Rana Menara
Masa Sekolah
Masa sekolah mungkin hampir semua orang mempunyai kesan tersendiri dalam hidupnya. Terutama pada saat di sekolah dasar. Kesan itu masih membekas hingga orang itu beranjak dewasa. Namun , kesan yang didapat mungkin saja beragam. Ada yang mendapatkan kesan yang membahagiakan, menyedihkan, bahkan kesan yang pahit untuk dikenang. Aku, ya aku.. adalah anak yang memiliki kenangan ketiganya, bahkan jika mungkin aku menghitungnya dalam bentuk persen,maka bahagia 20%, sedih 30%, dan sisanyanya kesan yang pahit untuk dikenang. Masa sekolah dasar adalah masa dimana aku merasa bahagia ketika pada kelas 1,2 dan 3 mendapatkan peringkat, kesungguhankau dalam belajar terasa sangat menyala karena motivasiku untuk meraih juara kelas. Namun, aku tak tahu bagaimana caranya belajar yang baik. Belajarku hanya mendengarkan guru ketika menjelaskan, menaati ketika diberi nasihat, dan melaksanakannya ketika diperintah. Aku tak pernah mau duduk dibelakang, aku harus duduk paling depan. Aku ingin penjelasan guruku dapat aku dengarkan dan ikuti dengan baik. Pendidikan di kelas rendah telah aku lalui, tiba saatnya aku mengawali pendidikan kelas tinggi di sekolah dasar yaitu kelas 4. Perubahan mulai terasa, persaingan mulai ada antara aku dan teman sebangkuku. Dia mulai merasa tersaingi dan ingin selalu menjadi pengatur ketika belajar di kelas, menguasai seluruh buku yang dibagikan oleh guru sehingga bahkan aku tak pernah mendapatkan giliran untuk belajar. Mentalku mulai tertekan, aku tak mau melawan, aku hanya pasrah terhadap apa yang ia lakukan, aku yakin walau agak terlambat aku masih bisa mengumpulkan tugas yang diberikan guru. Tak disangka, hingga kelas 6 perlakuan seperti itu tetap terjadi, dan tentu saja berimbas kepada nilai-nilaiku. Aku tak mau menyalahkan siapa-siapa, aku hanya menyalahkan diriku sendiri, mengapa aku hanya diam saja ketika diperlakukan demikian. Rangkin yang kudapat hanya berkutat pada 10 besar, taka da lagi ku dengar namaku disebut oleh guru sebagai juara 1, 2 ataupun bahkan 4. Tujuanku berubah, tak lagi kata juara yang aku nginkan, tapi LULUS dan dapat melanjutkan sekolahlah yang aku inginkan. Percaya diriku menurun, hingga hanya berpikir, apalah aku, aku hanyalah seorang tukang ngarit rumput, pencari kayu bakar dan tak mungkin aku akan melangkah lebih jauh dengan menjadi juara di sekolah. Ya, keseharian sepulang sekolah tugasku adalah mencari rumput untuk kambing yang diberikan oleh Bapak. Adalah sudah menjadi tradisi di kampungku jika sehabis sekolah dihabiskan untuk mencari rumput dan mencari kayu bakar.
Kelulusan sekolah dasar telah
diumumkan dan tentu saja sesuai harapanku, aku lulus. Lagi-lagi aku sebangku
lagi, entahlah temanku ini memang tak mau pisah bangku. Entah apa tujuannya,
yang ku tahu memang ia yang mengatur agar aku tetap sebangku dengannya. Ia kini
lebih percaya diri, dalam pelajaranpun aku selalu kalah dengannya. Ddan
lagi-lagi tak aku pedulikan, aku tetap saja tak tahu bagaimana cara belajar
caraku masih sama saat aku masih di jenjang sekolah dasar. Semakin beranjak
remaja bukannya menambah rasa percaya diri, namun aku semakin betmabah minder.
Tak hanya dalam kepercayaan diriku dalam belajar, dalam fisik, penampilan, dan
lainnya. Aku tak bias menyembunyikan keminderanku, masalah penampilan. Untuk
seragam sekolah saja, aku tidak mempunyai seragam yang sebadning dengan
teman-temanku. Seragam yang kukenakan, peninggalan kakakku terdahulu, lengan
panjang dan itupun lengan panjang untuk seragam perempuan, ya..kakakku
perempuan, hingga sepatu yang telah dibelikan bapakku, sudah nampak lapuk dan
terkadang aku harus merasa kesulitan menyembunyikan jari jempol kakiku yang
terlihat dari luar. Pada akhirnya sepatu
kakakku pulalah yang aku pakai, kenetulan sepatu itu terlihat awet karena
bahannya lumayan bagus. Namun, aku harus berusaha melipat jari-jariku agar
sepatu bekas tadi dapat aku pakai. Yah, bukannya aku tak mau membeli atau kedua
oranngtuaku tak mampu membelinya, namun terkadang aku tak mau memberatkan
keduanya untuk keperluanku yang kurasa aku belum layak memilikinya. Namun aku masih
bangga, aku mempunyai kedua orangtuaku yang tak bosan mengajariku banyak hal.
Yah, walaupun bukan pelajaran sekolah, tapi yang terpenting adalah pelajaran
hidup, tentang bagaimana menghargai hidup dengan melakukan hal yang bermanfaat
bagi diri dan dan orang lain. Mungkin itu salah satu yang aku pahami mengapa
aku tak mau melawan perlakuan orang lain yang dirasa tak adil terhadapku, aku
hanya ingin melakukan yang disenangi orang lain, tak mau membuatnya kecewa
walau terkadang apa yang aku lakukan mungkin akan dianggap benar. Akupun
bangga, walalu prestasi akademikku tak begitu menonjol aku masih bias
menunjukkan bakatku dalam seni membaca Al-quran kala itu. Aku sering dipanggil
untuk mengisi acara perpisahan alumni sekolah, pernikahan, dan acara lainnya
yang mengharuskan ada pembacaan ayat suci al-qur’an. Ibuku ya ibuku selalu
bangga dengan apa yang aku lakukan, bahkan ia tak begitu mengiraukan prestasi
akademikku, yang ia harapkan hanya agar aku bisa mengaji dengan baik. Hal ini
terlihat ketika apapun, dimanapun, syarat apapun dalam pengajian tempatku
menuntut ilmu ibuku selalu mewajibkannya agar dilaksanakan dengan baik. Tempat
mengajiku memang jauh, menyebrangi jembatan gantung yang terkadang membutaku
dilemma, jalan mana yang harus aku lalui. Melewati sebelah utara aku akan
mendapai sebuah jembatan gantung yang telah using atau melalaui jalur barat
yang akan dihadapkan pada kawanan anjing milik penduduk yang tak jarang
mengejarku ketika akan berangkat mengaji. Namun semuau itu adalah rintangan
yang kecil kala itu bagiku. Seperti yang telah dilakukan oleh seniorku
terdahulu, di pengajian itu ada jadwal yang mewajibkanku untuk membawa pakan
kambing untuk guru pengajar di pengajian itu. Dan tak jarang pula jika pengajar
pengajian telah mewajibkan untuk mencangkul di sawahnya maka aku harus izin
tidak sekolah karena kewajiban di pengajian itu jauh lebih penting. Entahlah
dan kegiatankupun selalu mendapat restu dari ibuku. Dari itulah aku mengetahui
apa yang diharapkan ibuku kepadaku. Namun, entah apa yang terjadi dengan
suaraku, ketika beranjak remaja suara ini tak lagi dapat berteriak, suaraku
nyaris seperti orang gagu. Suaraku yang dulu melengking kini hanya terdengar
samar, serak dan tak jelas. Tak ada lagi yang memintaku untuk membacakan
ayat-ayat suci alqur’an. Tapi sudahlah , mungkin ini sudah garisku. Namun usaha
pengobatan tetap aku jalani.
Pengumuman kelulusan di SMPpun
telah diumumkan, dan tentunya NEM (Nilai Ebtanas Murni) ku ternnyata baik,
peringkat 4 kala itu, teman sebangkuku peringkat 2. Waktunya untuk memikirkan
kemana aku harus melangkah. Sekolah?, bertani?,
ataukan mondok?. Tak ada yang
dapat aku putuskan. Aku hanya mendengarkan teman-temanku tentang rencana sekolahnya
ke jenjang lebih tinggi, ada yang masih dekat dengan desa, bahkan ada yang
kota. Tiba suatu hari ketika akan melakukan sidik jari, temanku mengajakku
untuk daftar sekolah ke kota. Dimana aku tak pernah mengenal kota. Ke pasar di
kotapun yang terkenal saat itu bias dihitung mungkin dalam setahun hanya
sekali, itupun sebagai salah satu hadiah dari orang tua terhada anaknya. Saat
itu yang ku tahu hanyalh pergi ke kebun utntuk mengambil rumput dan kayu bakar.
Temanku kian semangat mengajakku daftar ke luar desa. Dan tentu saja aku
menanyakan kepada orang tuaku apakah keduanya sanggup untuk membiayainya.
Namun, ibuku tentu ingin aku melanjutkan ke pondok pesantren. Selang beberapa
hari, saat di kebun ketika memetik kopi, pekerja yang kebetulan mempunyai adik
yang sedang mondok pesantren bercerital kepadaku dan kedua orang tuaku, bahwa di pondok sangat ketat dan belum lagi
santri yang terkadang kehilangan barang-barangnya saat ditinggal belajar. Hal
ini membuatku dan merasa takut, dan sepertinya tak sanggup untuk melanjutkan ke pondok pesantren. Ibuku
akhirnya memutuskan dan mempersilakanku untuk memilih kemana akan kulanjutkan
sekolahku. Pada akhirnya, tawaran temanku untuk melanjutkan sekolah ke luar
desa aku terima.
Dengan gaya yang desa yang tak
mencium kota, berangkatlah aku. rasa sedih ketika meninggalkan rumah aku
rasakan sepanjang perjalanan. Namun terkadang terlupa oleh pemandangan kota
yang ajarang aku lihat sebelumnya. Aku selalu berusaha menghilangkan rasa itu
agar apa yang menjadi harapan kedua
orang tuaku agar aku melanjutkan sekolah adapat aku wujudkan. Tibalah di sebuah terminal, dengan tergesa aku
turun dari mobil bus yang membawaku dan kardusku sebagai bekal yang diberikan
ibu ketika akan berangkat. Ku lihat banyak sekali mobil bus yang sama warna dan
bentuknya. Orange, ya orange warnanya. Banyak pula mobil angkot dan sama pula
warnanya, warna biru langit yang banyak di terminal itu. Setelah sampai di
terminal, temanku mengajakku untuk berjalan kaki menuju tempat pamannya yang
katanya kosannya dekat dengan terminal. Berjalan kakippun sampai katanya, yah
mungkin Karena kami anak kampung, perjalan yang jauhpun dirasa seakan dekat
saja. Banyak sekali para calo angkutan yang bertanya mau kemana dan menawarkan
mobilnya untuk ditumpangi. Namun, kami tetap berjalan menyusuri trotoar jalan
raya. Sepanjang jalan ku kerap kali mamndangi pohon yang dikampung sering aku
petik daunnya untuk dijadikan pakan kambing. Dan hari itupula aku sudah rindu
suasana di kampung dan kegiatanku. Rasanya aku ingin pulang kembali. Namun
apalah daya ini di kota, dan aku tak tahu jalan pulang. Rasa heran mulai
menyelimuti pikiranku, mengapa sudah sekitar 20 menit kosan paman temanku belum
juga terlihat. Jangan-jangan….. tersesat….. gumamku. Dan benar saja, ternyata dari sekian jauh perjalanan, kami hanya memutari
terminal dan kembali lagi ke terminal. Marasa penasaran, kami ulangi lagi
perjalan dengan mengandaalkan ingatan temanku yang katany apernah diajak ke
kosan pamannya. Sampailah di suatau tempat, ada yang bertanya tentang kemana
tujuan yang akan kami tuju. Kami diminta mampir ke rumahnya yang tak begitu
jauh dari terminal. Seseorang itu
memberitahukan alamat yang sedang kita cari, namun aku masih tak percaya,
karena yang memberitahukan itu adalah seorang yang buta. Perjalan kami
lanjutkan, dan hasilnya tetap saja kami kembali ke terminal. Cuaca semakin
mendung, dan airpun jatuh dari langit, spontan kami mmencari tempat untuk
berteduh. Namun entah apa yang kami pikirkan secara spontan kami masuk ke dalam
bus yang berwarna orange, entah jurusan
mana. Dan setelah berteduh di bus yang masih terparkir menunggu
penumpang, tak disangka, ternyata paman temanku ada di sana dan menegur
temanku. Bahagia campur kesalpun tak aku pedulikan, aku capek dan dengan
lenglai aku duduk di dekat paman temanku. Aku lakukan itu agar tak kehilangan
jejak lagi. Sampailah di kosan paman temanku. Hidangan makan siangpun ternyata
telah disiapkan, mungkin saja pamannya telah menyiapkannya sebelumnya. Sungguh
menjadikan obrolan yang tak putus waktu itu, membicarakan perjalan yang telah
dilalui hari ini. Paman temanku tertawa-tawa mendengarnya dan berusaha untuk
memberikan petunjuk jalan yang benar ketika nanti mungkin tersesat lagi.
Pendaftaran sekolahpun di mulai,
aku mendaftar di dua sekolh, temankupun sama, karena merasa ragu apabila tidak
diterima di sekolah yang dituju sebelumnya. Lagi-lagi aku tak tahu cara belajar
dalam menghadapi tes masuk sekolah. Modalku hanya keyakinan bahwa aku akan
melanjutkan sekolah walalupun entah sekolah yang mana. Hari itu, tespun dimulai, setelah mengerjakan
materi soal umum, aku harus melanjutkan praktik mengaji, ini yang aku takutkan,
tes dengan menggunakan suara, sedang suaraku hanya terdengar samar-samar.
Setelah tes dialakanakan, penguji menanggapi dengan nada yang lembut, dan
memujiku bahwa nadaku mengaji sebetulnya sudah bagus, hanya suaraku yang tidak
maksimal, kemudian kuceritakan apa yang aku alami, dan penguji[un memakluminya.
Pengumumanpun tiba, dan tak disangka aku lulus di sekolah pilihan utama, dan
sayangnya temanku tak lulus di sekolah pilihan utama, dan itulah yang menyebabkan
kami tak satu kosan.
Sinar mentari pagi hari itu
menyaksikanku bahwa aku sudah mendapatkan kosan, kosan yang tentunya tidak sama
dengan teman-teman seangkatanku. Kosan yang menyatu dengan rumah pemiliknya,
hanya satu kamar, jauh dari komplek kos-kosan. Aku mengontrak sendiri, tak ada
teman. Aku hanya dititipkan bahwa aku harus mengontrak di situ karena orang
tuaku kenal dengan pemilik rumah itu, ia adalah tetangga desa yang kini menetap
di kota. Perjalanan dari kosan ke sekolah cukup jauh, sekali naik angkot dengan
ongkos dua ratus rupiah kala itu. Buatku, hal itu terkadang menjadi bahan
pikiranku, bagaimana cara agar aku tak harus naik angkot ke sekolah. Semenjak
itu, akupun berusaha menabung dari uang bulanan yang diberikan orang tuaku
sejumlah duapuluh lima ribu sebulan aku sisihkan yang kumaksudkan agar aku
dapat membeli sepeda bekas. Hari berganti hari, minggu ke minggu, di sela
sepulang sekolah aku selalu memandangi pepohonan yang rindang dan serta merta mengingatkanku
akan kampung halaman, tak betah rasanya jauh dari orang tua, dan selalu ingin
pulang. Namun, hal itu aku tahan, agar niatku untuk tetap sekolah dapat
terwujud. Setahun sudah, aku tinggal di kosan itu. Aku mulai terbiasa dengan
pekerjaan di rumah itu seperti di rumahku sendiri, banyak tugas yang harus aku
kerjakan dan menjadi aktifitas rutin sehari-hari. Pemilik rumah memang
mempunyai anak gadis yang sedang berkuliah, tetapi karena kesibukannya maka
pekerjaannya di rumah terkadang akulah sebagai penggantinya. Mulai dari mencuci
piring, menyiram bunga, mengisi ember besar penampung air, dan pekerjaan
lainnya yang menjadi keperluan pemilik rumah itu. Aku tak berkeberatan, karena
pesan kedua orang tuaku yang mengajarkan agar aku harus ringan tangan, tidak
gengsian, dan menuruti perintah pemilik rumah itu. Hingga pernah suatu saat aku
harus menyebrangi jalan raya dengan sebatang bambu panjang dipundakku, dan tak
hanya itu mengangkut kayu-kayu apkiran dari sebuah pabrik pernah aku jalani.
Kejadian tak terdugapun datang, temanku yang dulu tidak lulus di sekolah
pilihan utama yaitu sekolahku saat ini, rupanya ia ingin pindah ke sekolahku,
dan ingin mengontrak satu kamar denganku. Disisi lain aku senang karena ada
yang menemaniku, namun di sisi lain aku
tak bisa mengimbanginya, terutama dalam masalah perlengkapan alat sekolah,
perlengkapan kebutuhan sehari-hari, dan masih banyak lainnya yang tak seide
dengan ukuran tingkat ekonomi kedua orangtuaku. Dan rasa minder itu muncul
kembali. Tapi, tak apalah aku akan tetap menjadi diriku sendiri tanpa harus
menyesuaikan dengan gaya dan kebiasaanya. Banyak yang berubah setelah ia
menetap di kosanku, terutama perilakunya yang terkadang dinilai oleh pemilik
rumah tak sesuai yang diharapkannya. Namun rasa kekesalan pemilik rumah selalu
menyindirnya melaluiku, dan yang disindirpun seakan tidak peka dan dianggapnya
angina lalu. Semakin hari, semakin aku tak betah dengan perkataan pemilik rumah
yang menimpakan kekesalan orang lain terhadapku. Tibalah suatu malam aku
mengambil keputusan untuk pindah kosan. Tengah malam buta aku mengemasi
barang-barang. Walau keputusan itu sama sekali tak mengenakkan bagi pemilik
rumah dan temanku. Namun aku harus keluar dari keadaan ini, aku sudah tak
sanggup dengan celotehan pemilik rumah yang kian pedas. Pagi harinya, tambak
sebuah angkot yang telah aku temui dipinggir jalan telah menunggu di depan
pintu. Pemilik rumahpun kaget, ada apa dan megapa aku harus pergi, namun dengan
penjelasan yang singkat aku harus meyakinkannya bahwa keputusan yang kuambil
sudah kuperhitungkan matang-matang. Tujuan pindah hari itu adalah masjid. Ya ,
masjid di kota memang ada tempat tinggal bagi siapa saja yang mau mengisinya
asalkan dapat menjadi muadzin dan mengajar ngaji di TPA. Setibanya di masjid,
ternyata ada teman sekelasku yang memang sudah lama tinggal di perumahan
masjid. Namun perkiraanku meleset, aku kira aku akan menetap lam di masjid itu,
tapi ternyata, temanku malah mengajak untuk mencari kontrakan yang baru. Aku
bingung, dari mana uang kontrakan untuk mengontrak kembali. Haruskah aku pulang
dan memberitahukan kepada kedua orangtuaku bahwa aku akan membutuhkan uang
untuk kontrakan yang baru?. Tapi sebelum akau mendapatkan jawaban dari apa yang
aku pikirkan ternyata di masjid itu ada yang menawarkan untuk mengisi rumah
kosong yang baru ia beli. Tidak untuk dikontrakkan, alias gratis. Tanpa piker
panjang aku dan temanku menyanggupinya. Tanpa basa-basi mobil angkotpun telah
kami persiapkan untuk mengangkut ke rumah kosong tadi. Ternyata, rumah kosong
itu hanyalah berdinding triplek yang sudah usang, bolong di sana-sini dan lebih
parahnya lagi taka da listrik yang terpasang karena telah diambil oleh pemilik
pertama. Tapi tak apalah, kami bertekad untuk tetap menempati rumah itu, toh
rumah itu tak jauh dari masjid. Seiring berjalannya waktu, setiap pulang
sekolah bapak pemilik rumah itu selalu mengontrol keadaan rumah, da nada saja
pekerjaan yang harus kami kerjakan, mulai dari membetulkan genteng yang bocor
hingga menjadi kenek tukang yang mulai akan meronovasi rumahnya. Jangankan
penerangan tak ada tempat tidur kami yang layak, kami tidur di atas kusen yang
ditumpuk menyerupai dipan. Dengan beralaskan karpet masjid berwarna hijau yang
diberikan oleh penunggu masjid menjadi alas kami tidur. Lagi-lagi aku selalu
membandingkan dengan teman-teman seangkatanku, sepertinya tak ada di zaman itu
yaitu tahun millennium yang keaadaannya seperti kami. Kompor tak punya, setrika
listrik tak punya, listrikpun taka da. Setiap pukul empat pagi adalah waktu
yang tepat untuk mencari kayu bekas pagar yang telah usang dipinggir rumah
untuk dijadikan kayu bakar agara dapat menanak nasi. Hal ini memang terasa
konyol jika dipikirkan hari ini, namun waktu itu kami bahagia menjalaninya.
Sehabis subuh penerangan yang kami dapatkan untuk belajar adalah dengan
mendekatkan buku kami pada sumber api ketika menanak nasi. Dari itu aku mulai
memahami bagaimana caranya belajar, ya, dengan membaca buku-buku pelajaran, dan
mengulang lagi pelajaran yang diterima guru. Meja yang kami gunakan adalah kayu
berbentuk kotak bekas dudukan closed. Permukaannya kami tutupi dengan sisa-sisa
papan yang ada di belakang rumah. Kabar gembirapun datang, listrik akan di
pasang oleh pemilik rumah, namun seperti biasa kami harus ikut membantu
menyiapkan instalasinya. Dunia seakan terang dan rasa semangat belajarpun terus
meningkat. Kami lebih semangat dalam belajar. Selang beberapa bulan, tak pernah
dikira sebelumnya, pengurus TPA meminta kami untuk ikut mengajar di TPA. Tentu
kami sangat senang karena ada yang memercayai kami untuk mengajar. Dan tak
dikira, ternyata ada pula yang meminta untuk dijar secara privat. Tentu ini
sebuah kesempatan yang tak mungkin ditolak.
Keseharianpun berubah, sepulang
sekolah ada pekerjaan yang menunggu, aku harus mengajar privat dari rumah ke
rumah di komplek perumahan itu dari Blok A hingga E. Selepas ashar aku harus
mengajar di TPA, dan malam sehabis magrib mengajar privat kembali. Terus dan
terus begitu. Dengan kegiatan yang padat, sampai-sampai rasa rindu kampung
halaman terkalahkan oleh pekerjaan yang kian padat. Jika dulu aku harus pulang
karena kehabisan bekal, kini aku tak mau pulang karena sayang jika honorku
terlewatkan karena pulang kampung. Honorku saaat itu, jika dibanddingkan dengan
uang bulanan yang diberikan orangtuaku jumlah bisa 10 kali lipat bahkan bisa lebih.
Dan jika ada waktu libur dan cukup untuk digunakan pulang kampung, aku bisa
membawa oleh-oleh seolah aku sedang bekerja di kota besar. Kedua orangtuaku tak
melarangku untuk bekerja menjadi guru privat asal tidak mengganggu belajarku.
Bahkan orangtuaku bangga dengan pencapaianku saat itu. Sampai-sampai aku bisa
membeli sebuah handphone yang jika dibwa ke kampung belum ada seorangpun yang
meilikinya, sinyalpun taka da. Demi menjaga kebahagiaan orangtuaku, aku tidak
pernah bercerita bahwa aku tinggal di sebuah rumah yang tak layak huni. Aku
hanya menceritakan bahwa aku telah pindah kosan yang baru bersama temanku. Aku
berjanji kepada diriku sendiri, kenangan pahit selama di perantauan tidak akan
kuceritakan sebelum aku menggapai cita-citaku.
Dengan mendapatkan penghasilan
tersebut, kini aku juga mulai memperhatikan penampilanku dari segi berpakaian,
pakaian lusuh yang telah usan perlahan aku dapat menggantinya dengan yang baru
dari hasil pekerjaanku. Peralatan sekolah yang dulu tak punya kini aku dapat
memeblinya, walau sebetulnya aku sudah nyaman dengan kebiasaanku. Namun untuk
hal yang penting dan pokok aku selalu mengutamakan untuk membelinya. Hampir
satu tahun sudah tak terasa aku telah mendiami rumah itu. Terdengr kabar bahwa
rumah yang aku diami akan direnovasi. Dan setelah aku tanyakan kepada
pemiliknya, dia mengiyakan, dan bahkan ternyata kenek tukang yang akan membantu
merenovasinya adalah aku dan temanku disamping kenek yang dibawa oleh tukang.
Tak apa, akupun memakluminya, karena jika aku mengontrak rumah itu mungkin
sudah berapa rupiah yang harus aku bayar. Hitung-hitung sebagai bentuk
terimakasihku kepada pemilik rumah karena telah memberikanku tempat tinggal
gratis. Jadwal mengajarpun aku ubah, ada beberapa rumah yang aku satukan, da
nada pula jam belajar yang aku geser menjadi malam hari, bahkan ada pula yang
aku putuskan untuk tidak mengajar kembali jika tidak bisa mengikuti jadwal yang
ak utawarkan. Seperti biasa, sehabis pulang sekolah aku harus menjadi kenek
tukang. Setiap hari, hingga rumah itu berdiri dan selesai dibangun. Tepat
ketika rumah itu selesai, maka akupun lulus dari sekolah. Lagi-lagi tak ada
rencana untuk melanjutkan sekolah.
Bersambung…
Transisi Sekolah dan Pekerjaan
Antara Pena dan Tusuk Sate
Oleh: Saiful Jamil
“Wisuda diplomaku semakin dekat, tapi tak pernah ada bayangan akan kemana dan apa yang harus aku lakukan setelahnya.” Gumamku sambil berjalan menyusuri jalan komplek perumahan menuju arah kampus. “Hai, Jamil…” panggil seseorang dari arah belakangku. Akupun tersentak, menghentikan langkah, sambil menoleh kea rah belakang. “Eh..ngagetin aja, kamu ternyata.” Jawabku sambil tersenyum malu, karena pasti dia tahu aku sedang melamun. Dia bernama Farida yang satu kampus dan satu kelas denganku. Setiap berangkat ke kampus, tak jarang kamipun sering berangkat bersama dengan berjalan kaki. “Sebentar lagi kita kan wisuda nih, mau lanjut kuliah atau mau pulang kampung?” Tanya Farida seakan tahu yang sedang aku pikirkan. “Kok kamu tahu, aku tadi itu lagi mikirin itu, mau kemana ya.., setiap mau lulus aku selalu bingung, dulu waktu mau lulus SMA teman-temanku sudah sibuk mendaftar dan tanya-tanya masalah kampus aku malah sibuk tanya-tanya masalah harga sewa kontrakan, karena menurutku di manapun kampusnya pasti materi kuliahnya sama, tapi masalah kosan, pasti harganya berbeda.” Jawabku diiringi tawa kecil. “Ah kamu ini, kalo aku sih kayaknya mau pulang kampung, aku sudah daftar di SD dekat rumahku bahkan aku sudah ngajar di sana, seminggu dua kali ngajar mulok bahasa lampung.” Jawab Farida. “Wah enak ya, bener juga ya, apa aku juga gitu aja ya?”, tambahku seakan meminta pendapat. “Kalo kamumah mending lanjut aja.. S1 sekalian!” Farida menjawab dengan nada meninggi. “Ya maunya sih gitu, tapi dulu aku pilih Diploma II karena perhitunganku waktu itu, biat cepet kerja, dan gak terlalu membebani orang tua kuliah berlama-lama.” Obrolahpun terus belanjut membahas masalah rencana ke depan setelah wisuda.
Obrolan yang sangat panjang, karena perjalanku ke kampus dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Ya..mungkin diantara teman sekampusku hanya akulah yang berjalan kaki dan yang paling jauh. Jalan menuju kampusku tidak dilalui angkot, hanya angkutan becak saja yang dapat mengangut penumpang dari komplek kosanku kea rah kampus. Dan yang kedua mungkin temanku farida, tapi jarak kosan farida ke kampus hanya separuh atau mungkin kurang dari separuh jarak kosanku ke kampus.
Wisudapun telah selesai, teman-teman sekelasku telah berpencar sesuai dengan rencananya masing-masing, termasuk temanku Farida telah pulang ke kampung halamannya sesuai rencananya pula, tinggallah aku. Bukannya tak ingin langsung pulang kampung, tapi karena aku masih mempunyai tugas dan kewajibanku yang belum semuanya kutunaikan. Sambil kuliah, aku memang sudah mengajar privat di komplek perumahan. Mungkin tinggal beberapa kali pertemuan lagi. Aku harus meminta izin dan mengundurkan diri untuk berhenti mengajar privat. Aku ingin pulang kampung, sepertinya ide dan rencana farida kala itu, bagus juga buatku. Harga kontrakan semakin tinggi, melebihi biaya semester di kampus, itulah alas an pokok mengapa aku harus pulang kampung dan tak melanjutkan kuliah S1. Diploma II kurasa sudah cukup dan sah untuk mengajar di sekolah dasar.
Sekitar pukul 20.05, tiba waktunya aku mengajar di rumah wali muridku yang terakhir, “Maaf Ibu, ada yang mau saya obrolkan dengan ibu, minta waktunya sebentar boleh?’’. Dengan malu-malu, kuberanikan membuka obrolan selepas mengajar anaknya. “Oh ya, gimana?’’ senyum ramah ibu itu memang tak kuragukan lagi, ia memang ramah semenjak aku mulai mengajar di rumah itu. “Begini bu, pertama sekali saya mohon maaf, saya sudah lama mengajar putera ibu, dan ini adalah pertemuan ke empat di akhir bulan ini, saya berencana akan pulang kampung dan mungkin akan menetap disana sambil mencoba untuk daftar mengajar di sekolah, jadi saya mohon izin dan pamit, mohon maaf jika selama saya mengajar pastinya banya sekali kekurangan dan kurang sesuai dengan harapan ibu..” ujarku menjelaskan tujuan obrolan. “Loh..looh..kenapa? kok kayak mendadak gini, kenapa? honornya kurang ya..?” Tanya ibu itu sambil sedikit tertawa dan heran. “Bukan-bukan…bu..bukan begitu..” Jawabku langsung memotong kalimat ibu itu, khawatir salah sangka terhadap keputusanku. “Jadi, begini bu, saya kan sudah selesai kuliahnya, Cuma diploma 2 bu, jadi ya sebentar, jadi hari ini saya berkeliling ke setiap rumah yang saya ajar untuk pamitan.” Tambahku. “Ooo, jadi gitu.., emang gak lanjut kuliah saja?, atau kerja aja disini banyak kok kerjaan, atau gini aja, adik ibukan jadi panitia penyelenggara penerimaan Satpol PP, mau gak ibu daftarin, ibu titipin gitu..” berondong jawaban sekaligus tawaran ibu itu, membuatku senang terhadap perhatiannya sekaligus heran, apa hubungannya lulusan guru dengan menjadi Polisi Pamong Praja?. “Terimakasih tawarannya bu, tapi wali murid yang lain sebagian sudah saya kabari sekaligus pamitan, jadi sekali lagi terimakasih dan mohon maaf jika selama ini saya banyak salah.” Jawabku agar tak berlama-lama, karena waktu sudah hampir jam 9 malam. “ Oh ya sudah, ibu juga mohon maaf ya, oh ya sebentar.” Lanjut ibu itu berusaha mengerti dan memaklumi keinginanku sambil beranjak dari tempat duduknya, sepertinya ia menuju ke ruangannya. “Ni..ibu Cuma bisa ngasih segini, mohon diterima, kurang lebih ibu mohon maaf, semoga kebaikan kamu selama ini Alloh membalasnya.” Sambil menyodorkan amplop putih bergaris merah biru dan menempelkannya ke telapak tanganku. Seperti biasa dengan malu-malu akupun menerimanya. “oh ya terimakasih ya bu, sekali lagi saya mohon maaf, salam buat bapak, saya pamit bu ya.” Sambil memasukkan amplp tadi ke dalam saku bajuku. “Ya, mudah-mudahan kamu sukses di kampung ya, salam juga buat kelurga.” Ibu itu menambahi. “ Ya bu, insyaalloh, saya pamit, Assalamulaikum..” jawabku sambil keluar dari rumah itu. Tuntas sudah , semua walid murid sudah aku beritahu bahwa aku harus pulang kampung. Kewajibanku mengggenapi mengajar privat di bulan ini sudah kutunaikan.
Harum bunga kopi mulai tercium di perjalanan, menandakan kampung halamanku sudah dekat, rasa bahagia tak terhingga menyelimutiku. Akhirnya sudah sekian bulan aku tak pulang, kini aku bisa pulang dengan hati yang lega, tak ada tugas dan kewajiabanku di kota itu yang tidak aku tunaikan, terutama mengajar privat, inilah yang selama ini terkadang aku tak bisa pulang kampung dengan rutin. Tak berselang lama, mobil L 300 yang aku tumpangi sudah mendekati rumah orang tuaku. “Duk duk duk, kiri…” bodi mobil L 300 aku pukul 3 kali, itulah kode untuk menghentikan mobil yang biasa dilakukan di kampungku, sebagai pertanda bahwa penumpang telah sampai tujuannya. Akupun turun dari mobil itu, dan tentu tak lupa menghampiri supir mobil itu untuk menyetorkan ongkos. Langkah kaki yang semangat, menuju halaman rumah, tampak sepi. “mungkin Ema dan Bapak, belum pulang dari kebun” gumamku. Karena waktu masih menunjukkan pukul 10.48. Bapak dan Ema biasanya pulang pukul 12.30 dari kebun. Aku tahu, pintu dapur tak pernah dikunci, aku masuk rumah lewat dapur dan membuka ruangan tengah melalui pintu yang juga bisa dibuka karena kuncinya selalu disimpan di bawah keset, itu merupakan kebiasaan ema yang sudah aku hafal.
Suara orang mengobrol sudah terdengar di depan rumah, ku buka hordengan yang menutupi pandangan, dan ya benar sekali, Bapak dan Ema sudah pulang. “Assalamaulaikum..” Suara Ema, ia tahu bahwa ada orang di dalam rumah. “Waalaikumsalam Warohmatullohi Wabarokaatuh” jawabku. Sambil menaruh perbekalan kebun, ibuku langsung tahu itu suaraku. “ Kamu dah pulang, jam berapa sampai?” Tanya Ema, “jam sebelas kurang,” jawabku sambil salim cium tangan kepada bapak emaku. Obrolanpun berlanjut dari mulai bercerita tentang pekerjaanku, hingga menceritakan teman-teman sekampusku yang berpencar menjalankan semua rencananya. Dan akupun tentu saja mengutarakan rencanku kepada bapak emaku.
Hampir satu bulan lamanya, ternyata pekerjaan yang aku rencanakan belum mendapat jawaban, bapak emaku tak keberatan jika aku tak cepat-cepat mendapat pekerjaan. Aku masih dengan kegiatanku layaknya anak kampung yang harus ke kebun membantu orangtuanya. Namun terkadang ya.. ada saja yang mengomentari, “Anak lulusan kuliahan kok kerjanya di kebun.” Namun hal itu sudah aku anggap biasa. Kabar tentang lamaranku untuk mengajar kini sudah mendapat jawaban, aku diterima di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumah. Kegiatan rutin sehari-haripun berubah, aku tak lagi ke kebun setiap pagi, aku sudah mulai mengajar. Namun siang hari sepulang mengajar dan hari libur aku berusaha untuk tetap berangkat ke kebun hingga sore hari, kemudian selepas magrib aku gunakan untuk mencoba menlanjutkan mengajar ngaji di sebuah masjid yang tak ajuh dari rumah, hitung-hitung aku mengenang kembali pekerjaan yang telah aku lakukan semasa sekolah hingga kuliah dulu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, perubahan kian terus terjadi, perubahan positif tentunya. Tak disangka, beberapa sekolah swasta yang ada di kampungku mengajakku untuk ikut mengabdi di sana, ya aku adalah lulusan madrasah tsanawiyah. Sebuah penghormatan dan kebanggaan tersendiri buatku karena aku bisa bergabung mengabdi di sekolahku dulu. Madrasah tsanawiyah masuk pukul 13.00 dan aku rasa aku masih bisa mengajar di sana karena mengajar di SD sampai pukul 12.15 WIB. Sebuah rutinitas kesibukan yang padat, namun aku sangat menyenanginya dan bahkan aku bangga, “Bukankah di setiap do’a orang tua, selalu menyebutkan agar memiliki anak yang sholeh, berbakti kepada keluarga, bermanfaat bagi masyarakat, agama, nusa dan bangsa?’’ aku bertanya kepada diriku sendiri. “ Ya, inilah jawaban do’a kedua orangtuaku.” Akupun menjawabnya sendiri.
Saat istirahat pulang sekolah, tiba-tiba..“Assalamulaikum..” terdengar jelas sekali dekat pintu, “Wa’alaikum salam.., silahkan masuk pak…” jawabku kepada tamu tersebut, dan ternyata ia adalah seorang tokoh pemuda desa. “ Lagi sibuk?” sambil duduk merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. “Ah nggak, ya gini ajalah, minum apa ini, kopi ya?’’tawarku. “Boleh..” jawabnya singkat. “Ok, tunggu ya.” Jawabku sambil melangkah menuju dapur untuk membuatkan kopi. Dua gelas kopi menngepul telah tampak di atas meja. Bunyi seruput kopi berssahutan sebagai selingan perbincangan yang kian menghangat. “Jadi gini..” Jaya seolah membuka bab baru dalam obrolan dengan wajah yang kini berubah serius. Ya, tamu itu bernama Jaya, tokoh pemuda di desaku. “Maksud kedatangan saya ini, yang pertama sekali silaturahmi, lagian kita terhitungnya masih saudara, kemudian yang kedua, kamu mungkin tahu, bahwa desa kita ini sedang berencana akan mekar dari desa induk, nah nanti jika ada undangan mengenai masalah pemekaran desa tolong hadir ya.” Ujarnya dengan penuh harap. “Oh ya, ya, saya baru dengar baru-baru ini.” Jawabku mengiyakan. “ Nah..dari itu, nanti tolong dibantu segala sesuatunya yang menyangkut pengadministrasian pemekaran desa, dan lagi kamukan sudah tahu bagaimana caranya mengoprasikan komputer, jadi ya, bakal banyak yang diketik.” Sambungnya. Obrolanpun terus berlanjut, pembahasan inti dan tujuan telah ia sampaikan, dan akupun telah menangkap maksud dan tujuannya. Hingga ia berpamitan pulang, akupun masih terheran, kenapa aku yang didatangi. “Ah sudahlah, lagi-lagi aku berpikir bahwa inilah jawaban do’a kedua orangtuaku, aku tambah yakin bahwa do’a orang tua itu pasti dikabulkan.” Hati ini terus bermonolog.
Sekitar seminggu ternyata benar, undanganpun sampai. Pembahasanpun benar, tentang pemekaran desa. Dan tak disangka pula, akupun didapuk menjadi sekretaris desa. Entah bagaimana aku mengatur waktu. Pagi di SD, siang di MTs, malam di TPA dan tugas sekretaris desapun menanti. Ternyata kini bukan aku yang mencari pekerjaan, tapi pekerjaan mencariku untuk ditunaikan. Sepintas banyak yang berpikir bahwa bagaimana cara aku mengatur waktu untuk melaknakan tugas itu. Namun seiring berjalannya waktu, semua kewajiban terkait tugas dan kewajibanku dapat aku laksanakan. Ya itu menurutku yang mengalaminya langsung. Tapi ada saja yang mengatakan, bagaimana bisa aku melaksakannya? sedang jam kerja sekretaris desa kala itu tak menentu. Memang tak ada jam wajib berkantor, karena kantor desapun belum ada. Kantorku hanyalah ruang kecil di rumah emaku. Awal pemekaran desa merupakan tugas yang paling berat aku rasakan, merintis struktur pemerintahan, hingga pengadministrasian yang masih meraba-raba. Referensi administrasipun tidak ada, internet belum ada untuk sekedar googling mencari contoh. Yang kutahu hanyalah bagaimana agar pelayanan masyarakat dapat terlayani dengan baik. Selama aku menjabatpun belum ada keluhan yang disampaikan baik langsung maupun tak langsung. Setahun sudah aku menjalani keseharianku dengan tugas yang berbeda-beda. Di desa yang kini sudah definitif, ternyata aku tak hanya mendapat tugas sebagai sekretaris desa, namun juga sebagai Kepala Urusan pemerintahan, Ketua LKD (Lembaga Keuangan Desa), dan pendampung KUBE (kelompok Usaha Bersama).Kegiatan semakin padat, baik yang berkaitan dengan tulis-menulis hingga dalam hal sosialisasi terhadap masyakarat secara verbal. Namun, aku mempunyai prinsip, tugas pokok dan fungsiku yang awal adalah sebagai guru. Aku selalu mengutamakan tugas guruku, kemudian baru tugas yang lain. Tapi tetap saja walaupun aku mempunyai tugas prioritas bukan berarti tugas yang lain terabaikan. Tugasku selalu kupenuhi tepat waktu, walau harus menyita waktu istirhat sehingga terkadang hingga dini hari aku masih tetap bekerja. “Sebenarnya tugasmu itu bagus, banyak, tapi sebetulnya kebanyakan tugas seperti tusuk sate itu tak baik buat karirmu.” Celetuk beberapa orang yang rata-rata mengatakan yang hal yang sama. “Memangnya tujuanmu itu mau di mana? Di sekolah atau di pemerintahan?” banyak pula yang intinya sama mengatakan demikian. Dan yang mengherankan adalah tak ada yang menyindirku dan mengomentariku ketika aku mengajar TPA. Seorang guru ngaji, yang bermodalkan pengetahuannya tentang sedikit agama dan huruf alif hingga ya, tak ada yang menyindirnya untuk berhenti dan fokus di sekolah saja. Aku masih konsisten hingga saat ini untuk membimbing anak-anak pengguna tusuk sate untuk digunakan menunjuk huruf alif hingga ya pada buku iqoro’ dan Alqur’annya.
Suatu pagi, ada sebuah undangan sosialisasi tentang kepegawaian yang dislenggarakan kecamatan dengan mengundang pejabat kabupaten bagian kepegawaian pemerintahan. Singkat cerita, “Jadi, bapak/ibu pejabat pemerintahan tak boleh merangkap-rangkap demi kefokusan kinerja” Itulah bagian akhir dari sosialisasi itu. Hal itupun mengundang Tanya bagiku. “Maaf pak, saya menjabat sebagai sekretaris desa, guru SD dan MTs, kemudian malamnya mengajar TPA, di desa saya merangkap sebagai sekretaris desa dan kepala urusan pemerintahan, karena regulasinya yang masih demikian, bagaimana dengan jabatan saya ini?”. “Wah..hebat sekali saudara ini, jadi bagaimana anada mengerjakan bisa mengerjakan itu semua?, bagaiamana jika ada tugas yang berbenturan?, jadi sekali lagi saya ulangi, peraturan ini dibuat agar dapat meningkatkan kinerja bapak/ibu semua dalam tugas dan kewajiban bapak ibu sebagai aparat, silahkan dikonsultasikan bagaimana baiknya kepada pak camat.” Tegasnya.
Sosialisasipun berakhir, seperti arahannya, setelah selesai aku menemui camat. “Gak papa, nanti bapak yang tanggung jawab, toh selama ini tugasmu selesai dan baik-baik saja kan?” tandasnya seolah membela pekerjaanku yang selama ini aku kerjakan. “Nih, bapak kasih seragam sebagai kenangan.” Sambil menyodorkan dua stel baju hansip dan pemda kuning khaki. “Wah makasih pak, tapi terkait peraturan tadi, saya rasa peraturan itu harus saya laksanakan.” Jawabku. “Jadi kamu mau mundur dari semua jabatan sekarang?” tanyanya. “Ya, sepertinya begitu, nanti saya akan beritahukan juga sama Pak Lurah.” Jawabku. “Ya, itu terserah kamu, tapi saran saya jalani saja dahulu.” Sarannya setengah merayu. “ Ya pak termakasih sarannya, dan terimakasih juga seragamnya, mau saya pakek untuk mengajar, mudah-mudahan berkah” Ucapku sambil tersenyum bahagia karena mendapatkan seragam dari orang nomor satu di kecamatan.
Semakin hari, semakin terasa banyak sekali pertimbangan yang menekanku untuk segera mengundurkan diri, karena saking banyaknya yang memintaku untuk segera berhenti dari jabatanku sekarang. Akadang aku berpikir, ini bukan mauku, ini karena permintaan pemuda yang datang kala itu, dan kini menjadi lurah di desaku. Tapi demi kenyamanan, akupun memutuskan untuk berhenti dari jabatan di pemerintahan desa. Namun tugas mengajarku, baik anak-anak pengguna pena dan pengguna tusuk sate tetap aku jalani. Aku yakin keputusanku tetap sesuai harapan dan do’a kedua orang tuaku. Doanya memang terkabul, menginginkan anaknya tetap berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, nusa, bangsa, dan agama.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentarnya