Saturday, November 19, 2022

METODE STUDI ISLAM

 

BAB  I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang                                   

Jika berbicara tentang Islam, maka disitulah terdapat banyak kajian yang tidak hanya dikaji oleh umat muslim sendiri tetapi oleh banyak juga orang-orang diluar Islam. Di dunia barat kajian Islam dikenal dengan istilah islamic Studies yang secara mempelajari Islam secara mendalam. Sebagaimana yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad, bahwasanya Islam adalah Rahmatan Lil’alamain, rahmat bagi seluruh alam.

Islam harus dipahami secara kaaffah atau secara menyeluruh. Maka, untuk memahami Islam lebih mendalam, maka studi Islam merupakan kajian yang harus digali baik makna tersirat dan tersurat dari Islam. Pemahaman studi islam perlu kajian yang sistematis yang umumnya dimulai dari : apa definisi studi islam, apa ruang lingkup studi islam, apa tujuan dalam studi islam, apa tujuan studi islam, dan bagaimana pendekatan dalam studi islam.

Studi Islam yang telah dilakukan dari dahulu hingga sekarang tetap relevan diberbagai zaman. Kajiannya masih relevan baik dalam menjawab persoalan yang muncul pada masa Rasullullah Saw, para sahabat bahkan sampai saat ini. Islam mengajarkan kepada manusia bahwa ilmu dan kajian Islam sangat luas. Selain itu, seluruh umat manusia di muka bumi ini dipersilahkan untuk mengkaji Islam dengan menggunakan akal dan pikirannya.

Tidak ada keberuntungan bagi umat manusia di dunia dan akhirat kecuali dengan Islam. Kebutuhan mereka terhadapnya melebihi kebutuhan terhadap makanan, minuman, dan udara. Setiap manusia membutuhkan syari'at. Maka, dia berada di antara dua gerakan,yaitu gerakan yang menarik kepada perkara yang berguna dan gerakan yang menolak mara bahaya. Islam adalah penerang yang menjelaskan perkara yang bermanfaat dan berbahaya.

Agama Islam ada tiga tingkatan,yaitu Iman,Islam dan ihsan. Dan setiap tingkatanya Mempunyai Rukun-rukun tertentu.

 

B.     Perumusan Masalah

Didalam Makalah ini akan dirumuskan beberapa masalah diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Apa Pengertian Metodologi Studi Islam ?

2.      Apa Tujuan dari Metodologi Studi Islam ?

3.      Bagaimana Keterkaitan Manusia dengan Studi Agama ?

4.      Bagaimana Asal usul Pertumbuhan Metodologi Studi Islam ?

5.      Apa saja Pendekatan-pendekatan Studi Islam ?

6.      Apa saja Ruang Lingkup Studi Islam ?

 

C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah

1.      Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

a)      Sebagai pemenuhan tugas pada mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dalam Dakwah Kultural,

b)      Untuk memaparkan Metodelogi Studi Islam,

c)      Bagaimana Keterkaitan manusia dengan studi agama da nasal usul pertumbuhan studi islam,

d)     Untuk mengetahui apa pendekatan-pendekatan studi islam dana pa saja ruang lingkup studi islam.

 

2.      Manfaat Penulisan Makalah

Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat praktis dan manfaat teoritis, secara garis besar manfaat tersebut adalah :

a)      Manfaat Teoritis

1)      Hasil penulisan makalah ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi para penulis dan pembaca lainnya yang akan mengembangkan penulisan ini,

2)      Hasil penulisan makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan pengembangan referensi teori metode studi islam.

 

b)      Manfaat Praktis

1)      Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan saran bagi mahasiswa dalam memperkaya literature studi islam,

2)      Hasil penulisan makalah ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran, masukan dan saran bagi pembaca lainnya,

3)      Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi informasi rujukan bagi guru pendidikan agama islam.

 

 

 


BAB II

KAJIAN TEORITIS

 

A.    Pengertian Metode Metodologi dan Perbedaanya

  1. Pengertian Metode

Metode adalah suatu proses atau cara sistematis yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dengan efisiensi, biasanya dalam urutan langkah-langkah tetap yang teratur. Kata metode (method) berasal dari bahasa Latin dan juga Yunani, methodus yang berasal dari kata meta yang berarti sesudah atau di atas, dan kata hodos, yang berarti suatu jalan atau suatu cara. Metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara suatu totalitas yang akan dicapai atau dibangun. Mendekati suatu bidang secara metodis berarti memahami atau memenuhinya sesuai dengan rencana, mengatur berbagai kepingan atau tahapan secara logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan.

Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem bersangkutan dengan isi ilmu, sementara metode berkaitan dengan aspek formal. Lebih tepat, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu.

a.       Karakter Metode

Metode juga dapat didefinisikan sebagai an established, habitual, logical, or systematic process of achieving certain ends with accuracy and efficiency, usually in an ordered sequence of fixed steps(praktik yang mapan, kebiasaan, logis atau proses sistematis untuk mencapai tujuan tertentu dengan akurasi dan efisiensi, biasanya dalam urutan teratur langkah-langkah tetap). Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini karakter metode meliputi:

1)      metode merupakan sebuah aktivitas yang relatif mapan yang digunakan oleh suatu kelompok.

2)      terkadang karena sudah terbiasa dan relatif mapan, metode merupakan aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan dari suatu kelompok.

3)      metode yang telah mapan dan menjadi kebiasaan biasanya menjadi tindakan yang logis dan merupakan sebuah proses yang sistematis untuk mencapai tujuan tertentu dengan akurasi dan efisiensi penggunaan sumber daya.

 

 

b.      Pengertian Metodologi

Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan "logos". Kata "metodos" terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. "Logos" artinya ilmu. Metodologi adalah ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung Dari realitas yang sedang dikaji.[1] Ilmu terdiri atas empat prinsip, yaitu:

1.        Keteraturan (orde)

2.        sebab-musabab (determinisme)

3.        kesederhanaan (parsimoni)

4.        pengalaman yang dapat diamati (empirisme)

 

Dengan prinsip-prinsip yang demikian maka ada banyak jalan untuk menemukan kebenaran. Metodologi adalah tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang akan digunakan.

c.       Perbedaan antara Metode Dan Metodologi

Metode adalah cara atau prosedur yang ditempuh untuk menggapai tujuan tertentu. Lalu ada satu istilah lainnya yang berkaitan dengan 2 istilah ini, yaitu tekhnik adalah cara yang spesifik dalam pemmecahan masalah tertentu yang ditemukan dalam pelaksanaan prosedur.sedangkan Metodologi adalahcara atau ilmu ilmu yang dipakai untuk menemukan kebenaran mmenggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas apa yang dikaji.

Banyak yang beranggapan kalau istilah metode dan metodologi itu sama padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.

  1. Pengertian studi Islam

Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya. [1]

Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Arti pokok Islam adalah ketundukan, keselamatan dan kedamaian. Maka studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada 3 hal :

1.        Islam yang bermuara pada ketundukan/berserah diri, berserah diri artinya pengakuan yang tulus bahwa Tuhan satu-satunya sumber ntoritas yang serba mutlak. Keadaan ini membawa timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri.

2.        Islam dapat dimaknai yang mengarah kepada keselamatan dunia dan akhirat sebab ajaran Islam pada hakekatnya membina dan membimbing manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan dalam kehidupan di dunia termasuk kehidupan akhirat.

3.        Islam bermuara pada kedamaian manusia harus hidup berdampingan dengan makhluk hidup yang lain bahkan berdampingan dengan alam raya. Dengan demikian kedamaian harus dilakukan secara utuh dan multi dimensi.

Dari 3 dimensi di atas studi Islam mencerminkan gagasan tentang pemikiran dan praktis yang berrnuara pada kedudukan Tuhan, selamat di dunia dakhirat dan berdamai dengan makhluk lain. Dengan demikian studi Islam tidak hanya bermuara pada wacana pemikiran tetapi juga pada praktis kehidupan yang berdasarkan pada perilaku baik dan benar dalam kehidupan.

Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh  kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.

Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.[2]

Istilah Studi Islam dalam bahasa Inggris adalah Islamic Studies, dan dalam bahasa Arab adalah Dirasat al-Islamiyah. Ditinjau dari sisi pengertian, Studi Islam secara sederhana dimaknai sebagai “kajian islam”. Pengertian Studi Islam sebagai kajian islam sesungguhnya memiliki cakupan makna penertian yang luas. Hal ini wajar adanya sebab sebuah istilah akan memiliki makna tergantung kepada mereka yang menafsirkannya. Karena penafsir memiliki latar belakang yang berbeda satu sama lainnya, baik latar belakang studi, bidang keilmuan Pengalaman maupun berbagai perbedaan lainnya, maka rumusan dan pemaknaanya yang di hasilkannya pun juga akan berbeda.

Lester Crow dan Alice Crow menyebutkan bahwa Studi adalah kegiatan yang secara sengaja diusahakan dengan maksud untuk memperoleh keterangan mecapai pemahaman yang lebih besar atau meningkatkan suatu keterampilan sementara kata Islam sendiri memiliki arti dan makna yang jauh lebih kompleks.dikalangan umat islam,studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta mem bahas ajaran-ajaran islam agar mereka dapat melaksanakannya dengan benar namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang agama dan praktik-praktik keagamaan islam tersebut bias di manfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Adapun metode studi islam secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:

1)      Metodologi Ilmu Pengetahuan         

Metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode- metode aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan.

2)      Metodologi singkronik-analis

Suatu metode mempelajari islam yang memberikan kemampuan analis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental.

3)      Metode Empiris

Suatu metode mempelajaari islam yang memungkinkan umat islam mempelajaari ajarannya melalui proses aktualisasi dan internalisasi  norma-norma dan kaidah islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu  interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dalam suatu sistem norma baru.metode deduktif (AL-Manhaj Al istinbathiyah )

4)      Metode Emperis norma  (Tajribiyah)

Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan Umat Islam mempelajari ajarannya melalui proses aktualisasi dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial.

Selanjutnya, terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Cara tersebut digunakan untuk memahami Islam paling besar agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain. Metode tersebut juga di tempuh dalam rangka menghindari kesalahfahaman yang menimbulkan sikap serta pola hidup beragama yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku.

Untuk memahami Islam secara benar, terdapat empat cara yang tepat menurut Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:

a)        Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alqur’an dan sunnah Rasul.

b)        Islam harus dipelajari secara integral atau secara keseluruhan.

c)        Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama, dan sarjana Islam.

d)       Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis dalam Alqur’an kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosologis.

Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:

1)      Metode komparasi, yaitu Suatu metode untuk memahami ajaran Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa Islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.

2)      Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normative dan brsifat rasional , obyektif, dan kritis dengan metode teologis-normatif.

 

B.     Tujuan Studi Islam

Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk memantapkan keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam dengan demikian tujuan studi Islam adalah sebagai berikut:

Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan pada pemeluknya sebagai hamba yang berdimensi teologis, humanis, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan tujuan di atas dapat di tercapai.

Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar dogmatis dan teologis. Tetapi ada aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal betul-betul mampu menjawab tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Seiring berkembangnya zaman agama lantas tidak hanya berfungsi sebagai penegasan terhadap doktrin semata namun agama juga harus mampu dipelajari secara akademik. Sebagaimana yang dijelaskan Amin Abdullah bahwa fenomena keberagaman manusia tidak hanya dilihat dari sudut normativitas ajaran wahyu, meskipun fenomena ini sampai kapanpun  akan menjadi ciri khas daripada agama-agama yang ada. Tetapi juga harus mampu dilihat dari sudut historisitas pemahaman dan interpretasi orang-orang atau kelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukan.[3]

 

Terlepas dari perdebatan dan pesimisme itu, setuju atau tidak setuju, itu adalah pernyataan yang diberikan yang diakui oleh outsider dan insider dalam melihat kepentingan Metodologi Studi Islam. Ada beberapa yang sangat urgen Mengapa Metodologi Studi Islam ini digunakan untuk memahami Islam baik secara tekstual dan kontekstual di antaranya adalah:

1.          Kita masyarakat Muslim yang hidup pada era abad 20 ini dihadapkan dengan berbagai persoalan multidimensi, baik sains, teknologi dan modernisasi, Islam yang exclusive, pemahaman Islam yang berkelompok-kelompok, golongan, serta berbagai aliran dan mazhab, bahkan Islam gerakan, yang saling mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya yang paling benar, menyalahkan, mengkafirkan, menyesatkan orang lain dalam beragam sehingga kita menjadikan terkotak-kotak sebagai akibat pemahaman Islam sejarah akibatnya kita belum menjawab hal-hal pokok dalam kehidupan beragama, bersosial dan bernegara.

2.          Cara pandang Islam yang seharusnya tidak hanya doktrin, tetapi juga aspek sosial budaya di mana perkembangan zaman membutuhkan pemahaman Islam yang dinamis. Sikap Budi Luhur adalah amanah atau trust yang agaknya selama ini masih jauh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara ajaran agama ini sering dipisahkan dari kehidupan sosial dan lingkungan. Sebagai konsekuensi logis munculnya muncullah dikotomi wahyu dengan alam, wahyu dan akal, serta antar antara Wahyu dan realitas sosial. Masyarakat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Sehingga kita dituntut untuk memahami pengetahuan dan metodologinya di sinilah Perlunya kita memahami permasalahan dan sekaligus menggunakan metodologi terhadap aspek kajian tertentu. Karena akibat Kemajuan dan perkembangan zaman pasti ada dampak sosialnya dan cara pandang Islam itu sendiri.

3.          Cara pandang dikotomi antara pengetahuan agama dan umum. Poin ini menunjukkan krisis intelektual dalam dunia islam yang berlarut-larut. Tidak diragukan lagi bahwa krisis adalah penyebab sekaligus bukti dekadensi dan melempem umat, yang sekaligus menghambat mereka untuk mengejar ketertinggalan kultural dan peradaban dunia modern. Kelesuan ini bahkan sering diperburuk dengan krisis politik, ekonomi, dan militer.

4.          Sesama umat Islam larut dalam mengklaim sukunya yang paling benar, dalam beragama mengklaim dirinya paling saleh di muka bumi serta menyalahkan dan memburukan yang lain.

 

C.     Keterkaitan Manusia dengan Studi Agama

Kebanyakan pemikiran modern melihat agama merupakan sekumpulan doktrin yang dilegatimasi oleh “prasangka-prasangka” manusia di luar rasionalitas. Sementara ilmu pengetahuan yang mengedepankan rasionalitas sangat keras menolak doktrin. Semakin rasional seseorang semakin menjauh dari ritual agama, sebaliknya manusia yang kurang tersentuh rasionalitas, dengan sendirinya akan kuat meyakini ajaran agama. Karena modernitas tidak selalu memberi perbaikan bagi kondisi umat manusia, tak mampu mengatasi berbagai problem dan bahkan hanya memberikan kontribusi positif bagi kelas yang dominan. Mereka yang pinggirkan mengalami marginalisasi/leterasingan dari kemajuan zaman.

Agama sebagai salah satu ajaran yang memberi tuntunan hidup banyak dijadikan pilihan. Karena ada indikasi dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa dimanfaatkan manusia daripada ideologi. Orang juga lebih leluasa memeluk agama dan merasakan nilai-nilai positifnya tanpa harus menggunakan potensi akalnya untuk berfikir. Agama memberi tempat bagi semua. Agama juga merupakan fenomena sosial; agama tidak hanya ritual tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. Psikologi agama merupakan salah satu cara bagaimana melihat praktek keagamaan. Sebagai gejala psikologi, agama rupanya cukup memberi pengertian tentang perlu atau tidaknya manusia beragama ketika agama tak sanggup lagi memberi pedoman bagi masa depan kehidupan manusia, bisa saja kita terinspirasi menciptakan agama baru/melakukan eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem yang menghimpit kehidupan.

 

D.    Asal Usul dan Pertumbuhan Metodologi Studi Islam

Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Pada awalnya pendidikan Islam, dalam bentuk halaqah-halaqah, kemudian bentuk madrasah. Selain pesantren pendidikan Islam di Indonesia diharapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan. Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai tradisi keagamaan yang hidup dan historis. Ketimbang “kumpulan tatanan doktrin” yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits. Studi Islam kontemporer di Barat, berusaha keras menampilkan citra yang lebih adil dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.

Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tapi diletakkan sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini. Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an terjadi perubahan besar dalam paradigma Islam. kecenderungan pertama, terjadinya pergeseran dari kajian Islam yang bersifat normatif. Kepada yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Kedua orientasi keilmuwan yang lebih luas kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat, studi di Timur tengah tetap memiliki nilai penting, terutama dalam memahami aspek doktrinal yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam.

Jika dipadukan menjadi satu model pendidikan Islam, kiranya dapat menjawab kekurangan masing-masing orientasi, yakni menguasai khazanah intelektual Islam yang paling dasar dan otentik juga menguasai metodologi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat.

E.      Objek Metodologi Studi Islam

Objek kajian Metodologi Studi Islam adalah ajaran Islam dari berbagai aspeknya dan berbagai mazhab atau alirannya. Ajaran islam ini tidaklah sempit atau sebatas ibadah saja sehingga penafsiran atas ajaran Islam harusa mengikuti penafsiran-penafsiran ulama terutama ulama klasik. Umat Islam sebagian juga berpendapat bahwa aspek atau ajaran Islam hanyalah shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir, tetapi sebagai objek kajian metodologi studi Islam dan ajaran Islam.

Perlu dipahami pemetaan ajaran islam ke dalam beberapa kategori, antara lain 2 wilayah ajaran islam yaitu yang absolut-mutlak (sakral) dan nisby-zhanniy (profan). Islam sebagai the origin text bersifat mutlak dan absolut,islam yang berupa hasil pemikiran dan praktek umat islam sehari-hari bersifat relatif-temporal, berubah sesuai dengan perubahan konteks zaman dan konteks sosial.

Dengan demikian, yang menjadi objek kajian Metodologi Studi Islam (MSI) adalah semua hal yang membicaraka tentang islam, mulai dari level nash atau teks (wahyu), hasil pemikiran ulama hingga level praktek yang dilakukan masyarakat islam. Perbedaan-perbedaan studi islam inilah yang menyebabkan perbedaan dalam menentukan pendekatan dan metode yang digunakan.   

Menurut Harun Nasution, obyek kajian Islam dibagi menjadi beberapa aspek, setelah melakukan perkembangan dan pertumbuhan, Studi Islam diarahkan ke dalam bidang-bidangsesuai dengan pengakuan dari Lembaga  Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1982 yang objek kajiannya meliputi:

1.      Sumber ajaran Islam: Al-Qur’an dan Hadis

2.      Pemikiran dasar Islam yang meliputi kalam, filsafat, tasawuf

3.      Fikih dan pranata sosial.

4.      Sejarah Kebudayaan Islam.

5.      Dakwah.

6.      Pendidikan Islam.

7.      Bahasa dan Sastra Arab.

F.     Pembaruan Pemikiran Islam.

Sejak tahun 1977,Pemikiran Pembaruan Islam  direkomendasikan oleh para pakar untuk dimasukkan ke dalam setiap bidang dari nomor 1 sampai nomor 7. Jadi, semua bidang mempunyai pembaruan pemikiran dalam Islam dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk di jadikan sebagai objek kajian, namun tetap berpedoman pada dua sumber utama yakni Alquran dan hadis. Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap Alquran dan hadis sehingga timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual..

Islam sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragan pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indikasi yang kuat bahwa pada pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keteri libatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti merubah doktrin esensialnya. bukankah dalam Islam telah memotivasi pelibatan akal pikiran untuk dikenali, diketahui dan diimplementasikan ajarannya (QS. 96;1). Ajarannya yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk (Muhammad Wahyudi Nafis, 7).

Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya, maka dalam proses dan bentuknya kemudian, Islam dapat di

pandang sebagai pemikiran. Islam yang dimaksud di sini bukan hanya yang terda pat dalam Alquran dan hadis (tekstuan dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaman dan penjabaran nilai-nilainya.Islam berbentuk nilai-nilai, dalam hal ini akal pikiran dilibatkan dalam proses memahami sejarah pemikiran. Pemikiran peminat studi Islam memberikan kontribusi terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadis, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.

Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.

G.    Ruang LingkupMetodologi Studi Islam

Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal kultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama menyatakan eksistensinya, berarti ia mempunyai peran dan fungsi di masyarakat. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini  banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam belakangan ini.

Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan wilayah kajian studi Islam berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat,  maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu.

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya yaitu Al-Qur’an dan Hadits, nampak amat ideal. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalaui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya.

Namun kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita-cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti shalat,puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang kesalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial sudah kurang nampak. Di kalangan masyarakat telah terjadi kesalahpahaman dalam memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan itu.  Akibat dari kesalahpahaman memahami simbol-simbol keagamaan itu maka agama lebih dihayati sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama.

Diketahui bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi yang akan menimbulkan keberagamaan.

Menurut Muhammad Nur Hakim, tidak semua aspek agama khususnya islam dapat menjadi obyek studi. Dalam konteks Studi Islam, ada beberapa aspek tertentu dari islam yang dapat menjadi obyek studi, yaitu:

1.      Islam sebagai doktrin dari tuhan yang kebenarannnya bagi pemeluknya sudah final, dalam arti absolut, dan diterima secara apa adanya.

2.      Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.

3.      Sebagai interaksi sosial yaitu realitas umat islam.

Sementara menurut Muhammmad Amin Abdullah terdapat tiga wilayah keilmuan agama islam yang dapat menjadi obyek studi islam:

Sedangkan menurut M.Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa obyek kajian islam adalah substansi ajaran-ajaran islam, seperti kalam, fiqih dan tasawuf. Dalam aspek ini agama lebih bersifat penelitian budaya hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keislaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penawaran dan perenungan.

Wilayah praktek keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama.

Wilayah tori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing.

Telaah teroitis yang lebih popular disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang disusunoleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua.

Sedangkan menurut M.Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa obyek kajian islam adalah substansi ajaran-ajaran islam, seperti kalam, fiqih dan tasawuf.dalam aspek ini agama lebih bersifat penelitian budaya hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keis laman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh pe nganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penawaran dan pere nungan.

Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau member contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli al -Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para peng anut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana lita melihat masalah Islam sebagai sasaran studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari peng gunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.

jadi dengan demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan penelitian social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.

Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivism. Paragdima positivism dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.

Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.

Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.

Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.

Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam.

Pembahasan kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya, secara material, ruang lingkup studi islam dalam tradisi sarjana barat, meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, teks sejarah dan instusi-instusi keislaman pada awalnya ketertarikan sarjana barat terhadap pemikiran islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah Negara-negara yang banyak didomisili warga Negara yang beragama islam, sehingga mau tidak mau mereka harus faham budaya lokal. Kasus ini dapat dilihat pada perang aceh sarjana belanda telah mempelajari islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan dilokasi dengan asumsi ia telah memahami budaya dan peradapan massyarakat aceh yang mayoritas beragama islam.

Ruang lingkup Islam juga merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqh/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini  kita melihat semakin tumbuh  dan maraknya kesadaran  dikalangan kaum  muslim untuk lebih patuh  kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam. Gejala ini untuk konteks Indonesia misalnya, terlihat pada kebangkitan Jilbab, busana muslim, tuntunan pencantuman label halal-haram  pada makanan, penerapan sistem ekonomi dan perbankan Islam dan sebagainya. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.[4]

Sejak tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan oleh beberapa pakar  dan ilmuan kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian keagamaan merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat individual, eksklusif dan komunal.

 

     Islam dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat debngan asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat. Setaelah itu pemahaman yang telah menjadi input bagi kaum orentalis diambil sebagai dasar kebijakan oleh penguasa colonial yang tentunya lebih menguntungkan mereka ketimbang rakyat banyak diwilayah jajahanya. Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah tatas dasar masukan ini para penjajah colonial dapat mengambil kebijakan didaerah koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukkan ini, para penjajah mampu membuat  kekuatan social, masyarakat terjajah sesuai dengan kepentingan dan keutunganya. Setelah mengalami keterpurukan, dunia islam mulai bangkit memalui para pembaru yang telah dicerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat islam mengejar ketertinggalanya dari umat lain.

Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:

1)          Agama Sebagai doktrin dari Tuhan

Agama Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah  final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya. Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.

Selain kata doktrin sebgaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati gagasan yang tidak praktis.

Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.

Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.

Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: “al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah” (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).[5]

Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.

Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.

Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.

Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara ijtihad.

Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.

Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih, itab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.

Sampai disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad. Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang diambil dari ijtihad ini semakin banyak.

Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an maupun yang ada di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.

Jadi sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.

2)          Sebagai gejala budaya,

Berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.   Pada awalnya ilmu hanya ada dua Suatu penemuan yang dihasilkan seseorang pada suaktu-waktu mengenai suatu gejala sifat alam.

Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.

Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu social dan model studi budaya.

Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai obyek penelitian saja.

Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual, artinya memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti memahami Islam lewat realitas social, yang berupa perilaku masyarakat yang memeluk agama bersangkutan.

Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.

Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi . selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi. Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.

Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa: “agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya.

Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.

Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsure (ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.

Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari  dua entitas kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.

Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme control, karena agama adalah pranata social dan gejala social, yang berfungsi sebagai kontro, terhadap institus-institus yang ada.

Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded alashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik.

Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.

3)      Sebagai interaksi social,

Yaitu realitas umat Islam.Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.

Melalui pendekatan antropologi hubungan agama dengan berbagai masalh kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dan berbagai fenomena kehidupan manusia.[6]

Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.

Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi fenomena Islam.

Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.

M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan lain-lain.

Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala social, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai system nilai mempengaruhi masyarakat.[7]

Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau memberi contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita melihat masalah Islam sebagai sasaran studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.

Jadi dengan demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan penelitian social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.

Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivisme. Paragdima positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang dianggap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan diverifikasi.

Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.

Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.

Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.

Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.      KESIMPULAN

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti disampaikan pada acara-acara keagamaan saja, melainkan harus dipahami dan dikaji lebih mendalam sehingga dapat dirasakan manfaatnya. Dari uraian yang sudah disajikan,dapat diketahui bahwa dalam melakukan studi Islam terlebih dahulu kita harus menguasai metodologinya. Di dalam studi Islam juga terdapat pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai alat untuk memahami permasalahan, gejala, dan fenomena-fenomena yang ada dalam masyarakat, seperti pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan, dan psikologis.

Pendekatan-pendekatan tersebut mempunyai peran penting dalam studi Islam karena dengan demikian agama akan menemukan cara yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai ajarannya. Juga dapat kita ketahui bahwa agama pada hakikatnya bukan merupakan monopoli suatu kalangan, kelompok, atau golongan tertentu saja. Melainkan agama itu milik setiap individu yang meyakininya dan dapat dipahami setiap orang sesuai dengan kesanggupan pemahamannya masing-masing. Dengan permasalahan yang berkembang semakin kompleks sekarang ini agama diharapkan menjadi solusi dalam penyelesaiannya, maka dari itu peran studi Islam menjadi sangat dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.

B.   SARAN

Demikian makalah yang kami buat,kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dan pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Naim Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.

Syukur M.Amin dkk, Metodologi Studi Islam, Semarang: Gunung jati, 1998.

Nasution Khoirodin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia+ Tazzafa, 2009.

[1] Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Muhaimin dkk, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan Jakarta: Kencana, cet III, 2012



[1] Muhaimin, et.al.Kawasan dan Wawasan Studi iSlam,(Jakarta: Kencana, 2005) hal.2

 

[2] Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga

[3] Amin Abdullah, Studi Agama  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 5

 

[4] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 214

 

[5] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2007 h. 19

 

[6] Abuddin nata, Metodologi studi islam (Jakarta: Rajawali pres, 2012)  h. 38

 

[7] Atho mudzhar, Pendekatan , h.13-14

 

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah memberikan komentarnya

RAKOR KS PULPA 9 JANUARI 2025

 Surat Undangan RAKOR Notulen RAKOR