BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jika
berbicara tentang Islam, maka disitulah terdapat banyak kajian yang tidak hanya
dikaji oleh umat muslim sendiri tetapi oleh banyak juga orang-orang diluar Islam. Di dunia barat
kajian Islam dikenal dengan istilah islamic Studies yang secara
mempelajari Islam secara mendalam. Sebagaimana
yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad, bahwasanya Islam adalah
Rahmatan Lil’alamain, rahmat bagi seluruh alam.
Islam harus dipahami secara
kaaffah atau secara menyeluruh. Maka,
untuk memahami Islam
lebih mendalam,
maka studi Islam merupakan kajian yang harus
digali baik makna tersirat dan tersurat dari Islam. Pemahaman studi islam perlu
kajian yang sistematis
yang umumnya dimulai dari : apa definisi studi islam, apa ruang lingkup
studi islam, apa tujuan dalam studi islam, apa tujuan
studi islam, dan bagaimana pendekatan dalam studi islam.
Studi Islam yang telah
dilakukan dari dahulu hingga sekarang tetap relevan diberbagai zaman. Kajiannya
masih relevan baik dalam menjawab persoalan yang muncul pada masa Rasullullah Saw, para sahabat bahkan sampai
saat ini. Islam mengajarkan kepada
manusia bahwa ilmu dan kajian Islam sangat luas. Selain itu, seluruh umat manusia di
muka bumi ini dipersilahkan untuk mengkaji Islam
dengan menggunakan akal dan pikirannya.
Tidak ada keberuntungan bagi umat
manusia di dunia dan akhirat kecuali dengan Islam. Kebutuhan mereka terhadapnya
melebihi kebutuhan terhadap makanan, minuman, dan udara. Setiap manusia membutuhkan
syari'at. Maka, dia berada di antara dua gerakan,yaitu gerakan yang menarik
kepada perkara yang berguna dan gerakan yang menolak mara bahaya. Islam adalah
penerang yang menjelaskan perkara yang bermanfaat dan berbahaya.
Agama Islam ada tiga tingkatan,yaitu
Iman,Islam dan ihsan. Dan setiap tingkatanya Mempunyai Rukun-rukun tertentu.
B.
Perumusan
Masalah
Didalam Makalah ini akan dirumuskan beberapa masalah
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Apa
Pengertian Metodologi Studi Islam ?
2. Apa
Tujuan dari Metodologi Studi Islam ?
3. Bagaimana
Keterkaitan Manusia dengan Studi Agama ?
4. Bagaimana
Asal usul Pertumbuhan Metodologi Studi Islam ?
5. Apa
saja Pendekatan-pendekatan Studi Islam ?
6. Apa
saja Ruang Lingkup Studi Islam ?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penulisan Makalah
1. Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
a) Sebagai
pemenuhan tugas pada mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dalam Dakwah
Kultural,
b) Untuk memaparkan Metodelogi Studi Islam,
c) Bagaimana Keterkaitan manusia dengan
studi agama da nasal usul pertumbuhan studi islam,
d) Untuk mengetahui apa pendekatan-pendekatan studi
islam dana pa saja ruang lingkup studi islam.
2. Manfaat
Penulisan Makalah
Manfaat dari penelitian ini
meliputi manfaat praktis dan manfaat teoritis, secara garis besar manfaat
tersebut adalah :
a)
Manfaat
Teoritis
1)
Hasil penulisan
makalah ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi para penulis dan pembaca lainnya
yang akan mengembangkan penulisan ini,
2) Hasil penulisan makalah ini dapat dimanfaatkan
sebagai masukan pengembangan referensi teori metode studi islam.
b)
Manfaat Praktis
1)
Hasil penulisan
makalah ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan saran bagi mahasiswa
dalam memperkaya literature studi islam,
2)
Hasil penulisan
makalah ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran, masukan dan saran bagi
pembaca lainnya,
3)
Hasil penulisan
makalah ini diharapkan dapat menjadi informasi rujukan bagi guru pendidikan
agama islam.
BAB
II
KAJIAN
TEORITIS
A.
Pengertian
Metode Metodologi dan Perbedaanya
- Pengertian Metode
Metode adalah suatu proses atau cara sistematis yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dengan efisiensi, biasanya dalam
urutan langkah-langkah tetap yang teratur. Kata metode (method) berasal dari
bahasa Latin dan juga Yunani, methodus yang berasal dari kata meta yang berarti
sesudah atau di atas, dan kata hodos, yang berarti suatu jalan atau suatu cara.
Metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara suatu totalitas yang akan
dicapai atau dibangun. Mendekati suatu bidang secara metodis berarti memahami
atau memenuhinya sesuai dengan rencana, mengatur berbagai kepingan atau tahapan
secara logis dan menghasilkan sebanyak mungkin hubungan.
Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem
bersangkutan dengan isi ilmu, sementara metode berkaitan dengan aspek formal.
Lebih tepat, sistem berarti keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitas
isi dari ilmu.
a. Karakter
Metode
Metode juga dapat didefinisikan sebagai an
established, habitual, logical, or systematic process of achieving certain ends
with accuracy and efficiency, usually in an ordered sequence of fixed
steps(praktik yang mapan, kebiasaan, logis atau proses sistematis untuk
mencapai tujuan tertentu dengan akurasi dan efisiensi, biasanya dalam urutan
teratur langkah-langkah tetap). Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini
karakter metode meliputi:
1) metode
merupakan sebuah aktivitas yang relatif mapan yang digunakan oleh suatu
kelompok.
2) terkadang
karena sudah terbiasa dan relatif mapan, metode merupakan aktivitas yang sudah
menjadi kebiasaan dari suatu kelompok.
3) metode
yang telah mapan dan menjadi kebiasaan biasanya menjadi tindakan yang logis dan
merupakan sebuah proses yang sistematis untuk mencapai tujuan tertentu dengan
akurasi dan efisiensi penggunaan sumber daya.
b. Pengertian
Metodologi
Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan
"logos". Kata "metodos" terdiri dari dua suku kata yaitu
“metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau
cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
"Logos" artinya ilmu. Metodologi adalah ilmu-ilmu/cara yang digunakan
untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu
dalam menemukan kebenaran, tergantung Dari realitas yang sedang dikaji.[1] Ilmu
terdiri atas empat prinsip, yaitu:
1.
Keteraturan (orde)
2.
sebab-musabab (determinisme)
3.
kesederhanaan (parsimoni)
4.
pengalaman yang dapat diamati (empirisme)
Dengan prinsip-prinsip yang demikian maka ada banyak
jalan untuk menemukan kebenaran. Metodologi adalah tata cara yang menentukan
proses penelusuran apa yang akan digunakan.
c. Perbedaan
antara Metode Dan Metodologi
Metode adalah cara atau prosedur yang ditempuh untuk
menggapai tujuan tertentu. Lalu ada satu istilah lainnya yang berkaitan dengan
2 istilah ini, yaitu tekhnik adalah cara yang spesifik dalam pemmecahan masalah
tertentu yang ditemukan dalam pelaksanaan prosedur.sedangkan Metodologi
adalahcara atau ilmu ilmu yang dipakai untuk menemukan kebenaran mmenggunakan
penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung
dari realitas apa yang dikaji.
Banyak yang beranggapan kalau istilah metode dan
metodologi itu sama padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.
- Pengertian studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah
Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada
spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang
sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar
dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta
membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya. [1]
Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang
mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Arti pokok Islam adalah ketundukan,
keselamatan dan kedamaian. Maka studi Islam diarahkan pada kajian keislaman
yang mengarah pada 3 hal :
1.
Islam
yang bermuara pada ketundukan/berserah diri, berserah diri artinya pengakuan
yang tulus bahwa Tuhan satu-satunya sumber ntoritas yang serba mutlak. Keadaan
ini membawa timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk
sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri.
2.
Islam
dapat dimaknai yang mengarah kepada keselamatan dunia dan akhirat sebab ajaran
Islam pada hakekatnya membina dan membimbing manusia untuk berbuat kebajikan
dan menjauhi semua larangan dalam kehidupan di dunia termasuk kehidupan
akhirat.
3.
Islam
bermuara pada kedamaian manusia harus hidup berdampingan dengan makhluk hidup
yang lain bahkan berdampingan dengan alam raya. Dengan demikian kedamaian harus
dilakukan secara utuh dan multi dimensi.
Dari 3 dimensi di atas studi Islam mencerminkan gagasan
tentang pemikiran dan praktis yang berrnuara pada kedudukan Tuhan, selamat di
dunia dakhirat dan berdamai dengan makhluk lain. Dengan demikian studi Islam
tidak hanya bermuara pada wacana pemikiran tetapi juga pada praktis kehidupan
yang berdasarkan pada perilaku baik dan benar dalam kehidupan.
Usaha mempelajari agama Islam
tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat
Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat
Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda
tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan
umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami
dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan
dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi
keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik
keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu
pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan
pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan
praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Para ahli studi keislaman di luar
kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy),
yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di
kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh
mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia
Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang
kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan
praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat
Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis
yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap
Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa
bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam
sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan
(terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa
kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat
Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup
diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan
rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner
tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang
pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan
zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu
terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman.
Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek,
membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang
menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.[2]
Istilah Studi Islam dalam bahasa
Inggris adalah Islamic Studies, dan dalam bahasa Arab adalah Dirasat
al-Islamiyah. Ditinjau dari sisi pengertian, Studi Islam secara sederhana
dimaknai sebagai “kajian islam”. Pengertian Studi Islam sebagai kajian islam
sesungguhnya memiliki cakupan makna penertian yang luas. Hal ini wajar adanya
sebab sebuah istilah akan memiliki makna tergantung kepada mereka yang
menafsirkannya. Karena penafsir memiliki latar belakang yang berbeda satu sama
lainnya, baik latar belakang studi, bidang keilmuan Pengalaman maupun berbagai
perbedaan lainnya, maka rumusan dan pemaknaanya yang di hasilkannya pun juga
akan berbeda.
Lester Crow dan Alice Crow
menyebutkan bahwa Studi adalah kegiatan yang secara sengaja diusahakan dengan
maksud untuk memperoleh keterangan mecapai pemahaman yang lebih besar atau
meningkatkan suatu keterampilan sementara kata Islam sendiri memiliki arti dan
makna yang jauh lebih kompleks.dikalangan umat islam,studi keislaman bertujuan
untuk memahami dan mendalami serta mem bahas ajaran-ajaran islam agar mereka
dapat melaksanakannya dengan benar namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu
pengetahuan tentang agama dan praktik-praktik keagamaan islam tersebut bias di
manfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif
maupun negatif.
Adapun metode studi islam secara lebih rinci dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Metodologi
Ilmu Pengetahuan
Metodologi adalah pengkajian mengenai model atau
bentuk metode- metode aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu
pengetahuan.
2) Metodologi
singkronik-analis
Suatu metode mempelajari islam yang memberikan
kemampuan analis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan
mental.
3) Metode
Empiris
Suatu metode mempelajaari islam yang memungkinkan umat
islam mempelajaari ajarannya melalui proses aktualisasi dan internalisasi norma-norma dan kaidah islam dengan suatu
proses aplikasi yang menimbulkan suatu
interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaksi dapat
dirumuskan dalam suatu sistem norma baru.metode deduktif (AL-Manhaj Al
istinbathiyah )
4) Metode
Emperis norma (Tajribiyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan Umat
Islam mempelajari ajarannya melalui proses aktualisasi dan internalisasi
norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan
suatu interaksi sosial.
Selanjutnya, terdapat pula metode memahami Islam yang
dikemukakan oleh Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode pemahaman Islam secara
menyeluruh. Cara tersebut digunakan untuk memahami Islam paling besar agar
menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap toleransi
terhadap pemeluk agama lain. Metode tersebut juga di tempuh dalam rangka
menghindari kesalahfahaman yang menimbulkan sikap serta pola hidup beragama
yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Untuk memahami Islam secara benar, terdapat empat cara
yang tepat menurut Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:
a)
Islam harus dipelajari dari sumbernya yang
asli, yaitu Alqur’an dan sunnah Rasul.
b)
Islam harus dipelajari secara integral atau
secara keseluruhan.
c)
Islam perlu dipelajari dari kepustakaan
yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama, dan sarjana Islam.
d) Islam
hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis dalam Alqur’an kemudian
dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosologis.
Dari beberapa metode tersebut
terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1) Metode
komparasi, yaitu Suatu metode untuk memahami ajaran Islam dengan membandingkan
seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang
objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa Islam sangat
berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam
kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2) Metode
sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan
metode logis normative dan brsifat rasional , obyektif, dan kritis dengan
metode teologis-normatif.
B.
Tujuan
Studi Islam
Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk
memantapkan keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim
hanya sekedar diskursus ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam
dengan demikian tujuan studi Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas
ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara
benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji
Islam direfleksikan dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam adalah
agama yang mengarahkan pada pemeluknya sebagai hamba yang berdimensi teologis,
humanis, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan
tujuan di atas dapat di tercapai.
Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai
wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan.
Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku
bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan kerangka ini,
dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar dogmatis dan teologis. Tetapi ada
aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal
betul-betul mampu menjawab tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan
sebagian orientalis yang berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki
ketidak majuan dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Seiring berkembangnya
zaman agama lantas tidak hanya berfungsi sebagai penegasan terhadap doktrin
semata namun agama juga harus mampu dipelajari secara akademik. Sebagaimana
yang dijelaskan Amin Abdullah bahwa fenomena keberagaman manusia tidak hanya
dilihat dari sudut normativitas ajaran wahyu, meskipun fenomena ini sampai
kapanpun akan menjadi ciri khas daripada agama-agama yang ada. Tetapi
juga harus mampu dilihat dari sudut historisitas pemahaman dan interpretasi
orang-orang atau kelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya
serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukan.[3]
Terlepas dari
perdebatan dan pesimisme itu, setuju atau tidak setuju, itu adalah pernyataan
yang diberikan yang diakui oleh outsider dan insider dalam melihat kepentingan
Metodologi Studi Islam. Ada beberapa yang sangat urgen Mengapa Metodologi Studi Islam ini digunakan untuk memahami Islam baik secara tekstual dan kontekstual di
antaranya adalah:
1.
Kita masyarakat Muslim yang hidup pada era abad 20 ini
dihadapkan dengan berbagai persoalan multidimensi, baik sains, teknologi dan
modernisasi, Islam yang exclusive, pemahaman Islam yang berkelompok-kelompok,
golongan, serta berbagai aliran dan mazhab, bahkan Islam gerakan, yang saling
mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya yang paling benar, menyalahkan,
mengkafirkan, menyesatkan orang lain dalam beragam sehingga kita menjadikan
terkotak-kotak sebagai akibat pemahaman Islam sejarah akibatnya kita belum
menjawab hal-hal pokok dalam kehidupan beragama, bersosial dan bernegara.
2.
Cara pandang Islam yang seharusnya tidak hanya doktrin,
tetapi juga aspek sosial budaya di mana perkembangan zaman membutuhkan
pemahaman Islam yang dinamis. Sikap Budi Luhur adalah amanah atau trust yang
agaknya selama ini masih jauh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara
ajaran agama ini sering dipisahkan dari kehidupan sosial dan lingkungan.
Sebagai konsekuensi logis munculnya muncullah dikotomi wahyu dengan alam, wahyu
dan akal, serta antar antara Wahyu dan realitas sosial. Masyarakat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Sehingga kita dituntut untuk memahami pengetahuan dan metodologinya di sinilah
Perlunya kita memahami permasalahan dan sekaligus menggunakan metodologi
terhadap aspek kajian tertentu. Karena akibat Kemajuan dan perkembangan zaman
pasti ada dampak sosialnya dan cara pandang Islam itu sendiri.
3.
Cara pandang dikotomi antara pengetahuan agama dan umum.
Poin ini menunjukkan krisis intelektual dalam dunia islam yang berlarut-larut.
Tidak diragukan lagi bahwa krisis adalah penyebab sekaligus bukti dekadensi dan
melempem umat, yang sekaligus menghambat mereka untuk mengejar ketertinggalan
kultural dan peradaban dunia modern. Kelesuan ini bahkan sering diperburuk
dengan krisis politik, ekonomi, dan militer.
4.
Sesama umat Islam larut dalam mengklaim sukunya yang
paling benar, dalam beragama mengklaim dirinya paling saleh di muka bumi serta
menyalahkan dan memburukan yang lain.
C.
Keterkaitan Manusia dengan Studi Agama
Kebanyakan pemikiran modern melihat
agama merupakan sekumpulan doktrin yang dilegatimasi oleh “prasangka-prasangka”
manusia di luar rasionalitas. Sementara ilmu pengetahuan yang mengedepankan
rasionalitas sangat keras menolak doktrin. Semakin rasional seseorang semakin
menjauh dari ritual agama, sebaliknya manusia yang kurang tersentuh
rasionalitas, dengan sendirinya akan kuat meyakini ajaran agama. Karena
modernitas tidak selalu memberi perbaikan bagi kondisi umat manusia, tak mampu
mengatasi berbagai problem dan bahkan hanya memberikan kontribusi positif bagi
kelas yang dominan. Mereka yang pinggirkan mengalami marginalisasi/leterasingan
dari kemajuan zaman.
Agama sebagai salah satu ajaran yang
memberi tuntunan hidup banyak dijadikan pilihan. Karena ada indikasi dalam
agama terdapat banyak nilai yang bisa dimanfaatkan manusia daripada ideologi.
Orang juga lebih leluasa memeluk agama dan merasakan nilai-nilai positifnya
tanpa harus menggunakan potensi akalnya untuk berfikir. Agama memberi tempat
bagi semua. Agama juga merupakan fenomena sosial; agama tidak hanya ritual tapi
juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. Psikologi agama merupakan
salah satu cara bagaimana melihat praktek keagamaan. Sebagai gejala psikologi,
agama rupanya cukup memberi pengertian tentang perlu atau tidaknya manusia
beragama ketika agama tak sanggup lagi memberi pedoman bagi masa depan
kehidupan manusia, bisa saja kita terinspirasi menciptakan agama baru/melakukan
eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem yang menghimpit
kehidupan.
D.
Asal
Usul dan Pertumbuhan Metodologi Studi Islam
Pendidikan Islam di Indonesia tidak
pernah lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh
para pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan
keislaman. Pada awalnya pendidikan Islam, dalam bentuk halaqah-halaqah,
kemudian bentuk madrasah. Selain pesantren pendidikan Islam di Indonesia
diharapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan.
Pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai tradisi keagamaan yang
hidup dan historis. Ketimbang “kumpulan tatanan doktrin” yang terdapat dalam
Al-Qur'an dan Hadits. Studi Islam kontemporer di Barat, berusaha keras
menampilkan citra yang lebih adil dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan
metode yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Islam tidaklah dijadikan semata-mata
sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip yang
berlaku di dunia keilmuwan, tapi diletakkan sesuai dengan kedudukannya sebagai
doktrin yang kebenarannya diyakini. Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an
terjadi perubahan besar dalam paradigma Islam. kecenderungan pertama,
terjadinya pergeseran dari kajian Islam yang bersifat normatif. Kepada yang
lebih historis, sosiologis dan empiris. Kedua orientasi keilmuwan yang lebih
luas kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat,
studi di Timur tengah tetap memiliki nilai penting, terutama dalam memahami
aspek doktrinal yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam.
Jika dipadukan menjadi satu model
pendidikan Islam, kiranya dapat menjawab kekurangan masing-masing orientasi,
yakni menguasai khazanah intelektual Islam yang paling dasar dan otentik juga
menguasai metodologi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang
dihadapi di tengah-tengah masyarakat.
E.
Objek Metodologi Studi Islam
Objek kajian Metodologi Studi Islam
adalah ajaran Islam dari berbagai aspeknya dan berbagai mazhab atau alirannya.
Ajaran islam ini tidaklah sempit atau sebatas ibadah saja sehingga penafsiran
atas ajaran Islam harusa mengikuti penafsiran-penafsiran ulama terutama ulama
klasik. Umat Islam sebagian juga berpendapat bahwa aspek atau ajaran Islam
hanyalah shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir, tetapi sebagai objek kajian
metodologi studi Islam dan ajaran Islam.
Perlu dipahami pemetaan ajaran islam
ke dalam beberapa kategori, antara lain 2 wilayah ajaran islam yaitu yang absolut-mutlak (sakral) dan nisby-zhanniy (profan). Islam sebagai the origin text bersifat mutlak dan
absolut,islam yang berupa hasil pemikiran dan praktek umat islam sehari-hari
bersifat relatif-temporal, berubah sesuai dengan perubahan konteks zaman dan
konteks sosial.
Dengan demikian, yang menjadi objek
kajian Metodologi Studi Islam (MSI) adalah semua hal yang membicaraka tentang
islam, mulai dari level nash atau teks (wahyu), hasil pemikiran ulama hingga
level praktek yang dilakukan masyarakat islam. Perbedaan-perbedaan studi islam
inilah yang menyebabkan perbedaan dalam menentukan pendekatan dan metode yang
digunakan.
Menurut Harun Nasution, obyek kajian
Islam dibagi menjadi beberapa aspek, setelah melakukan perkembangan dan
pertumbuhan, Studi Islam diarahkan ke dalam bidang-bidangsesuai dengan
pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 1982 yang objek kajiannya meliputi:
1. Sumber
ajaran Islam: Al-Qur’an dan Hadis
2.
Pemikiran dasar Islam yang meliputi kalam, filsafat, tasawuf
3. Fikih
dan pranata sosial.
4. Sejarah
Kebudayaan Islam.
5. Dakwah.
6.
Pendidikan Islam.
7. Bahasa
dan Sastra Arab.
F.
Pembaruan
Pemikiran Islam.
Sejak tahun 1977,Pemikiran Pembaruan
Islam direkomendasikan oleh para pakar
untuk dimasukkan ke dalam setiap bidang dari nomor 1 sampai nomor 7. Jadi,
semua bidang mempunyai pembaruan pemikiran dalam Islam dari fenomena sosial
yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk di jadikan sebagai
objek kajian, namun tetap berpedoman pada dua sumber utama yakni Alquran dan
hadis. Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat maka seorang
muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap Alquran dan hadis sehingga
timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual..
Islam sebagai agama teologis juga
merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragan pemikiran, lahirnya
pemikiran ini memberi indikasi yang kuat bahwa pada pemahaman dan aktualisasi
nilai Islam merupakan suatu wujud keteri libatan manusia dalam Islam, dan bukan
berarti merubah doktrin esensialnya. bukankah dalam Islam telah memotivasi
pelibatan akal pikiran untuk dikenali, diketahui dan diimplementasikan
ajarannya (QS. 96;1). Ajarannya yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap
dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia
baru menjadi bentuk (Muhammad Wahyudi Nafis, 7).
Jadi, ketika pemikiran hendak masuk
dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut
pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya, maka dalam proses
dan bentuknya kemudian, Islam dapat di
pandang sebagai pemikiran. Islam yang
dimaksud di sini bukan hanya yang terda pat dalam Alquran dan hadis (tekstuan
dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaman dan penjabaran
nilai-nilainya.Islam berbentuk nilai-nilai, dalam hal ini akal pikiran
dilibatkan dalam proses memahami sejarah pemikiran. Pemikiran peminat studi
Islam memberikan kontribusi terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam yang
melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis,
filsafat Islam, ulumul Quran dan hadis, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.
Jadi, mengkaji Islam sebagai
pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah
mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian
tertentu.
G.
Ruang
LingkupMetodologi Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama
merupakan universal kultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan
bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena
sejak dulu hingga sekarang agama menyatakan eksistensinya, berarti ia mempunyai
peran dan fungsi di masyarakat. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan
di sekitar permasalahan apakah studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang
ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan
agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam
belakangan ini.
Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak
kesulitan pengembangan wilayah kajian studi Islam berakar pada kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan
dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif,
maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan
dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut
historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin
ilmu.
Kehadiran agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya
manusia itu menyikapi kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang
seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia,
sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya yaitu Al-Qur’an dan Hadits,
nampak amat ideal. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif,
menghargai akal pikiran melalaui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia
dan sikap-sikap positif lainnya.
Namun kenyataan Islam sekarang
menampilkan keadaan yang jauh dari cita-cita ideal tersebut. Ibadah yang
dilakukan umat Islam seperti shalat,puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya
berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang kesalehan,
sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial sudah kurang
nampak. Di kalangan masyarakat telah terjadi kesalahpahaman dalam memahami dan
menghayati pesan simbolis keagamaan itu.
Akibat dari kesalahpahaman memahami simbol-simbol keagamaan itu maka
agama lebih dihayati sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan
sosial secara bersama.
Diketahui bahwa Islam sebagai agama
yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran,
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah,
perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi yang akan
menimbulkan keberagamaan.
Menurut Muhammad Nur Hakim, tidak
semua aspek agama khususnya islam dapat menjadi obyek studi. Dalam konteks
Studi Islam, ada beberapa aspek tertentu dari islam yang dapat menjadi obyek
studi, yaitu:
1. Islam
sebagai doktrin dari tuhan yang kebenarannnya bagi pemeluknya sudah final,
dalam arti absolut, dan diterima secara apa adanya.
2. Sebagai
gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia dalam
kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
3. Sebagai
interaksi sosial yaitu realitas umat islam.
Sementara menurut Muhammmad Amin
Abdullah terdapat tiga wilayah keilmuan agama islam yang dapat menjadi obyek
studi islam:
Sedangkan menurut M.Atho’ Mudzhar
menyatakan bahwa obyek kajian islam adalah substansi ajaran-ajaran islam,
seperti kalam, fiqih dan tasawuf. Dalam aspek ini agama lebih bersifat
penelitian budaya hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keislaman semacam ini
merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh penganutnya yang
bersumber dari wahyu Allah melalui proses penawaran dan perenungan.
Wilayah praktek keyakinan dan
pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para
ulama.
Wilayah tori-teori keilmuan yang
dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan, para
ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing.
Telaah teroitis yang lebih popular
disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya
teori-teori yang disusunoleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua.
Sedangkan menurut M.Atho’ Mudzhar
menyatakan bahwa obyek kajian islam adalah substansi ajaran-ajaran islam,
seperti kalam, fiqih dan tasawuf.dalam aspek ini agama lebih bersifat
penelitian budaya hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keis laman semacam ini
merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh pe nganutnya yang
bersumber dari wahyu Allah melalui proses penawaran dan pere nungan.
Meskipun kecenderungan sosiologi
agama. Beliau member contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah,
orang-orang khawarij, orang-orang ahli al -Sunnah wa al-jannah dan lain-lain.
Teologi-teologi yang dibangun oleh para peng anut masing-masing itu tidak lepas
dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana
lita melihat masalah Islam sebagai sasaran studi social. Dalam menjawab
persoalan ini tentu kita berangkat dari peng gunaan ilmu yang dekat dengan ilmu
kealaman, karena sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami
keterulangan yang hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu
dapat diuji.
jadi dengan demikian metodologi studi
Islam dengan mengadakan penelitian social. Penelitian social berada diantara
ilmu budaya mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan
cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri
paradigmanya positivism. Paragdima positivism dalam ilmu ini adalah sesuatu itu
baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur
(measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya
dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan
ilmu social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati,
diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika
Islam dijadikan sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima
positivism itu, yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat
diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga
berkembang penelitian kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme.
Ini berarti ilmu social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika
halnya demikian, maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya
unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang
telah disebut di atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan
menggunakan pendekatan ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya tokoh agama Islam,
penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat
diangkat menjadi sasaran studi Islam.
Pembahasan
kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga
terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya, secara material, ruang
lingkup studi islam dalam tradisi sarjana barat, meliputi pembahasan mengenai
ajaran, doktrin, teks sejarah dan instusi-instusi keislaman pada awalnya
ketertarikan sarjana barat terhadap pemikiran islam lebih karena kebutuhan akan
penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah Negara-negara yang banyak didomisili warga
Negara yang beragama islam, sehingga mau tidak mau mereka harus faham budaya
lokal. Kasus ini dapat dilihat pada perang aceh sarjana belanda telah
mempelajari islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan dilokasi dengan asumsi ia
telah memahami budaya dan peradapan massyarakat aceh yang mayoritas beragama
islam.
Ruang lingkup Islam juga merupakan
produk sejarah misalnya tentang fiqh/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam,
seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir
ini kita melihat semakin tumbuh dan maraknya kesadaran dikalangan kaum muslim untuk lebih patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam.
Gejala ini untuk konteks Indonesia misalnya, terlihat pada kebangkitan Jilbab,
busana muslim, tuntunan pencantuman label halal-haram pada makanan, penerapan sistem ekonomi dan
perbankan Islam dan sebagainya. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam
tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.[4]
Sejak tahun 1970-an penelitian agama
mulai diperkenalkan oleh beberapa pakar
dan ilmuan kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa
pentingnya sebuah penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja
penting, penelitian keagamaan merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan
pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya demikian, agama hanya akan menjadi
urusan yang bersifat individual, eksklusif dan komunal.
Islam dipahami
dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat debngan asumsi dapat
diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat. Setaelah itu pemahaman yang
telah menjadi input bagi kaum orentalis diambil sebagai dasar kebijakan oleh
penguasa colonial yang tentunya lebih menguntungkan mereka ketimbang rakyat
banyak diwilayah jajahanya. Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan
kaum penjajah tatas dasar masukan ini para penjajah colonial dapat mengambil
kebijakan didaerah koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukkan
ini, para penjajah mampu membuat kekuatan social, masyarakat terjajah sesuai
dengan kepentingan dan keutunganya. Setelah mengalami keterpurukan, dunia islam
mulai bangkit memalui para pembaru yang telah dicerahkan. Dari kelompok ini
munculah gagasan agar umat islam mengejar ketertinggalanya dari umat lain.
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi
sisi:
1)
Agama
Sebagai doktrin dari Tuhan
Agama Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para
pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya. Kata
doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari
kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;, yang berarti yang
berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doktrin sebgaimana disebut diatas, terdapat kata
doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh
dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati gagasan yang tidak
praktis.
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan
ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak
praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum
menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau
mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek
studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud
adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang
dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: “al-Islamu
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam
lisa`adati al-dunya wa al-akhirah” (Islam adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat).[5]
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di
atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas
adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk
mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan
surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga
ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist,
kita dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun
oleh Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan
lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran
Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut
diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber
tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran
Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak
yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang
kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan
dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di
dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang
yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih,
itab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu
selain langsung diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui
ijtihad. Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus
dilakukan untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum
jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang
diambil dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat
luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an maupun
yang ada di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember
tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas.
Persoalannya adalah apa yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.
2)
Sebagai
gejala budaya,
Berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya
dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
Pada awalnya ilmu hanya ada dua Suatu penemuan yang dihasilkan seseorang pada
suaktu-waktu mengenai suatu gejala sifat alam.
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai
kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada
aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang
yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke
dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu social dan model studi
budaya.
Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke
dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan
mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku
khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah sarjana.
Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana
bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai
obyek penelitian saja.
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus
melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual, artinya memahami
Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti
memahami Islam lewat realitas social, yang berupa perilaku masyarakat yang
memeluk agama bersangkutan.
Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara
penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh
manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat
model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi
Muhammad SAW. sebagai jalan hidup untuk meraih
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi
. selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa
sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian
pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
“agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu
tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara
keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan
dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat
dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun
suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya.
Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama
samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya
kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri
sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail,
hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali, pemberi
arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan
perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan
pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan
yang bercorak dan beridentitas Islam.
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki
keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga
keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsure
(ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan,
juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi pendorong
dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang membangun
masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah alas untuk
bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain.
Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua
kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an
memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan.
Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas kebudayaan
atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas
Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme
control, karena agama adalah pranata social dan gejala social, yang berfungsi
sebagai kontro, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang
pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded
alashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan
mengambil produk budaya baru yang lebih baik.
Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran
manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan,
maka sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan sebagainya yang
timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada
perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan
institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar
prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
3) Sebagai interaksi social,
Yaitu realitas umat Islam.Bila islam dilihat dari tiga sisi,
maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh
karena sisi doktrin merupakan suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka
hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.
Melalui pendekatan antropologi hubungan agama dengan
berbagai masalh kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan
fungsional dan berbagai fenomena kehidupan manusia.[6]
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai
studi tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan
masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai
gejala social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam
sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah
menjadi fenomena Islam.
Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi dasar
dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi
Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agama yang
perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber
ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau
pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para
penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat,
seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat,
organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan
lain-lain.
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala social,
pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi
agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang
ini mempelajari bukan masalah timbal balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh
agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai system nilai mempengaruhi masyarakat.[7]
Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau memberi contoh teologi yang dibangun oleh
orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli al-Sunnah wa
al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun oleh para penganut
masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh pergeseran perkembangan masyarakat
terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kita melihat masalah Islam sebagai
sasaran studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari
penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya
peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama atau
dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Jadi dengan demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan
penelitian social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba
memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami
keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivisme. Paragdima positivisme dalam ilmu ini adalah sesuatu itu
baru dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur
(measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu
budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi.
Sedangkan ilmu social yang dianggap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati,
diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai
sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu
dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian
kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu
social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian,
maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas
kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan
ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya
tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama, dan
lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dewasa ini kehadiran agama semakin
dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau berhenti disampaikan pada acara-acara keagamaan saja, melainkan
harus dipahami dan dikaji lebih mendalam sehingga dapat dirasakan manfaatnya. Dari
uraian yang sudah disajikan,dapat diketahui bahwa dalam melakukan studi Islam
terlebih dahulu kita harus menguasai metodologinya. Di dalam studi Islam juga
terdapat pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai alat untuk memahami
permasalahan, gejala, dan fenomena-fenomena yang ada dalam masyarakat, seperti
pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, filosofis, historis,
kebudayaan, dan psikologis.
Pendekatan-pendekatan tersebut
mempunyai peran penting dalam studi Islam karena dengan demikian agama akan
menemukan cara yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai ajarannya. Juga dapat
kita ketahui bahwa agama pada hakikatnya bukan merupakan monopoli suatu
kalangan, kelompok, atau golongan tertentu saja. Melainkan agama itu milik
setiap individu yang meyakininya dan dapat dipahami setiap orang sesuai dengan
kesanggupan pemahamannya masing-masing. Dengan permasalahan yang berkembang
semakin kompleks sekarang ini agama diharapkan menjadi solusi dalam
penyelesaiannya, maka dari itu peran studi Islam menjadi sangat dibutuhkan
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
B.
SARAN
Demikian makalah yang kami buat,kami
menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dan pembaca demi lebih
baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Naim
Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Syukur
M.Amin dkk, Metodologi Studi Islam, Semarang: Gunung jati, 1998.
Nasution
Khoirodin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia+ Tazzafa, 2009.
[1]
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Muhaimin
dkk, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan Jakarta: Kencana, cet III,
2012
[1] Muhaimin, et.al.Kawasan dan
Wawasan Studi iSlam,(Jakarta: Kencana, 2005) hal.2
[2]
Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga
[3]
Amin Abdullah, Studi Agama
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 5
[4]
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1999), h. 214
[5]
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam
(Yogyakarta: pustaka pelajar, 2007 h. 19
[6]
Abuddin
nata, Metodologi studi islam (Jakarta: Rajawali pres, 2012) h. 38
[7]
Atho
mudzhar, Pendekatan , h.13-14
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah memberikan komentarnya