Antara Pena dan Tusuk Sate
Oleh: Saiful Jamil
“Wisuda
diplomaku semakin dekat, tapi tak pernah ada bayangan akan kemana dan apa yang
harus aku lakukan setelahnya.” Gumamku sambil berjalan menyusuri jalan komplek
perumahan menuju arah kampus. “Hai,
Jamil…” panggil seseorang dari arah belakangku. Akupun tersentak, menghentikan
langkah, sambil menoleh ke arah belakang. “Eh..ngagetin aja, kamu ternyata.”
Jawabku sambil tersenyum malu, karena pasti dia tahu aku sedang melamun. Dia
bernama Farida yang satu kampus dan satu kelas denganku. Setiap berangkat ke
kampus, tak jarang kamipun sering berangkat bersama dengan berjalan kaki.
“Sebentar lagi kita kan wisuda nih, mau lanjut kuliah atau mau pulang kampung?”
Tanya Farida seakan tahu yang sedang aku pikirkan. “Kok kamu tahu, aku tadi itu
lagi mikirin itu, mau kemana ya.., setiap mau lulus aku selalu bingung, dulu
waktu mau lulus SMA teman-temanku sudah sibuk mendaftar dan tanya-tanya masalah
kampus aku malah sibuk tanya-tanya masalah harga sewa kontrakan, karena
menurutku di manapun kampusnya pasti
materi kuliahnya sama, tapi masalah kosan, pasti harganya berbeda.” Jawabku
diiringi tawa kecil. “Ah kamu ini, kalo aku sih kayaknya mau pulang kampung,
aku sudah daftar di SD dekat rumahku bahkan aku sudah ngajar di sana, seminggu
dua kali ngajar mulok bahasa lampung.”
Jawab Farida. “Wah enak ya, bener juga ya, apa aku juga gitu aja ya?”,
tambahku seakan meminta pendapat. “Kalo kamumah mending lanjut aja.. S1
sekalian!” Farida menjawab dengan nada meninggi. “Ya maunya sih gitu, tapi dulu aku pilih Diploma II
karena perhitunganku waktu itu, biat cepet
kerja, dan gak terlalu membebani
orang tua kuliah berlama-lama.” Obrolahpun terus belanjut membahas masalah
rencana ke depan setelah wisuda.
Obrolan yang sangat
panjang, karena perjalanku ke kampus dengan berjalan kaki sekitar 30 menit.
Ya..mungkin diantara teman sekampusku hanya akulah yang berjalan kaki dan yang
paling jauh. Jalan menuju kampusku tidak dilalui angkot, hanya angkutan becak
saja yang dapat mengangut penumpang dari komplek kosanku kea rah kampus. Dan
yang kedua mungkin temanku farida, tapi jarak kosan farida ke kampus hanya separuh atau mungkin kurang dari
separuh jarak kosanku ke kampus.
Wisudapun telah
selesai, teman-teman sekelasku telah berpencar sesuai dengan rencananya
masing-masing, termasuk temanku Farida telah pulang ke kampung halamannya
sesuai rencananya pula, tinggallah
aku. Bukannya tak ingin langsung
pulang kampung, tapi karena aku masih mempunyai tugas dan kewajibanku yang belum
semuanya kutunaikan. Sambil kuliah, aku memang sudah mengajar privat di komplek
perumahan. Mungkin tinggal beberapa kali pertemuan lagi. Aku harus meminta izin
dan mengundurkan diri untuk berhenti mengajar privat. Aku ingin pulang kampung,
sepertinya ide dan rencana farida kala itu, bagus juga buatku. Harga kontrakan
semakin tinggi, melebihi biaya semester di kampus, itulah alas an pokok mengapa
aku harus pulang kampung dan tak melanjutkan kuliah S1. Diploma II kurasa sudah
cukup dan sah untuk mengajar di sekolah dasar.
Sekitar pukul
20.05, tiba waktunya aku mengajar di rumah wali muridku yang terakhir, “Maaf
Ibu, ada yang mau saya obrolkan dengan ibu, minta waktunya sebentar
boleh?’’. Dengan malu-malu, kuberanikan
membuka obrolan selepas mengajar anaknya. “Oh ya, gimana?’’ senyum ramah ibu
itu memang tak kuragukan lagi, ia memang ramah semenjak aku mulai mengajar di
rumah itu. “Begini bu, pertama sekali saya mohon maaf, saya sudah lama mengajar
putera ibu, dan ini adalah pertemuan ke empat di akhir bulan ini, saya
berencana akan pulang kampung dan mungkin akan menetap disana sambil mencoba
untuk daftar mengajar di sekolah, jadi saya mohon izin dan pamit, mohon maaf
jika selama saya mengajar pastinya banya sekali kekurangan dan kurang sesuai
dengan harapan ibu..” ujarku menjelaskan tujuan obrolan. “Loh..looh..kenapa?
kok kayak mendadak gini, kenapa? honornya kurang ya..?” Tanya ibu itu sambil
sedikit tertawa dan heran. “Bukan-bukan…bu..bukan begitu..” Jawabku langsung
memotong kalimat ibu itu, khawatir salah sangka terhadap keputusanku. “Jadi,
begini bu, saya kan sudah selesai kuliahnya, Cuma diploma 2 bu, jadi ya
sebentar, jadi hari ini saya berkeliling ke setiap rumah yang saya ajar untuk
pamitan.” Tambahku. “Ooo, jadi gitu.., emang gak lanjut kuliah saja?, atau
kerja aja disini banyak kok kerjaan, atau gini aja, adik ibukan jadi panitia
penyelenggara penerimaan Satpol PP, mau gak
ibu daftarin, ibu titipin gitu..” berondong jawaban sekaligus tawaran
ibu itu, membuatku senang terhadap perhatiannya sekaligus heran, apa
hubungannya lulusan guru dengan menjadi Polisi Pamong Praja?. “Terimakasih
tawarannya bu, tapi wali murid yang lain sebagian sudah saya kabari sekaligus
pamitan, jadi sekali lagi terimakasih dan mohon maaf jika selama ini saya
banyak salah.” Jawabku agar tak berlama-lama, karena waktu sudah hampir jam 9
malam. “ Oh ya sudah, ibu juga mohon maaf ya, oh ya sebentar.” Lanjut ibu itu
berusaha mengerti dan memaklumi keinginanku sambil beranjak dari tempat
duduknya, sepertinya ia menuju ke ruangannya. “Ni..ibu Cuma bisa ngasih segini,
mohon diterima, kurang lebih ibu mohon maaf, semoga kebaikan kamu selama ini
Alloh membalasnya.” Sambil menyodorkan amplop putih bergaris merah biru dan
menempelkannya ke telapak tanganku.
Seperti biasa dengan malu-malu akupun menerimanya. “oh ya terimakasih ya
bu, sekali lagi saya mohon maaf, salam buat bapak, saya pamit bu ya.” Sambil memasukkan amplp tadi ke dalam saku
bajuku. “Ya, mudah-mudahan kamu sukses di kampung ya, salam juga buat kelurga.”
Ibu itu menambahi. “ Ya bu, insyaalloh, saya pamit, Assalamulaikum..” jawabku sambil keluar dari rumah itu. Tuntas
sudah , semua walid murid sudah aku beritahu bahwa aku harus pulang kampung.
Kewajibanku mengggenapi mengajar privat di bulan ini sudah kutunaikan.
Harum bunga kopi
mulai tercium di perjalanan, menandakan kampung halamanku sudah dekat, rasa
bahagia tak terhingga menyelimutiku. Akhirnya sudah sekian bulan aku tak
pulang, kini aku bisa pulang dengan hati yang lega, tak ada tugas dan
kewajiabanku di kota itu yang tidak aku tunaikan, terutama mengajar privat,
inilah yang selama ini terkadang aku tak bisa pulang kampung dengan rutin. Tak berselang lama, mobil L 300 yang aku
tumpangi sudah mendekati rumah orang tuaku. “Duk duk duk, kiri…” bodi mobil L
300 aku pukul 3 kali, itulah kode untuk menghentikan mobil yang biasa dilakukan
di kampungku, sebagai pertanda bahwa penumpang telah sampai tujuannya. Akupun
turun dari mobil itu, dan tentu tak lupa menghampiri supir mobil itu untuk
menyetorkan ongkos. Langkah kaki yang semangat, menuju halaman rumah, tampak
sepi. “mungkin Ema dan Bapak, belum pulang dari kebun” gumamku. Karena waktu
masih menunjukkan pukul 10.48. Bapak dan Ema biasanya pulang pukul 12.30 dari
kebun. Aku tahu, pintu dapur tak pernah dikunci, aku masuk rumah lewat dapur
dan membuka ruangan tengah melalui pintu yang juga bisa dibuka karena kuncinya
selalu disimpan di bawah keset, itu merupakan kebiasaan ema yang sudah aku
hafal.
Suara orang
mengobrol sudah terdengar di depan rumah, ku buka hordengan yang menutupi
pandangan, dan ya benar sekali, Bapak dan Ema sudah pulang. “Assalamaulaikum..”
Suara Ema, ia tahu bahwa ada orang di dalam rumah. “Waalaikumsalam
Warohmatullohi Wabarokaatuh” jawabku. Sambil menaruh perbekalan kebun, ibuku langsung tahu itu
suaraku. “ Kamu dah pulang, jam berapa sampai?” Tanya Ema, “jam sebelas
kurang,” jawabku sambil salim cium tangan kepada bapak emaku. Obrolanpun berlanjut dari mulai bercerita
tentang pekerjaanku, hingga menceritakan teman-teman sekampusku yang berpencar
menjalankan semua rencananya. Dan akupun tentu saja mengutarakan rencanku
kepada bapak emaku.
Hampir satu
bulan lamanya, ternyata pekerjaan yang aku rencanakan belum mendapat jawaban,
bapak emaku tak keberatan jika aku tak cepat-cepat mendapat pekerjaan. Aku masih
dengan kegiatanku layaknya anak kampung yang harus ke kebun membantu
orangtuanya. Namun terkadang ya.. ada saja yang mengomentari, “Anak
lulusan kuliahan kok kerjanya di kebun.” Namun hal itu sudah aku anggap
biasa. Kabar tentang lamaranku untuk mengajar kini sudah mendapat jawaban, aku
diterima di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumah. Kegiatan rutin
sehari-haripun berubah, aku tak lagi ke kebun setiap pagi, aku sudah mulai
mengajar. Namun siang hari sepulang mengajar dan hari libur aku berusaha
untuk tetap berangkat ke kebun hingga
sore hari, kemudian selepas magrib aku gunakan untuk mencoba menlanjutkan
mengajar ngaji di sebuah masjid yang tak ajuh dari rumah, hitung-hitung aku
mengenang kembali pekerjaan yang telah aku lakukan semasa sekolah hingga kuliah
dulu.
Hari berganti
hari, bulan berganti bulan, perubahan kian terus terjadi, perubahan positif
tentunya. Tak disangka, beberapa sekolah swasta yang ada di kampungku
mengajakku untuk ikut mengabdi di sana, ya aku adalah lulusan madrasah
tsanawiyah. Sebuah penghormatan dan
kebanggaan tersendiri buatku karena aku bisa bergabung mengabdi di sekolahku
dulu. Madrasah tsanawiyah masuk pukul 13.00 dan aku rasa aku masih bisa
mengajar di sana karena mengajar di SD sampai pukul 12.15 WIB. Sebuah rutinitas
kesibukan yang padat, namun aku sangat menyenanginya dan bahkan aku bangga,
“Bukankah di setiap do’a orang tua, selalu menyebutkan agar memiliki anak yang
sholeh, berbakti kepada keluarga, bermanfaat bagi masyarakat, agama, nusa dan
bangsa?’’ aku bertanya kepada diriku sendiri. “ Ya, inilah jawaban do’a kedua
orangtuaku.” Akupun menjawabnya sendiri.
Saat istirahat
pulang sekolah, tiba-tiba..“Assalamulaikum..” terdengar jelas sekali dekat
pintu, “Wa’alaikum salam.., silahkan masuk pak…” jawabku kepada tamu tersebut,
dan ternyata ia adalah seorang tokoh pemuda desa. “ Lagi sibuk?” sambil duduk
merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. “Ah nggak, ya gini ajalah, minum
apa ini, kopi ya?’’tawarku. “Boleh..” jawabnya singkat. “Ok, tunggu ya.” Jawabku
sambil melangkah menuju dapur untuk membuatkan kopi. Dua gelas kopi menngepul
telah tampak di atas meja. Bunyi seruput kopi berssahutan sebagai selingan
perbincangan yang kian menghangat. “Jadi gini..” Jaya seolah membuka bab baru
dalam obrolan dengan wajah yang kini berubah serius. Ya, tamu itu bernama Jaya,
tokoh pemuda di desaku. “Maksud
kedatangan saya ini, yang pertama sekali silaturahmi, lagian kita terhitungnya
masih saudara, kemudian yang kedua, kamu mungkin tahu, bahwa desa kita ini
sedang berencana akan mekar dari desa induk, nah nanti jika ada undangan
mengenai masalah pemekaran desa tolong hadir ya.” Ujarnya dengan penuh harap.
“Oh ya, ya, saya baru dengar baru-baru ini.” Jawabku mengiyakan. “ Nah..dari
itu, nanti tolong dibantu segala sesuatunya yang menyangkut pengadministrasian
pemekaran desa, dan lagi kamukan sudah tahu bagaimana caranya mengoprasikan komputer,
jadi ya, bakal banyak yang diketik.” Sambungnya. Obrolanpun terus berlanjut,
pembahasan inti dan tujuan telah ia sampaikan, dan akupun telah menangkap
maksud dan tujuannya. Hingga ia berpamitan pulang, akupun masih terheran,
kenapa aku yang didatangi. “Ah sudahlah, lagi-lagi aku berpikir bahwa inilah
jawaban do’a kedua orangtuaku, aku tambah yakin bahwa do’a orang tua itu pasti
dikabulkan.” Hati ini terus bermonolog.
Sekitar seminggu
ternyata benar, undanganpun sampai. Pembahasanpun benar, tentang pemekaran
desa. Dan tak disangka pula, akupun didapuk menjadi sekretaris desa. Entah
bagaimana aku mengatur waktu. Pagi di SD, siang di MTs, malam di TPA dan tugas
sekretaris desapun menanti. Ternyata kini bukan aku yang mencari pekerjaan,
tapi pekerjaan mencariku untuk ditunaikan. Sepintas banyak yang berpikir bahwa
bagaimana cara aku mengatur waktu untuk melaknakan tugas itu. Namun seiring berjalannya
waktu, semua kewajiban terkait tugas dan kewajibanku dapat aku laksanakan. Ya
itu menurutku yang mengalaminya langsung. Tapi ada saja yang mengatakan,
bagaimana bisa aku melaksakannya? sedang jam kerja sekretaris desa kala itu tak
menentu. Memang tak ada jam wajib berkantor, karena kantor desapun belum ada.
Kantorku hanyalah ruang kecil di rumah emaku. Awal pemekaran desa merupakan
tugas yang paling berat aku rasakan, merintis struktur pemerintahan, hingga
pengadministrasian yang masih meraba-raba. Referensi administrasipun tidak ada,
internet belum ada untuk sekedar googling mencari contoh. Yang kutahu hanyalah
bagaimana agar pelayanan masyarakat dapat terlayani dengan baik. Selama aku
menjabatpun belum ada keluhan yang disampaikan baik langsung maupun tak
langsung. Setahun sudah aku menjalani keseharianku dengan tugas yang
berbeda-beda. Di desa yang kini sudah definitif, ternyata aku tak hanya
mendapat tugas sebagai sekretaris desa, namun juga sebagai Kepala Urusan
pemerintahan, Ketua LKD (Lembaga Keuangan Desa), dan pendampung KUBE (kelompok
Usaha Bersama).Kegiatan semakin padat, baik yang berkaitan dengan tulis-menulis
hingga dalam hal sosialisasi terhadap masyakarat secara verbal. Namun, aku
mempunyai prinsip, tugas pokok dan fungsiku yang awal adalah sebagai guru. Aku
selalu mengutamakan tugas guruku, kemudian baru tugas yang lain. Tapi tetap
saja walaupun aku mempunyai tugas prioritas bukan berarti tugas yang lain
terabaikan. Tugasku selalu kupenuhi tepat waktu, walau harus menyita waktu istirhat
sehingga terkadang hingga dini hari aku masih tetap bekerja. “Sebenarnya tugasmu itu bagus, banyak, tapi
sebetulnya kebanyakan tugas seperti tusuk sate itu tak baik buat karirmu.”
Celetuk beberapa orang yang rata-rata mengatakan yang hal yang sama. “Memangnya tujuanmu itu mau di mana? Di
sekolah atau di pemerintahan?” banyak pula yang intinya sama mengatakan
demikian. Dan yang mengherankan adalah
tak ada yang menyindirku dan mengomentariku ketika aku mengajar TPA. Seorang
guru ngaji, yang bermodalkan pengetahuannya tentang sedikit agama dan huruf
alif hingga ya, tak ada yang menyindirnya untuk berhenti dan fokus di sekolah
saja. Aku masih konsisten hingga saat ini untuk membimbing anak-anak pengguna
tusuk sate untuk digunakan menunjuk huruf alif hingga ya pada buku iqoro’ dan
Alqur’annya.
Suatu pagi, ada
sebuah undangan sosialisasi tentang kepegawaian yang dislenggarakan
kecamatan dengan mengundang pejabat
kabupaten bagian kepegawaian pemerintahan. Singkat cerita, “Jadi, bapak/ibu
pejabat pemerintahan tak boleh merangkap-rangkap demi kefokusan kinerja” Itulah
bagian akhir dari sosialisasi itu. Hal itupun mengundang Tanya bagiku. “Maaf
pak, saya menjabat sebagai sekretaris desa, guru SD dan MTs, kemudian malamnya
mengajar TPA, di desa saya merangkap sebagai sekretaris desa dan kepala urusan
pemerintahan, karena regulasinya yang masih demikian, bagaimana dengan jabatan
saya ini?”. “Wah..hebat sekali saudara ini, jadi bagaimana anada mengerjakan bisa
mengerjakan itu semua?, bagaiamana jika ada tugas yang berbenturan?, jadi
sekali lagi saya ulangi, peraturan ini dibuat agar dapat meningkatkan kinerja
bapak/ibu semua dalam tugas dan kewajiban bapak ibu sebagai aparat, silahkan
dikonsultasikan bagaimana baiknya kepada pak camat.” Tegasnya.
Sosialisasipun
berakhir, seperti arahannya, setelah selesai aku menemui camat. “Gak papa,
nanti bapak yang tanggung jawab, toh
selama ini tugasmu selesai dan baik-baik saja kan?” tandasnya seolah membela
pekerjaanku yang selama ini aku kerjakan. “Nih, bapak kasih seragam sebagai
kenangan.” Sambil menyodorkan dua stel baju hansip dan pemda kuning khaki. “Wah
makasih pak, tapi terkait peraturan tadi, saya rasa peraturan itu harus saya
laksanakan.” Jawabku. “Jadi kamu mau mundur dari semua jabatan sekarang?”
tanyanya. “Ya, sepertinya begitu, nanti saya akan beritahukan juga sama Pak
Lurah.” Jawabku. “Ya, itu terserah kamu, tapi saran saya jalani saja dahulu.” Sarannya
setengah merayu. “ Ya pak termakasih sarannya, dan terimakasih juga seragamnya,
mau saya pakek untuk mengajar, mudah-mudahan berkah” Ucapku sambil tersenyum
bahagia karena mendapatkan seragam dari orang nomor satu di kecamatan.
Semakin hari,
semakin terasa banyak sekali pertimbangan yang menekanku untuk segera
mengundurkan diri, karena saking banyaknya yang memintaku untuk segera berhenti
dari jabatanku sekarang. Akadang aku berpikir, ini bukan mauku, ini karena
permintaan pemuda yang datang kala itu, dan kini menjadi lurah di desaku. Tapi
demi kenyamanan, akupun memutuskan untuk berhenti dari jabatan di pemerintahan desa.
Namun tugas mengajarku, baik anak-anak pengguna pena dan pengguna tusuk sate
tetap aku jalani. Aku yakin keputusanku tetap sesuai harapan dan do’a kedua
orang tuaku. Doanya memang terkabul, menginginkan anaknya tetap berguna dan
bermanfaat bagi masyarakat, nusa,
bangsa, dan agama.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentarnya