Monday, December 20, 2021

Cerpen : Antara Pena dan Tusuk Sate

 

Antara Pena dan Tusuk Sate

Oleh: Saiful Jamil

“Wisuda diplomaku semakin dekat, tapi tak pernah ada bayangan akan kemana dan apa yang harus aku lakukan setelahnya.” Gumamku sambil berjalan menyusuri jalan komplek perumahan menuju arah kampus.  “Hai, Jamil…” panggil seseorang dari arah belakangku. Akupun tersentak, menghentikan langkah, sambil menoleh ke arah belakang. “Eh..ngagetin aja, kamu ternyata.” Jawabku sambil tersenyum malu, karena pasti dia tahu aku sedang melamun. Dia bernama Farida yang satu kampus dan satu kelas denganku. Setiap berangkat ke kampus, tak jarang kamipun sering berangkat bersama dengan berjalan kaki. “Sebentar lagi kita kan wisuda nih, mau lanjut kuliah atau mau pulang kampung?” Tanya Farida seakan tahu yang sedang aku pikirkan. “Kok kamu tahu, aku tadi itu lagi mikirin itu, mau kemana ya.., setiap mau lulus aku selalu bingung, dulu waktu mau lulus SMA teman-temanku sudah sibuk mendaftar dan tanya-tanya masalah kampus aku malah sibuk tanya-tanya masalah harga sewa kontrakan, karena menurutku  di manapun kampusnya pasti materi kuliahnya sama, tapi masalah kosan, pasti harganya berbeda.” Jawabku diiringi tawa kecil. “Ah kamu ini, kalo aku sih kayaknya mau pulang kampung, aku sudah daftar di SD dekat rumahku bahkan aku sudah ngajar di sana, seminggu dua kali ngajar mulok bahasa lampung.”  Jawab Farida. “Wah enak ya, bener juga ya, apa aku juga gitu aja ya?”, tambahku seakan meminta pendapat. “Kalo kamumah mending lanjut aja.. S1 sekalian!” Farida menjawab dengan nada meninggi. “Ya maunya sih gitu, tapi dulu aku pilih Diploma II karena perhitunganku waktu itu, biat cepet kerja, dan gak terlalu membebani orang tua kuliah berlama-lama.” Obrolahpun terus belanjut membahas masalah rencana ke depan setelah wisuda.

Obrolan yang sangat panjang, karena perjalanku ke kampus dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Ya..mungkin diantara teman sekampusku hanya akulah yang berjalan kaki dan yang paling jauh. Jalan menuju kampusku tidak dilalui angkot, hanya angkutan becak saja yang dapat mengangut penumpang dari komplek kosanku kea rah kampus. Dan yang kedua mungkin temanku farida, tapi jarak kosan farida ke kampus  hanya separuh atau mungkin kurang dari separuh jarak kosanku ke kampus.

Wisudapun telah selesai, teman-teman sekelasku telah berpencar sesuai dengan rencananya masing-masing, termasuk temanku Farida telah pulang ke kampung halamannya sesuai rencananya pula, tinggallah  aku.  Bukannya tak ingin langsung pulang kampung, tapi karena aku masih mempunyai tugas dan kewajibanku yang belum semuanya kutunaikan. Sambil kuliah, aku memang sudah mengajar privat di komplek perumahan. Mungkin tinggal beberapa kali pertemuan lagi. Aku harus meminta izin dan mengundurkan diri untuk berhenti mengajar privat. Aku ingin pulang kampung, sepertinya ide dan rencana farida kala itu, bagus juga buatku. Harga kontrakan semakin tinggi, melebihi biaya semester di kampus, itulah alas an pokok mengapa aku harus pulang kampung dan tak melanjutkan kuliah S1. Diploma II kurasa sudah cukup dan sah untuk mengajar di sekolah dasar.

Sekitar pukul 20.05, tiba waktunya aku mengajar di rumah wali muridku yang terakhir, “Maaf Ibu, ada yang mau saya obrolkan dengan ibu, minta waktunya sebentar boleh?’’.  Dengan malu-malu, kuberanikan membuka obrolan selepas mengajar anaknya. “Oh ya, gimana?’’ senyum ramah ibu itu memang tak kuragukan lagi, ia memang ramah semenjak aku mulai mengajar di rumah itu. “Begini bu, pertama sekali saya mohon maaf, saya sudah lama mengajar putera ibu, dan ini adalah pertemuan ke empat di akhir bulan ini, saya berencana akan pulang kampung dan mungkin akan menetap disana sambil mencoba untuk daftar mengajar di sekolah, jadi saya mohon izin dan pamit, mohon maaf jika selama saya mengajar pastinya banya sekali kekurangan dan kurang sesuai dengan harapan ibu..” ujarku menjelaskan tujuan obrolan. “Loh..looh..kenapa? kok kayak mendadak gini, kenapa? honornya kurang ya..?” Tanya ibu itu sambil sedikit tertawa dan heran. “Bukan-bukan…bu..bukan begitu..” Jawabku langsung memotong kalimat ibu itu, khawatir salah sangka terhadap keputusanku. “Jadi, begini bu, saya kan sudah selesai kuliahnya, Cuma diploma 2 bu, jadi ya sebentar, jadi hari ini saya berkeliling ke setiap rumah yang saya ajar untuk pamitan.” Tambahku. “Ooo, jadi gitu.., emang gak lanjut kuliah saja?, atau kerja aja disini banyak kok kerjaan, atau gini aja, adik ibukan jadi panitia penyelenggara penerimaan Satpol PP, mau gak  ibu daftarin, ibu titipin gitu..” berondong jawaban sekaligus tawaran ibu itu, membuatku senang terhadap perhatiannya sekaligus heran, apa hubungannya lulusan guru dengan menjadi Polisi Pamong Praja?. “Terimakasih tawarannya bu, tapi wali murid yang lain sebagian sudah saya kabari sekaligus pamitan, jadi sekali lagi terimakasih dan mohon maaf jika selama ini saya banyak salah.” Jawabku agar tak berlama-lama, karena waktu sudah hampir jam 9 malam. “ Oh ya sudah, ibu juga mohon maaf ya, oh ya sebentar.” Lanjut ibu itu berusaha mengerti dan memaklumi keinginanku sambil beranjak dari tempat duduknya, sepertinya ia menuju ke ruangannya. “Ni..ibu Cuma bisa ngasih segini, mohon diterima, kurang lebih ibu mohon maaf, semoga kebaikan kamu selama ini Alloh membalasnya.” Sambil menyodorkan amplop putih bergaris merah biru dan menempelkannya ke telapak tanganku.  Seperti biasa dengan malu-malu akupun menerimanya. “oh ya terimakasih ya bu, sekali lagi saya mohon maaf, salam buat bapak, saya pamit bu ya.”  Sambil memasukkan amplp tadi ke dalam saku bajuku. “Ya, mudah-mudahan kamu sukses di kampung ya, salam juga buat kelurga.” Ibu itu menambahi. “ Ya bu, insyaalloh, saya pamit, Assalamulaikum..”  jawabku sambil keluar dari rumah itu. Tuntas sudah , semua walid murid sudah aku beritahu bahwa aku harus pulang kampung. Kewajibanku mengggenapi mengajar privat di bulan ini sudah kutunaikan.

Harum bunga kopi mulai tercium di perjalanan, menandakan kampung halamanku sudah dekat, rasa bahagia tak terhingga menyelimutiku. Akhirnya sudah sekian bulan aku tak pulang, kini aku bisa pulang dengan hati yang lega, tak ada tugas dan kewajiabanku di kota itu yang tidak aku tunaikan, terutama mengajar privat, inilah yang selama ini terkadang aku tak bisa pulang kampung dengan rutin.  Tak berselang lama, mobil L 300 yang aku tumpangi sudah mendekati rumah orang tuaku. “Duk duk duk, kiri…” bodi mobil L 300 aku pukul 3 kali, itulah kode untuk menghentikan mobil yang biasa dilakukan di kampungku, sebagai pertanda bahwa penumpang telah sampai tujuannya. Akupun turun dari mobil itu, dan tentu tak lupa menghampiri supir mobil itu untuk menyetorkan ongkos. Langkah kaki yang semangat, menuju halaman rumah, tampak sepi. “mungkin Ema dan Bapak, belum pulang dari kebun” gumamku. Karena waktu masih menunjukkan pukul 10.48. Bapak dan Ema biasanya pulang pukul 12.30 dari kebun. Aku tahu, pintu dapur tak pernah dikunci, aku masuk rumah lewat dapur dan membuka ruangan tengah melalui pintu yang juga bisa dibuka karena kuncinya selalu disimpan di bawah keset, itu merupakan kebiasaan ema yang sudah aku hafal.

Suara orang mengobrol sudah terdengar di depan rumah, ku buka hordengan yang menutupi pandangan, dan ya benar sekali, Bapak dan Ema sudah pulang. “Assalamaulaikum..” Suara Ema, ia tahu bahwa ada orang di dalam rumah. “Waalaikumsalam Warohmatullohi Wabarokaatuh” jawabku. Sambil menaruh  perbekalan kebun, ibuku langsung tahu itu suaraku. “ Kamu dah pulang, jam berapa sampai?” Tanya Ema, “jam sebelas kurang,” jawabku sambil salim cium tangan kepada bapak emaku.  Obrolanpun berlanjut dari mulai bercerita tentang pekerjaanku, hingga menceritakan teman-teman sekampusku yang berpencar menjalankan semua rencananya. Dan akupun tentu saja mengutarakan rencanku kepada bapak emaku.

Hampir satu bulan lamanya, ternyata pekerjaan yang aku rencanakan belum mendapat jawaban, bapak emaku tak keberatan jika aku tak cepat-cepat mendapat pekerjaan. Aku masih dengan kegiatanku layaknya anak kampung yang harus ke kebun membantu orangtuanya. Namun terkadang ya.. ada saja yang mengomentari,  “Anak lulusan kuliahan kok kerjanya di kebun.” Namun hal itu sudah aku anggap biasa. Kabar tentang lamaranku untuk mengajar kini sudah mendapat jawaban, aku diterima di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari rumah. Kegiatan rutin sehari-haripun berubah, aku tak lagi ke kebun setiap pagi, aku sudah mulai mengajar. Namun siang hari sepulang mengajar dan hari libur aku berusaha untuk  tetap berangkat ke kebun hingga sore hari, kemudian selepas magrib aku gunakan untuk mencoba menlanjutkan mengajar ngaji di sebuah masjid yang tak ajuh dari rumah, hitung-hitung aku mengenang kembali pekerjaan yang telah aku lakukan semasa sekolah hingga kuliah dulu.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, perubahan kian terus terjadi, perubahan positif tentunya. Tak disangka, beberapa sekolah swasta yang ada di kampungku mengajakku untuk ikut mengabdi di sana, ya aku adalah lulusan madrasah tsanawiyah.  Sebuah penghormatan dan kebanggaan tersendiri buatku karena aku bisa bergabung mengabdi di sekolahku dulu. Madrasah tsanawiyah masuk pukul 13.00 dan aku rasa aku masih bisa mengajar di sana karena mengajar di SD sampai pukul 12.15 WIB. Sebuah rutinitas kesibukan yang padat, namun aku sangat menyenanginya dan bahkan aku bangga, “Bukankah di setiap do’a orang tua, selalu menyebutkan agar memiliki anak yang sholeh, berbakti kepada keluarga, bermanfaat bagi masyarakat, agama, nusa dan bangsa?’’ aku bertanya kepada diriku sendiri. “ Ya, inilah jawaban do’a kedua orangtuaku.” Akupun menjawabnya sendiri.

Saat istirahat pulang sekolah, tiba-tiba..“Assalamulaikum..” terdengar jelas sekali dekat pintu, “Wa’alaikum salam.., silahkan masuk pak…” jawabku kepada tamu tersebut, dan ternyata ia adalah seorang tokoh pemuda desa. “ Lagi sibuk?” sambil duduk merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. “Ah nggak, ya gini ajalah, minum apa ini, kopi ya?’’tawarku. “Boleh..” jawabnya singkat. “Ok, tunggu ya.” Jawabku sambil melangkah menuju dapur untuk membuatkan kopi. Dua gelas kopi menngepul telah tampak di atas meja. Bunyi seruput kopi berssahutan sebagai selingan perbincangan yang kian menghangat. “Jadi gini..” Jaya seolah membuka bab baru dalam obrolan dengan wajah yang kini berubah serius. Ya, tamu itu bernama Jaya, tokoh pemuda di desaku.  “Maksud kedatangan saya ini, yang pertama sekali silaturahmi, lagian kita terhitungnya masih saudara, kemudian yang kedua, kamu mungkin tahu, bahwa desa kita ini sedang berencana akan mekar dari desa induk, nah nanti jika ada undangan mengenai masalah pemekaran desa tolong hadir ya.” Ujarnya dengan penuh harap. “Oh ya, ya, saya baru dengar baru-baru ini.” Jawabku mengiyakan. “ Nah..dari itu, nanti tolong dibantu segala sesuatunya yang menyangkut pengadministrasian pemekaran desa, dan lagi kamukan sudah tahu bagaimana caranya mengoprasikan komputer, jadi ya, bakal banyak yang diketik.” Sambungnya. Obrolanpun terus berlanjut, pembahasan inti dan tujuan telah ia sampaikan, dan akupun telah menangkap maksud dan tujuannya. Hingga ia berpamitan pulang, akupun masih terheran, kenapa aku yang didatangi. “Ah sudahlah, lagi-lagi aku berpikir bahwa inilah jawaban do’a kedua orangtuaku, aku tambah yakin bahwa do’a orang tua itu pasti dikabulkan.” Hati ini terus bermonolog.

Sekitar seminggu ternyata benar, undanganpun sampai. Pembahasanpun benar, tentang pemekaran desa. Dan tak disangka pula, akupun didapuk menjadi sekretaris desa. Entah bagaimana aku mengatur waktu. Pagi di SD, siang di MTs, malam di TPA dan tugas sekretaris desapun menanti. Ternyata kini bukan aku yang mencari pekerjaan, tapi pekerjaan mencariku untuk ditunaikan. Sepintas banyak yang berpikir bahwa bagaimana cara aku mengatur waktu untuk melaknakan tugas itu. Namun seiring berjalannya waktu, semua kewajiban terkait tugas dan kewajibanku dapat aku laksanakan. Ya itu menurutku yang mengalaminya langsung. Tapi ada saja yang mengatakan, bagaimana bisa aku melaksakannya? sedang jam kerja sekretaris desa kala itu tak menentu. Memang tak ada jam wajib berkantor, karena kantor desapun belum ada. Kantorku hanyalah ruang kecil di rumah emaku. Awal pemekaran desa merupakan tugas yang paling berat aku rasakan, merintis struktur pemerintahan, hingga pengadministrasian yang masih meraba-raba. Referensi administrasipun tidak ada, internet belum ada untuk sekedar googling mencari contoh. Yang kutahu hanyalah bagaimana agar pelayanan masyarakat dapat terlayani dengan baik. Selama aku menjabatpun belum ada keluhan yang disampaikan baik langsung maupun tak langsung. Setahun sudah aku menjalani keseharianku dengan tugas yang berbeda-beda. Di desa yang kini sudah definitif, ternyata aku tak hanya mendapat tugas sebagai sekretaris desa, namun juga sebagai Kepala Urusan pemerintahan, Ketua LKD (Lembaga Keuangan Desa), dan pendampung KUBE (kelompok Usaha Bersama).Kegiatan semakin padat, baik yang berkaitan dengan tulis-menulis hingga dalam hal sosialisasi terhadap masyakarat secara verbal. Namun, aku mempunyai prinsip, tugas pokok dan fungsiku yang awal adalah sebagai guru. Aku selalu mengutamakan tugas guruku, kemudian baru tugas yang lain. Tapi tetap saja walaupun aku mempunyai tugas prioritas bukan berarti tugas yang lain terabaikan. Tugasku selalu kupenuhi tepat waktu, walau harus menyita waktu istirhat sehingga terkadang hingga dini hari aku masih tetap bekerja. “Sebenarnya tugasmu itu bagus, banyak, tapi sebetulnya kebanyakan tugas seperti tusuk sate itu tak baik buat karirmu.” Celetuk beberapa orang yang rata-rata mengatakan yang hal yang sama. “Memangnya tujuanmu itu mau di mana? Di sekolah atau di pemerintahan?” banyak pula yang intinya sama mengatakan demikian.  Dan yang mengherankan adalah tak ada yang menyindirku dan mengomentariku ketika aku mengajar TPA. Seorang guru ngaji, yang bermodalkan pengetahuannya tentang sedikit agama dan huruf alif hingga ya, tak ada yang menyindirnya untuk berhenti dan fokus di sekolah saja. Aku masih konsisten hingga saat ini untuk membimbing anak-anak pengguna tusuk sate untuk digunakan menunjuk huruf alif hingga ya pada buku iqoro’ dan Alqur’annya.

Suatu pagi, ada sebuah undangan sosialisasi tentang kepegawaian yang dislenggarakan kecamatan  dengan mengundang pejabat kabupaten bagian kepegawaian pemerintahan. Singkat cerita, “Jadi, bapak/ibu pejabat pemerintahan tak boleh merangkap-rangkap demi kefokusan kinerja” Itulah bagian akhir dari sosialisasi itu. Hal itupun mengundang Tanya bagiku. “Maaf pak, saya menjabat sebagai sekretaris desa, guru SD dan MTs, kemudian malamnya mengajar TPA, di desa saya merangkap sebagai sekretaris desa dan kepala urusan pemerintahan, karena regulasinya yang masih demikian, bagaimana dengan jabatan saya ini?”. “Wah..hebat sekali saudara ini, jadi bagaimana anada mengerjakan bisa mengerjakan itu semua?, bagaiamana jika ada tugas yang berbenturan?, jadi sekali lagi saya ulangi, peraturan ini dibuat agar dapat meningkatkan kinerja bapak/ibu semua dalam tugas dan kewajiban bapak ibu sebagai aparat, silahkan dikonsultasikan bagaimana baiknya kepada pak camat.” Tegasnya.

Sosialisasipun berakhir, seperti arahannya, setelah selesai aku menemui camat. “Gak papa, nanti bapak yang tanggung jawab, toh selama ini tugasmu selesai dan baik-baik saja kan?” tandasnya seolah membela pekerjaanku yang selama ini aku kerjakan. “Nih, bapak kasih seragam sebagai kenangan.” Sambil menyodorkan dua stel baju hansip dan pemda kuning khaki. “Wah makasih pak, tapi terkait peraturan tadi, saya rasa peraturan itu harus saya laksanakan.” Jawabku. “Jadi kamu mau mundur dari semua jabatan sekarang?” tanyanya. “Ya, sepertinya begitu, nanti saya akan beritahukan juga sama Pak Lurah.” Jawabku. “Ya, itu terserah kamu, tapi saran saya jalani saja dahulu.” Sarannya setengah merayu. “ Ya pak termakasih sarannya, dan terimakasih juga seragamnya, mau saya pakek untuk mengajar, mudah-mudahan berkah” Ucapku sambil tersenyum bahagia karena mendapatkan seragam dari orang nomor satu di kecamatan.

Semakin hari, semakin terasa banyak sekali pertimbangan yang menekanku untuk segera mengundurkan diri, karena saking banyaknya yang memintaku untuk segera berhenti dari jabatanku sekarang. Akadang aku berpikir, ini bukan mauku, ini karena permintaan pemuda yang datang kala itu, dan kini menjadi lurah di desaku. Tapi demi kenyamanan, akupun memutuskan untuk berhenti dari jabatan di pemerintahan desa. Namun tugas mengajarku, baik anak-anak pengguna pena dan pengguna tusuk sate tetap aku jalani. Aku yakin keputusanku tetap sesuai harapan dan do’a kedua orang tuaku. Doanya memang terkabul, menginginkan anaknya tetap berguna dan bermanfaat bagi masyarakat,  nusa, bangsa, dan agama.

 

 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah memberikan komentarnya

Penerapan Multi-Factor Authentication (MFA) pada Platform ASN Digital BKN

  Penerapan Multi-Factor Authentication (MFA) pada Platform ASN Digital BKN Seiring meningkatnya ancaman siber seperti phishing, pencurian i...