah khusus.
Sebagai
pusat informasi bagi orang tua, keluarga, sekolah khusus dan sekolah inklusif,
serta masyarakat lain di sekitarnya.
Sebagai home
base guru pembimbing khusus, hingga saat ini lokasi pusat sumber berada di
SLB atau sekolah khusus, dengan demikian pusat sumber bisa jadi merupakan
tempat berkumpulnya guru-guru SLB dan atau Guru Pembimbing Khusus.
Sebagai
koordinatoriat layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus,
khususnya dalam melayani peserta didik di sekolah inklusif. Misalnya saat
melakukan terapi, intervensi, konsultansi, dan atau asesmen.
Sebagai mediator kerja sama antara sekolah
dengan mitra-mitra kerja yang lain.
8.
Peran Pusat Sumber
Peran pusat
sumber dalam pengembangan pendidikan inklusif adalah:
Memberikan
informasi kepada sekolah-sekolah (sekolah inklusif dan SLB) mengenai pendidikan
inklusif.
b. Menyediakan bantuan terapi, intervensi,
asesmen, layanan dan bimbingan kependidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
5.
Melakukan inovasi di bidang pendidikan
khusus/pendidikan inklusif.
6.
Melakukan penelitian dan pengembangan
implementasi pendidikan inklusif.
7.
Merencanakan
dan menyelenggarakan pelatihan bagi guru dari sekolah inklusif dan guru dari
sekolah khusus serta pihak lain yang membutuhkan pelatihan mengenai pendidikan
inklusif dan atau pendidikan khusus.
8.
Menyediakan
bantuan kepada berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada anak atau
peserta didik berkebutuhan khusus.
9.
Menjadi
fasilitator dan mediator bagi semua pihak dalam implementasi pendidikan
inklusif.
Sekolah Khusus/Sekolah Luar Biasa (SLB)
Sekolah khusus
semestinya menjadi mitra dari sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif. Sebagai mitra kerja antar keduanya perlu melakukan kerja sama.
Pengertian kerjasama bisa jadi diwujudkan dalam secara formal artinya kerjasama
diwujudkan dengan adanya naskah kerjasama (naskah MoU).
Kebutuhan utama sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif adalah ketersediaan guru pembimbing khusus
yang idealnya dapat dipenuhi dengan memberdayakan guru-guru di sekolah khusus.
Hal ini dirasakan sulit terwujud, karena kenyataannya guru jumlah guru di SLB
pun masih kurang. Oleh karena itu kerja sama antara SLB dengan sekolah inklusif
menjadi sangat penting guna menunjang pelaksanaan pendidikan inklusif di
sekolah tersebut.
Alasan-alasan yang
muncul atas tidak terjadinya kerja sama antara sekolah inklusif dengan sekolah
khusus, khususnya dalam hal penyediaan guru pembimbing khusus di sekolah
inklusif antara lain karena masalah kurangnya komunikasi. Di sisi lain masih
terbatasnya jumlah guru di sekolah khusus menjadi faktor utama kesulitan
sekolah khusus untuk membantu menyediakan guru pembimbing khusus di sekolah
inklusif. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif kadang merasa kesulitan
untuk berkomunikasi dengan sekolah khusus. Karena sekolah inklusif yang
membutuhkan guru pembimbing khusus, maka seharusnya mereka proaktif untuk
menghubungi sekolah khusus terdekat.
Kesulitan berkomunikasi
dan keterbatasan anggaran sekolah menjadi masalah mendasar dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah inklusif. Kesulitan dan
keterbatasan tersebut, seyogyanya tidak menghambat layanan pendidikan yang bermutu
bagi peserta didik (peserta didik berkebutuhan khusus).
-
Masalah
komunikasi, kekurangan sekolah inklusif karena tidak tahu bagaimana caranya
menjalin kerja sama dengan sekolah khusus,
-
Kesulitan
sekolah inklusif untuk menyediakan akomodasi bagi guru pembimbing khusus,
khususnya dalam menyediakan ”pengganti transport” mereka.
Apa lagi pada saat ini
telah keluar kebijakan pemerintah untuk ”menggratiskan” sekolah melalui
penyaluran dana bantuan opresional sekolah, khususnya pada jenjang pendidikan
dasar. Sehingga, jika sekolah melakukan kerja sama formal dengan sekolah yang
diwujudkan dalam bentuk MoU atau naskah kerja sama lainnya, maka timbul
kekhawatiran di pihak sekolah inklusif dalam hal penyediaan anggaran yang
kemungkinan besar mengiringi MoU tersebut.
Dunia Usaha dan Dunia Industri
Peran DUDI dalam
pengembangan pendidikan vokasional, tampak lebih nyata dibanding dengan di
sekolah inklusif atau sekolah khusus. Di beberapa daerah kerja sama antara
sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan DUDI sudah banyak terwujud. Di sekolah
menengah kejuruan, seorang peserta didik belum bisa menyelesaikan studinya
tanpa terjun langsung ke dunia usaha dan dunia industri. Penyelesaian studi
dilengkapi dengan sertifiikat lulus mengikuti praktik kerja industri (Prakerin).
Hal ini sangat berbeda dengan di sekolah inklusif atau sekolah khusus. Namun
demikian, tidak berarti tidak pernah terjadi. Seiring dengan meningkatnya awareness
masyarakat terhadap layanan pendidikan bagi peserta penyandang disabilitas,
maka perhatian dunia usaha dan dunia industri pun semakin besar.
-
Dunia usaha
Selama
ini antara dunia usaha dan dunia industri seperti tidak terpisah. Namun
sebenarnya, keduanya bisa dibedakan. Dunia usaha berkaitan dengan berbagai
usaha yang melibatkan fungsi-fungsi sosial dan ekonomi. Sedangkan dunia
industri, merupakan jenis aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan produk
suatu bahan atau benda. Dunia usaha meliputi usaha-usaha perdagangan,
perbankan, dan berbagai usaha perkantoran lainnya.
Bersamaan
dengan peningkatan kepedulian dan keinginan untuk melibatkan lebih banyak
penyandang disabilitas dalam berbagai aktivitas bisnis (usaha). Pelibatan
penyandang disabilitas dalam berbagai kegiatan usaha disesuaikan dengan potensi
dan kekhasan mereka. Penyandang disabilitas yang lebih peka terhadap rasa,
sering dijumpai di café-café atau restoran-restoran. Suatu saat kita memperoleh
informasi tetang penyandang disabilitas yang mempu secara jeli membedakan
kualitas rasa kopi di perusahaan kopi terbaik di dunia.
Dunia
usaha memang sangat memungkinkan melibatkan berbagai penyandang disabilitas,
meski memang harus memperhitungkan kondisi dari setiap penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas netra, atau seseorang yang memiliki hambatan
penglihatan, memungkinkan untuk bekerja di bidang jasa, misalnya sebagai
penerima telpon atau operator jasa telekomunikasi. Seorang penyandang
disabilitas rungu, atau seseorang yang memiliki hambatan pendengaran,
memungkinkan bekerja sebagai akuntan, pembukuan, dan bidang administrasi
lainnya. Karena biasanya, secara fisik dan intelektual, penyandang disabilitas
rungu dan wicara tidak memiliki hambatan.
§
Dunia industri
Jika
konsep antara dunia usaha dan dunia industri dipisah, maka dunia usaha lebih
strategis untuk melibatkan para penyandang disabilitas dibanding dengan dunia
industri. Dunia industri secara kasat mata merupakan dunia kerja yang
memerlukan kegiatan fisik. Hal ini berkitan dengan proses produksi dari
berbagai kebutuhan hidup manusia. Industri mobil misalnya, merupakan
serangkaian produksi alat dan komponen atau bahan yang diperlukan untuk
menyusun sebuah kendaraan hingga menjadi utuh. Tetapi, tidak berarti para
penyandang disabilitas tidak akan mampu untuk mengikuti semua proses produksi
di sebuah industri. Karena di bagian-bagian tertentu selalu diperlukan
bagian-bagian lain yang sangat saling membantu. Misalnya, pada industri
kendaraan bermotor, dipastikan diperlukan teaga administra untuk mengelola
sumber daya pada industri tersebut. Penyandang disabilitas yang memiliki
kemampuan mobilitas dan gerak tidak terganngu bisa bekerja di bagian tersebut.
Seorang
penyandang disabilitas rungu, atau seseorang yang memiliki hambatan
pendengaran, memungkinkan bekerja sebagai operator mesin, misalnya operator
mesin
pemotong
kayu, operator mesin pencuci lantai dan lain sebagainya. Keterbatasan dalam
pendengaran memungkinkan seorang penyandang disabilitas rungu bisa bekerja di
ruangan yang berisik.
4.
Program Transisi
Program
transisi merupakan program yang diberikan kepada peserta didik berkebutuhan
khusus menjelang berakhirnya masa pendidikan di satuan pendidikan atau
madrasah. Program dirancang agar peserta didik dapat dengan cepat beradaptasi
dengan lingkungannya. Bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang sudah terbiasa
dengan lingkungan madrasah yang inklusif akan mendapat keuntungan, karena
selama masa pendidikan peserta didik yang bersangkutan selalu dan selamanya
berada di lingkungan yang natural.
Menjelang
berakhirnya keterlibatan peserta didik berkebutuhan khusus di madrasah,
madrasah perlu menyediakan pembekalan khusus kepada yang bersangkutan.
Pembekalan, tentu didasarkan pada hasil asesmen terakhir. Berbagai program
pembekalan dapat dirancang oleh sekolah dengan melibatkan semua pihak, antara
lain orang tua, terapis, dokter, perwakilan dunia usaha dan dunia kerja
(industri), dan lain sebagainya.
Program
transisi diarahkan pada penguasaan keterampilan tertentu yang didasarkan pada
potensi dan passion peaerta didik yang bersangkutan. Bagi peserta didik yang
memiliki potensi di bidang modeling bisa diarahkan untuk belajar menjadi model
dengan bekerja sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang entertainment.
Peserta didik yang memiliki passion di bidang pemograman komputer, artifisial
intelegent, atau komputasi bisa bekerja sama dengan perusahaan atau seorang
profesional di bidang tersebut.
Organisasi Masyarakat Sipil (Oms)
Pendidikan Inklusif
memerlukan berbagai dukungan dari berbagai aspek, antara lain pendidik (yang
mampu memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan)
dan tenaga kependidikan yang relevan, seperti terapis, tenaga medis, dokter,
psikolog, laboran, dan lain-lain. Untuk mencermati lebih jauh tentang latar
belakang, potensi, dan kondisi khusus pada peserta didik, sekolah perlu
mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa
dilakukan, yaitu
asesmen perkembangan dan asesmen akademik. Selama ini, kebutuhan sekolah untuk
melakukan asesmen kepada peserta didik berkebutuhan khusus sangat sulit. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar sekolah tidak memiliki tenaga ahli utnuk
melakukan hal tersebut.
Upaya untuk memenuhi
salah satu pemenuhan layana pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus,
seperti layanan asesmen, sekolah harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang
dianggap kompeten. Antara lain dengan melakukan kerja sama dengan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi masyarakat sipil (OMS), organisasi
profesi tertentu, rumah sakit, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kerjasama
bisa dilakukan dengan berbagai lembaga, baik lembaga nasional maupun lembaga
internasional. Lembaga internasional yang menjadi mitra pengembangan pendidikan
inklusif terdiri atas UNESCO, IBE, USAID, WHO, Helen Keller International,
Perkin International, dan lain sebagainya.
Berbagai LSM selama ini
banyak yang telah menjadi mitra dalam pengembangan pendidikan inklusif di
negeri ini. LSM-LSM ini biasanya terdapat di berbagai provinsi atau
kabupaten/kota. Artinya di setiap propinsi atau kabupaten/kota LSM yang membantu
pengembangan pendidikan inklusif bisa berbeda-beda.
Asesmen ini dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan hambatan yang dialami peserta didik
dalam melakukan aktivitas tertentu. Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru di
sekolah. Sedangkan asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai
dengan kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat
menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat
dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik di sekolah maupun di
lingkungan masyarakat.
Pada umumnya, hubungan
kerja sama antara sekolah-sekolah swasta dengan lembaga-lembaga yang bergerak
di bidang tumbuh kembang anak dan kesehatan anak lebih intensif dibandingkan
dengan sekolah-sekolah inklusif negeri. Hal ini disebabkan karena orang tua
anak berkebutuhan khusus di sekolah swasta sangat peduli terhadap anak-anak
mereka. Termasuk kesediaan mereka untuk membayar lebih besar dari pada yang
dibayarkan oleh orang tua dari anak-anak lainnya.
Peran serta masyarakat
dalam pengelolaan sekolah sangat dimungkinkan menurut undang-undang. Sekolah
sedapat mungkin harus melibatkan masyarakat dalam mengelola pendidikan di sekolah
tersebut. Baik dalam pengelolaan yang bersifat akademik maupun non akademik.
Namun demikian peran serta masyarakat tersebut harus dinyatakan secara jelas
dalam bentuk naskah kerja sama. Hal ini diperlukan agar kerja sama antara
sekolah dan masyarakat nampak jelas.
Masalah kerja sama ini,
merupakan kekurangan mendasar di sekolah inklusif hampir semua sekolah
inklusif. Sekolah inklusif hampir tidak pernah melakukan kerja sama dengan
masyarakat luar sekolah secara jelas dalam bentuk naskah kerja sama tertulis.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentarnya